>>>>>Welcome to AreBeat's Blog<<<<<<

..........Semoga blog ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya........

Rabu, 24 Februari 2010

Mengapa Berhenti Merokok?

Mengisap rokok merupakan gaya hidup yang populer di banyak negeri khususnya di negara berkembang. Tembakau dalam sebatang rokok telah membuat banyak orang menggemarinya. Namun, dibalik kenikmatan sebatang rokok terdapat banyak kerugian.
Merokok
Rokok telah menjadi benda kecil yang paling banyak digemari. Merokok telah menjadi gaya hidup bagi banyak pria dan wanita, bahkan termasuk anak-anak dan kaum remaja. Kebiasaan merokok telah mengakibatkan banyak penyakit dari gangguan pernapasan hingga kanker. Meski menyadari bahaya merokok, orang-orang di seluruh dunia masih terus mengisap belasan milyar batang rokok setiap harinya.
Jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi di dunia. Jumlah perokok di negara-negara berkembang jauh lebih banyak dibanding jumlah perokok di negara maju. Angka yang sangat memprihatinkan mengingat akibat buruk dari merokok baru akan dirasakan dalam jangka panjang.
Kandungan Sebatang Rokok
Zat apa saja yang terdapat dalam sebatang rokok? Nikotin merupakan zat utama yang terdapat pada rokok. Namun, lebih dari 700 jenis bahan kimia tambahan kemungkinan digunakan oleh perusahaan rokok untuk menambah kenikmatan merokok. Beberapa bahan bahkan begitu beracun sehingga beberapa pabrik rokok besar biasanya akan memiliki standar yang tinggi untuk membuang bahan-bahan beracun yang sangat berbahaya tersebut.
Perokok pasif bisa mendapat dampak negatif yang lebih mengerikan jika asap rokok dihirup mereka. Selain itu, asap rokok mengandung 4.000 zat kimia, termasuk arsenik, aseton, butan, karbon monoksida, dan sianida. Asap rokok yang dihirup oleh perokok maupun perokok pasif akan menganduk 43 zat yang diketahui menyebabkan kanker. Itu sebabnya bagi perokok pasif bisa mendapat dampak negatif yang lebih mengerikan jika asap rokok dihirup mereka.
Bahaya Rokok
Apa saja akibat buruk dari gaya hidup yang merusak kesehatan ini? Apa saja penyakit yang disebabkan karena merokok? Berikut ini beberapa penyakit dan dampak negatif yang disebabkan karena merokok:


• Penyakit Jantung
Rokok juga merupakan salah satu penyebab utama serangan jantung. Kematian seorang perokok akibat penyakit jantung lebih banyak dibanding kematian akibat kanker paru-paru. Bahkan rokok rendah tar atau rendah nikotin tidak akan mengurangi risiko penyakit jantung. Karena beberapa dari rokok-rokok yang menggunakan filter meningkatkan jumlah karbon monoksida yang dihirup, yang membuat rokok tersebut bahkan lebih buruk untuk jantung daripada rokok yang tidak menggunakan filter.

Nikotin yang dikandung dalam sebatang rokok bisa membuat jantung Anda berdebar lebih cepat dan meningkatkan kebutuhan tubuh Anda akan oksigen. Asap rokok juga mengandung karbon monoksida yang beracun. Zat beracun ini berjalan menuju aliran darah dan sebenarnya menghalangi aliran oksigen ke jantung dan ke organ-organ penting lainnya. Nikotin dapat mempersempit pembuluh darah sehingga lebih memperlambat lagi aliran oksigen. Itu sebabnya para perokok memiliki risiko terkena penyakit jantung yang sangat tinggi.
• Kanker Paru-Paru
Asap rokok dari tembakau mengandung banyak zat kimia penyebab kanker. Asap yang diisap mengandung berbagai zat kimia yang dapat merusak paru-paru. Zat ini dapat memicu terjadinya kanker khususnya pada paru-paru. Kanker paru-paru merupakan kanker yang paling umum yang diakibatkan oleh merokok. Penyebaran kanker paru-paru dalam tubuh terjadi secara senyap hingga menjadi stadium yang lebih tinggi. Dalam banyak kasus, kanker paru-paru membunuh dengan cepat.
• Emfisema
Perokok berat yang sudah bertahun-tahun akan mengalami emfisema. Emfisema merupakan penyakit yang secara bertahap akan membuat paru-paru kehilangan elastisitasnya. Jika paru-paru kehilangan keelastikannya, maka akan sulit untuk mengeluarkan udara kotor. Tanda-tandanya adalah mulai mengalami kesulitan bernapas pada pagi dan malam hari. Lalu mudah terengah-engah. Tanda lainnya adalah sering mengalami flu berat, disertai dengan batuk yang berat, dan mungkin dengan bronkhitis kronis. Batuknya sering kali tidak berhenti dan menjadi kronis.
• Lebih Cepat Tua
Hasil penelitian terhadap para perokok menunjukkan bahwa wajah para perokok pria maupun wanita lebih cepat keriput dibandingkan mereka yang tidak merokok. Proses penuaan dini tersebut meningkat sesuai dengan kebiasaan dan jumlah batang rokok yang dihisap. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa para perokok berat memiliki keriput pada kulit hampir lima kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok. Bahkan proses penuaan dini sudah dimulai bagi para remaja yang merokok seperti kulit keriput, gigi menguning, dan nafas tak sedap.
• Kerusakan Tubuh
Dampak negatif merokok tidak hanya membahayakan paru-paru, jantung, dan saluran pernapasan. Kebiasaan merokok menurut penelitian bisa merusak jaringan tubuh lainnya. Belasan penyakit yang berkaitan dengan penggunaan tembakau bahkan mencakup pneumonia (radang paru-paru), penyakit gusi, leukemia, katarak, kanker ginjal, kanker serviks, dan sakit pada pankreas. Penyebabnya karena racun dari asap rokok menyebar ke mana-mana melalui aliran darah. Merokok dapat mengakibatkan penyakit di hampir setiap organ tubuh.
Mengapa Berhenti Merokok?
Apakah Anda menyadari bahaya merokok? Akibat merokok terhadap kesehatan tubuh benar-benar merugikan. Menurut statistik, di seluruh dunia, jumlah perokok yang meninggal karena penyakit akibat merokok berjumlah hampir tiga kali jumlah orang yang meninggal karena alkohol dan narkoba. Bahkan jumlah perokok yang meninggal karena penyakit tersebut berjumlah enam kali lipat dibandingkan karena kecelakaan mobil. Selain itu, usia perokok biasanya 13 hingga 14 tahun lebih pendek daripada orang yang tidak merokok.
Setelah membaca fakta-fakta ini, apakah Anda akan menjadi seperti perokok yang meskipun telah membaca begitu banyak fakta mengerikan sehubungan dengan merokok kemudian memutuskan untuk berhenti membaca artikel tersebut? Atau Anda berani mengatakan tidak kepada rokok?

Inilah Efek Negatif Kurang Tidur

Inilah dampak buruk yang bisa anda alami jika waktu tidur anda kurang dari 7-9 jam/hari, dan bila tidur anda tidak nyenyak :

1. Hasrat ngemil makanan berlemak meningkat

Kurang tidur bisa melenyapkan hormon yang mengatur nafsu makan. Akibatnya, keinginan menyantap makanan berlemak dan tinggi karbohidrat akan meningkat. Sehingga menyebabkan Anda menginginkan asupan kalori tinggi. Jika selama 2 malam tidur Anda tidak berkulitas bisa memicu rasa lapar berlebihan. Kondisi ini terjadi karena merangsang hormon ghrelin penambah nafsu makan, dan mengurangi hormon leptin sebagai penekan nafsu makan.

Seiring dengan berjalannya waktu, hal ini dapat menyebabkan penambahan berat badan. Dalam penelitian yang dilakukan pada orang kembar identik oleh University of Washington menemukan, mereka tidur 7-9 jam setiap malam, rata-rata indeks massa tubuh 24,8, hampir 2 poin lebih rendah daripada rata-rata Body Mass Index (BMI) mereka yang kurang tidur

2. Antibodi menjadi lemah

Berdasarkan studi JAMA, mereka yang tidur kurang dari 7 jam per malam bisa 3 kali lebih rentan mengalami rasa dingin. Penelitian lain menemukan, pada pria yang kurang tidur akan mengalami kegagalan untuk menjaga respon imun atau kekebalan tubuh secara normal setelah menerima suntikan flu. Mereka yang kurang tidur, antibodi yang bekerja setelah dilakukan vaksinasi hanya bisa bertahan paling lama 10 hari. Kondisi tersebut sangat berbahaya. Karena itu, perbaiki kualitas tidur, untuk meningkatkan kekebalan tubuh Anda. Jika terlalu sedikit waktu tidur Anda sistem kekebalan tubuh bisa terganggu.

3. Rentan terserang diabetes

Gula adalah bahan bakar setiap sel dalam tubuh Anda. Jika proses pengolahannya terganggu bisa menyebabkan efek buruk. Dalam penelitian yang dilakukan Universitas Chicago, AS, yang meneliti sejumlah orang selama 6 hari, mendapatkan kondisi ini bisa mengembangkan resistansi terhadap insulin, yakni hormon yang membantu mengangkut glukosa dari aliran darah ke dalam sel.
Mereka yang tidur kurang dari 6 jam per malam dalam penelitian 6 hari ini menemukan, terjadi proses metabolisme gula yang tidak semestinya. Akibatnya bisa menyebabkan timbulnya diabetes.

4. Stres meningkat

Studi yang dilakukan Universitas Chicago juga menemukan ‘menutup mata’ kurang dari 7 jam bisa meningkatkan produksi kortisol atau hormon stres. Bahkan pada sore dan malam hari dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan glukosa darah sehingga bisa memicu terjadinya hipertensi, penyakit jantung dan diabetes tipe 2.

5. Memicu rasa gelisah

Rasa gelisah setiap malam pasti akan terus menghantui mereka yang memiliki kualitas tidur buruk. Reaksi tubuh pun bisa menurun. Yang lebih kronis lagi, perasaaan bahagia tidak akan menghampiri hidup mereka yang kurang tidur. “Tidur dan suasana hati diatur oleh zat kimia otak yang sama,” kata Joyce Walsleben, PhD. Hal ini dapat meningkatkan risiko pengembangan depresi, tapi mungkin hanya bagi mereka yang sudah rentan terhadap penyakit.

6. Tampak lebih tua

Mereka yang kurang tidur biasanya memiliki kulit yang pucat dan wajah lelah. “Lebih buruk lagi, peningkatan kadar kortisol dapat memperlambat produksi kolagen yang memicu terjadinya keriput lebih cepat,” kata Jyotsna Sahni, MD, ahli masalah tidur di Canyon Ranch, Tucson.

7. Berbagai rasa sakit bisa timbul

Tidaklah mengherankan, sakit kronis seperti masalah punggung atau arthritis bisa saja terjadi bila Anda melakukan aktivitas tidur yang buruk. Dalam sebuah studi dari John Hopkins Behavioral Sleep Medicine Program, direktur Michael Smith, PhD, membangunkan orang dewasa muda yang sehat selama 20 menit setiap jam selama 8 jam selama 3 hari berturut-turut. Hasilnya, mereka memiliki toleransi sakit yang lebih rendah, dan mudah mengalami nyeri.

8. Risiko kanker lebih tinggi

Olahraga membantu mencegah kanker, tetapi terlalu sedikit memejamkan mata dapat merusak efek pelindungnya. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health studi meneliti hampir 6.000 wanita selama sekitar satu dekade dan menemukan bahwa penggemar olahraga yang tidur 7 jam atau lebih sedikit per malam memiliki kesempatan lebih besar 50% mengidap kanker daripada mereka yang rutin melakukan senam dan memiliki kualitas tidur yang baik.

Pasalnya, kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan gangguan metabolisme hormonal dan dikaitkan dengan risiko kanker, dan bisa ‘menghapus’ manfaat latihan.

Kopi, Secangkir Minuman yang Nikmat

Kopi merupakan salah satu minuman yang paling digemari banyak orang. Dari setiap tiga orang di dunia, salah satunya adalah peminum kopi. Kopi memang sungguh nikmat jika diminum baik pagi hari, atau saat malam hari ketika pekerjaan menumpuk. Kopi merupakan salah satu minuman yang paling dinikmati banyak orang, yang tidak sekadar diteguk saja, namun juga dinikmati. Bisnis kopi pun telah menjadi bisnis puluhan milyar dolar, yang hanya mampu disaingi oleh bisnis minyak bumi.

Sejarah Penyebaran Kopi
Biji tanaman kopi dipanggang lalu dihaluskan dan dihidangkan. Metode pemanggangan biji kopi sendiri belum diketahui kapan dimulainya. Namun tanaman kopi berasal dari dataran tinggi di Ethiopia, yang pada saat itu merupakan tanaman liar di Ethiopia. Lalu tanaman kopi dari sini dikembangkan di Semenanjung Arab sekitar abad ke-15, yang terkenal menjadi Kopi Arabika. Kopi Arabika saat ini menjadi jenis kopi yang paling banyak diproduksi di dunia yaitu mencapai lebih dari 60 persen produksi kopi dunia.
Menurut legenda, kopi ditemukan oleh seorang pemuda Arab bernama Kaldi, seorang penggembala kambing. Ia selalu memperhatikan bahwa kambingnya selalu menunjukkan gejala gembira setelah menggigit biji dan daun suatu tanaman hijau. Karena penasaran, ia mencoba biji tanaman tersebut dan merasakan efek semangat serta gembira. Akhirnya penemuan ini menyebar dari mulut ke mulut, sejak itu lahirlah kopi menurut legenda di Arab.
Pada tahun 1610, tanaman kopi pertama ditanam di daerah India. Bangsa Belanda mulai mempelajari pengembangbiakan kopi pada tahun 1614. Lalu pada tahun 1616, mereka berhasil memperoleh bibit dan tanaman kopi yang subur dan langsung mendirikan perkebunan kopi di Srilanka dan tanah Jawa (Indonesia) pada tahun 1699. Kemudian oleh bangsa Belanda, tanaman ini disebar ke koloni Belanda di Amerika Tengah seperti di Suriname dan Kepulauan Karibia. Kemudian bangsa Perancis juga tertarik dengan perdagangan kopi ini. Mereka membeli bibit kopi dari Belanda lalu dikembangkan di Pulau Réunion sebelah timur Madagaskar. Namun mereka gagal mengembangkan kopi di sini. Lalu pada tahun 1723, bangsa Perancis mencoba mengembangkan tanaman kopi di daerah Pulau Martinik. Pada tahun 1800-an, tanaman kopi dikembangkan di Hawaii. Belakangan tanaman ini juga dikembangkan di Brasil dan daerah-daerah lainnya.
Asal Kata Kopi
Kata kopi atau dalam bahasa Inggris coffee berasal dari bahasa Arab qahwah, yang berarti kekuatan. Kemudian kata kopi yang kita kenal saat ini berasal dari bahasa Turki yaitu kahveh yang kemudian belakangan menjadi koffie dalam bahasa Belanda dan coffee dalam bahasa Inggris. Kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kopi.
Kopi pada Zaman Dahulu hingga Sekarang
Awalnya kopi digunakan sebagai produk makanan. Kemudian kopi digunakan sebagai pengganti minuman anggur. Belakangan kopi digunakan juga sebagai obat. Dan saat ini kopi terkenal sebagai minuman yang cukup digemari.
Pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan. Seluruh biji kopi dihancurkan, lalu ditambahkan minyak. Lalu adonan ini dibentuk berbentuk bundar dan menjadi makanan. Sampai saat ini, beberapa suku di Afrika masih memakan kopi dalam bentuk seperti itu.
Belakangan, kopi digunakan sebagai pengganti minuman anggur. Biji kopi dibuat sebagai minuman yang mirip dengan anggur. Beberapa orang membuat minuman seperti ini dengan menuangkan air mendidih ke biji kopi yang sudah dikeringkan.
Sebagai obat, kopi dapat bermanfaat untuk mengobati migrain, sakit kepala, gangguan jantung, asma kronis dan gangguan buang air. Meski demikian, untuk konsumsi kopi berlebih bisa berakibat buruk. Jika mengkonsumsi kopi secara belebih dapat meningkatkan asam lambung, menyebabkan ketegangan, dan mempercepat detak jantung. Selain itu, konsumsi kopi secara berlebih, sering dikaitkan dengan sakit maag.
Belakangan, kopi digunakan sebagai minuman yang cukup nikmat. Biji kopi dikeringkan lalu dipanggang dan digiling dalam batok. Hasilnya kemudian bisa menjadi minuman kopi yang nikmat. Belakangan ditemukan mesin penggiling biji kopi yang memudahkan produksi kopi sebagai minuman.
Berbagai Macam Kegunaan Kopi
Berbagai rasa kopi yang khas membuat sensasi menyenangkan di mulut. Misalnya es kopi atau iced coffee yang manis biasanya menyegarkan. Es krim rasa kopi pun juga menjadi favorit bagi banyak orang. Kopi juga menjadi salah satu bahan dasar beberapa jenis kue rasa kopi. Dan yang paling populer adalah kopi polos dan juga kopi susu.
Namun para ilmuwan juga menyelediki manfaat lain dari kopi. Sisa bubuk dari kopi bermanfaat sebagai pupuk yang baik. Selain itu, beberapa produk disinfektan maupun isolasi untuk dinding, lantai dan atap juga dapat dibuat dari kopi. Gliserin yang merupakan produk sampingan dari sabun, dapat dibuat dari minyak kopi. Minyak kopi juga biasa digunakan sebagai bahan pembuat cat, sabun, maupun produk lainnya.
Biji kopi dapat bermanfaat untuk berbagai produk dan kegunaan. Namun yang paling populer tentu saja sebagai minuman yang nikmat yang diminum banyak orang setiap harinya.

Kopi Arabika dan Kopi Robusta
Meski di seluruh dunia ada sekitar 70 spesies pohon kopi, dari yang berukuran seperti semak belukar hingga pohon dengan tinggi 12 meter, namun hanya ada dua spesies pohon kopi yang secara umum dikenal untuk diproduksi sebagai produk kopi. Kedua spesies ini digunakan untuk produksi sekitar 98 persen produksi kopi dunia. Apa sajakah itu? Kopi yang pertama kali dikembangkan di dunia adalah Kopi Arabika yang berasal dari spesies pohon kopi Coffea arabica. Kopi jenis ini yang paling banyak diproduksi, yaitu sekitar lebih dari 60 persen produksi kopi dunia. Kopi arabika dari spesies Coffea arabica menghasilkan jenis kopi yang terbaik. Pohon spesies ini biasanya tumbuh di daerah dataran tinggi. Tinggi pohon kopi ini antara 4 hingga 6 meter. Kopi arabika memiliki kandungan kafein tidak lebih dari 1,5 persen serta memiliki jumlah kromosom sebanyak 44 kromosom.
Pohon kopi spesies lainnya yang juga cukup banyak diproduksi sebagai produk kopi adalah Coffea canephora yang sering dikenal sebagai Kopi Robusta. Tinggi pohon Coffea canephora mencapai 12 meter dan dapat ditanam di daerah yang lebih rendah dibanding kopi arabika. Kopi robusta biasanya digunakan sebagai kopi instant atau cepat saji. Kopi robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi, rasanya lebih netral, serta aroma kopi yang lebih kuat. Kandungan kafein pada kopi robusta mencapai 2,8 persen serta memiliki jumlah kromosom sebanyak 22 kromosom. Produksi kopi robusta saat ini mencapai sepertiga produksi kopi seluruh dunia.
Dilema Minum Kopi dan Bahaya Kopi
Meski minum kopi sungguh nikmat, namun minuman ini sering memunculkan berbagai dilema. Beberapa penelitian menunjukkan bahaya dari minum kopi. Bahkan pada jaman dahulu, di Timur Tengah, kopi sempat menjadi minuman yang haram karena sering menimbulkan efek negatif. Apa saja bahaya dari kopi yang nikmat ini?
Konsumsi kopi telah dikenal begitu luas dewasa ini, dan berbagai peringatan dari para ahli telah berulang kali diungkapkan selama bertahun-tahun terhadap banyaknya bahaya yang mengancam para peminum kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para penggemar kopi harus mewaspadai bahaya yang bisa timbul dari kebiasaan minum kopi mereka. Bahaya tersebut antara lain penyakit jantung, diabetes dan bahkan beberapa jenis kanker. Meski demikian, banyak orang mengabaikan peringatan ini. Mengapa?
Selama beberapa tahun belakangan ini, para peneliti telah mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai akibat minum kopi. Namun kesimpulan yang dibuat para peneliti ini belum sampai ke kesimpulan yang meyakinkan. Mengapa? Karena biasanya para peneliti hanya meneliti bahaya dari kafein, salah satu dari 500 kandungan kimia alami dalam secangkir kopi. Jadi sebenarnya penelitian terhadap kopi memang masih belum final dan masih jauh lebih kompleks.
Kafein yang terkandung dalam kopi memiliki efek stimulan yang cukup berbahaya. Kafein dapat menyebabkan seseorang sulit tidur. Kafein juga menyebabkan seseorang sulit mengendalikan emosi serta sulit berkonsentrasi. Kafein juga diindikasikan bisa memicu kanker.
Sebuah penelitian di Belanda menunjukkan bahwa kopi dapat meningkatkan kolesterol hingga 10 persen. Khususnya jika kopi yang diminum tanpa disaring dan langsung dipanaskan. Kolesterol sendiri dikenal sebagai penyebab gangguan jantung. Seorang ahli nutrisi dari Inggris merekomendasikan untuk minum kopi yang segar dan bukan kopi yang sudah diolah, dipanaskan dan dididihkan selama beberapa waktu.
Bagi para penggemar kopi, para ahli menyarankan untuk minum kopi secara wajar. Hindari minum lebih dari enam cangkir kopi dalam sehari. Bagi mereka yang mengalami gangguan jantung, gangguan ginjal dan tekanan darah tinggi sebaiknya minum kopi cukup satu cangkir sehari. Untuk wanita hamil dan menyusui, sebaiknya juga minum tidak lebih dari secangkir kopi sehari. Kopi memang nikmat, namun kesehatan jauh lebih penting dibanding menikmati kopi secara berlebih. Selamat menikmati secangkir kopi Anda!

Menambahkan READ MORE pada BLOGSPOT

Buat yang suka utak – atik blogger yang pake’ blogspot, mungkin kalian agak kesusahan untuk membuat sebuah tampilan artikel yang panjang secara efisien. Masalah utamanya secara umum, blogger akan menampilkan seluruh teks artikel yang diposting. Bayangin aja deh kalo kita posting 5 artikel aja yang cukup panjang, truz kita mau melihat artikel yang terakhir ato yang paling bawah, wadowh... mesti bersusah payah men-scroll layar nya berkali – kali neh. .....
Huff…malah-malah pengunjung jadi mlaz liat blog kita…bnr g?

Gimana cara menampilkan sebagian kecil artikel (beberapa baris teratas) kemudian disusul dengan teks "Read More" atao "lanjut" atao “selengkapnya”. Baru setelah pengunjung tertarik peingin baca berita lebih lanjut, dia tinggal klik aja tuh teks "Read More" or "Lanjut" or “Selengkapnya” tadi.

A. MEMASANG KODE PADA TEMPLATE
"Cara menambahkan Read More" dalam artikel berbasis Blogspot :
1. Buka template klik link: Layout-> Edit HTML -> Kasih tanda cek pada CheckBox "expand widget tempate"
2. Letakkan kode berikut PERSIS di atasnya nya kode (Pengin cepat, gunakan fasilitas Find pada browser kamu).

<style>
<b:if cond='data:blog.pageType == "item"'>
span.fullpost {display:inline;}
<b:else/>
span.fullpost {display:none;}
</b:if>
</style>

3. Klo sudah, cari kode berikut:
<p><data:post.body/></p>
(kalo g’ ada, cari aja kode: <data:post.body/>- tanpa embel-embel: <p> maupun </p>
Letakan kode berikut persis di bawahnya:

<b:if cond='data:blog.pageType != "item"'>
<a expr:href='data:post.url'> Read More..</a>
</b:if>

4. Klik Simpan. Selesai.
5. Pergilah ke halaman SETTING, dengan klik link SETTINGS atau Pengaturan, terus klik FORMATTING atau Format. Di paling bawah ada kotak kosong di samping menu TEMPLATE POSTING. Tengoklah apakah sudah ada isi kode berikut. Jika belum isi saja kodenya secara manual. Kode dimaksud adalah ini nih....:

<span class="fullpost">

</span>

Trus, jangan lupa simpan hasil SETTING atao PENGATURAN-mu.
Nah... sekarang gimana cara menggunakannya??
Klo yang ini musti kamu lakukan setiap kali kamu posting berita. Tapi kodenya cuma dikit kok, dan kamu bisa lakukan dengan teknik copy-paste.

B. PENERAPAN / PENGGUNAAN
Misal artikel posting kamu yang ASLI nya begini: (tanpa tanda kutip)

"Pagi ini udara kembali sejuk seperti semula. Pepohonan mau kembali menggoyangkan daunnya. Jalanan kembali ramai seperti dahulu. Awanpun kembali cerah seperti 2 tahun yang lalu. Mungkin suasana seperti inilah yang didambakan seseorang. Tapi tidak buatku, hatiku menyangkal semua itu. Walaupun awan menampakkan kecerahannya, tetapi awan dalam hatiku terasa gelap. Aku tak ingin suasana ini terulang lagi. Aku juga tak mau kejadian itu terulang kembali."

Trus kalo kamu tambahi SEDIKIT KODE -lihat yang diberi warna kuning- dalam Modus Edit Html BUKAN Compose menjadi begini: (tanpa tanda kutip)
"Pagi ini udara kembali sejuk seperti semula. Pepohonan mau kembali menggoyangkan daunnya. Jalanan kembali ramai seperti dahulu. Awanpun kembali cerah seperti 2 tahun yang lalu. Mungkin suasana seperti inilah yang didambakan seseorang. Tapi tidak buatku, hatiku menyangkal semua itu. <span class="fullpost"> Walaupun awan menampakkan kecerahannya, tetapi awan dalam hatiku terasa gelap. Aku tak ingin suasana ini terulang lagi. Aku juga tak mau kejadian itu terulang kembali.</span>

"Pagi ini udara kembali sejuk seperti semula. Pepohonan mau kembali menggoyangkan daunnya. Jalanan kembali ramai seperti dahulu. Awanpun kembali cerah seperti 2 tahun yang lalu. Mungkin suasana seperti inilah yang didambakan seseorang. Tapi tidak buatku, hatiku menyangkal semua itu......... Read more"

Lalu teks:
" Walaupun awan menampakkan kecerahannya...."
akan disembunyikan......
Nah... keren dan ringkas kan...
Met Mencoba...!!!^_^


Parse Kode HTML Untuk Posting Blogger

Mungkin masih banyak yang belum tahu. Info ini mengenai mem-parse-kan kode html agar dapat dimasukan dalam posting Blogger, Wordpress dan Blog platform lainnya. Cara ini sangat mudah, kalian tidak perlu melakukan usaha rumit dan repot, cukup copy-paste kode yang akan anda parse sehingga hasilnya menjadi sebuah etintas html.
• Begini caranya
Terkadang kita benar – benar sebel dalam memposting sebuah artikel yang didalamnya terdapat kode – kode HTML. Bukannya kode HTML yang tampil dalam postingan,e…malah layar kosong atau bahkan kode HTML itupun dibaca oleh Blog tersebut sebagai kode HTML yang harus di representasikan, bukannya di tampilkan apa adanya kode HTML yang kita tulis. Mungkin selama ini jika kalian ingin menampilkan kode-kode HTML didalam postingan Blog untuk memberikan sebuah tips kepada pengunjung blog anda, yang didalamnya terdapat kode-kode html yang harus di otak-atik, biasanya anda mengganti (<) dengan (& lt;) dan untuk ( >) dengan (& gt;), jika kodenya sedikit mungkin tidak terlalu melelahkan, namun bagaimana jika kodenya seabrek-brek? Tentulah bikin capek tenaga dan mata. Memang sih ada trik copy-paste, namun tetap saja anda harus melakukannya satu-satu. Nah tinggalkanlah cara lama seperti itu, untuk menghemat waktu, tenaga anda dan menyelamatkan mata dari kelelahan.

Misalkan anda ingin menampilkan kode berikut ini pada posting anda:
<div id=’main-wrapper’>
<b:section class=’main’ id=’main’ showaddelement=’yes’>
<b:widget id=’Blog1&#8242; locked=’true’ title=’Blog Posts’ type=’Blog’/>
</b:section>
</div>
<div id=’sidebar-wrapper’>
<b:section class=’sidebar’ id=’sidebar’ preferred=’yes’/>
</div>
<!– spacer for skins that want sidebar and main to be the same height–>
<div class=’clear’> </div>
</div> <!– end content-wrapper –>
<div id=’footer-wrapper’>
<b:section class=’footer’ id=’footer’/>
</div>
Tentulah mengganti satu-satu untuk tiap tag < atau > dengan & lt; atau gt; adalah urusan yang melelahkan. Sekarang tidak perlu lagi, anda cukup “copy” seluruh kode diatas dan kesini http://www.blogcrowds.com/resources/parse_html.php kemudian anda “paste” seluruh kode tersebut dilembar yang telah tersedia, seperti ini:

Kemudian anda tekan tombol ‘parse’ yang letaknya dibawah lembar diatas.
Nanti semua < akan menjadi & lt; dan > menjadi & gt;.
Oke cukup sampai disini solusinya….Makasih…Selamat Mencoba y…!!! ^_^


MEMBUAT WEBSITE SEDERHANA 1

Kemarin kita udah bicara tentang dasar – dasar Html, dan meletakkan gambar pada sebuah HTML dengan menggunakan kode…
Nah…sekarang kita akan membuat GRAFIK YANG BERBASIS TABEL….
Kita belajar mulai dari awal ya…!!! ^_^
• Tabel
Pada umumnya, table digunakan untuk menampilkan data tabular dalam bentuk baris dan kolom. Perpotongan baris dan kolom di dalam table disebut sebagai sel.
 Menciptakan Tabel
Pada prinsipnya, pembuatan table sangat sederhana sekali, hanya masalah pengorganisasia. Semua tabel harus diawali dengan tag , kemudian ada tia tag dasar yang meliputinya :
o Tag atau table row yang berfungsi mendefinisikan baris
o Tag
atau table heading yang berfungsi mendefinisikan header.
o Tag
atau table data yang berfungsi mendefinisikan sel

 Pemformatan Tabel
Elemen tabel menyediakan sejumlah atribut yang dapat digunakan untuk memformat visualisasi tabel. Tiga atribut pertama yang sering digunakan adalah align (untuk mengatur posisi), cellspacing (untuk mengatur spasi antarsel) dan cellpadding (untuk mengatur spasi antara border sel dengan isinya)
 Desain Tabel
Sebuah tabel tidak selalu memiliki ukuran dan jumlah sel yang sama dalam setiap baris ataupun kolomnya. Sebagai contoh, mungkin kita perlu melakukan penggabungan (merge) sel. Dalam konteks elemen tabel, penggabungan sel dapat dilakukan berdasar baris (rowspan) atau kolom (colspan)
Sekarang kita coba ya source code ini…!!!!!!!
<!DOCTYPE html
PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Transitional//EN"
"http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd">
<html xmlns="http://www.w3.org/1999/xhtml" xml:lang="en" lang="en">
<head>
<title>Grafik Berbasis tabel</title>
</head>
<body>
<blink><font color="Blue" face="arial" size="5">Membuat grafik berbasis tabel 1</font></blink>
<table width="561" height="241">
<tr>
<td colspan="7" style="border-top:#000000 solid;border-bottom:#000000 solid;"><b>Perusahaan</td>
<td colspan="7" style="border-top:#000000 solid;border-bottom:#000000 solid;"><b>Pendapatan</td>
</tr>
<tr >
<!--&nbsp;-->
<td width="172" >Angin Reebot Ltd </td>
<td width="27"></td>
<td width="31"></td>
<td width="25"></td>
<td width="33"></td>
<td width="16"></td>
<td width="13"></td>
<td colspan="6" bgcolor="#FF0000"></td>
<td width="17">+150%</td>
</tr>
<tr>
<td>Command Prompt, Inc </td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td colspan="4" bgcolor="purple"></td>
<td width="16">+55%</td>
<td width="16"></td>
<td></td>
</tr>
<tr>
<td>Hibernate Ltd </td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td>-23%</td>
<td colspan="2" bgcolor="#006600"></td>
<td width="34"></td>
<td width="16"></td>
<td width="16"></td>
<td width="16"></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
</tr>
<tr>
<td>Shutdown Ltd </td>
<td></td>
<td>-75%</td>
<td colspan="4" bgcolor="#FFFF00"></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
<td></td>
</tr>
<tr>
<td colspan="14" style="border-top:#000000 solid"></td>
</tr>
</table>
<a href="Link2.html">Klik di sini</a> Untuk mengakses desain tabel perbandingan item berikutnya
<hr color="black"></hr>
<marquee><font color="Green" face="time new roman" size="2">Oleh:Amanda Rehana Ayudha Tirtani</marquee></font>

</body>
</html>

Simpan dengan judul “Link1.html”
Maka tampilannya akan seperti ini :

Nah…kalo sudah buat yang di atas tadi, sekarang kita buat lagi y…!!!
hmmh…ini lebih ke pembuatan tabelnya,,,, dan hasil HTML yang tadi bisa di link kan ke HTML yang akan kita buat sekarang..
Nah..kita coba source code ini y…!!! ^_^
<!DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Transitional//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd">
<html xmlns="http://www.w3.org/1999/xhtml">
<head>
<title>Grafik Berbasis tabel 2</title>
</head>

<body>
<marquee><font color="Blue" face="Bradley Hand ITC" size="5">Membuat grafik berbasis tabel 2</font></marquee>
<table width="470" height="401" border="0">
<tr>
<td colspan="8" style="border-bottom:#000000 solid;"><p align="center"><font color="black" face="TIME NEW ROMAN" siz"4">PERBANDINGAN FITUR</font></td>
</tr>
<tr>
<td width="31"align="center">No</td>
<td width="0" rowspan="10" style="border-left:#000000 solid thin;">&nbsp;</td>
<td width="208" align="center">Fitur</td>
<td rowspan="10" style="border-left:#000000 solid thin;padding-left:-5px;" width="0">&nbsp;</td>
<td width="92" align="center">Enterprise</td>
<td width="0" rowspan="10" style="border-left:#000000 solid thin;">&nbsp;</td>
<td width="0"align="center">Pro</td>
<td width="0"align="center">Free</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="8" style="border-top:#000000 solid thin;"></td>
</tr>
<tr>
<td align="center">1</td>
<td>Garansi seumur hidup </td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">-</td>
<td align="center">-</td>
</tr>
<tr>
<td align="center">2</td>
<td>Multiuser</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">-</td>
<td align="center">-</td>
</tr>
<tr>
<td align="center">3</td>
<td>Update otomatis </td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">-</td>
</tr>
<tr>
<td align="center">4</td>
<td>Cetak Laporan </td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">-</td>
</tr>
<tr>
<td align="center">5</td>
<td>Notifikasi error </td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="8" style="border-top:#000000 solid thin;"></td>
</tr>
<tr>
<td align="center">6</td>
<td>Ubah tema </td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
</tr>
<tr>
<td align="center">7</td>
<td>Try ikon</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
<td align="center">X</td>
</tr>
<tr>
<td colspan="8" style="border-top:#000000 solid thin;"></td>
</tr>
</table>
<BLINK><font color="#FF0000" face="Calibri" size="3">Oleh:Amanda Rehana Ayudha Tirtani</font></BLINK>
<BR><a href="Link1.html">Back</a> kembali ke halaman utama
</body>
</html>
Simpan dengan judul “Link2.html”
Maka hasilnya akan seperti ini :

Ok…kalo sudah, mari kita review....!!!
Di source code yang pertama, kita lihat ada code seperti ini :
<a href="Link2.html">Klik di sini</a> Untuk mengakses desain tabel perbandingan item berikutnya

Tulisan yang berwarna merah, dapat diartikan bahwa bila kita mengklik kata “Klik di sini”, kita akan terhubung dengan “Link2.html”
OK………………?????????????????
P.S : - warna, tulisan, dan settingan yang lain bisa di utak –atik sendiri y…!!!
- Bila ada kesulitan hubungi di my contact
SELAMAT MENCOBA….!!!!^_^

Minggu, 21 Februari 2010

INSTALISASI WINDOWS XP

Atur BIOS agar prioritas bootingnya dimulai dari CD(DVD)-ROM, dengan cara:
o Masuk ke BIOS dengan menekan tombol Del.
o Pilih menu Advanced Settings, kemudian carilah ‘Boot Priority’ atau yang sejenis.
o Ubah pengaturannya agar CDROM merupakan urutan pertama. Kemungkinan pilihan ini memiliki 2 jenis:
Dengan menu ‘First boot priority’, ‘Second boot priority’ dll: Atur ‘First boot priority’ ke ‘CDROM’ dengan menekan tombol PgDn/Pgup (Page Down/Up) atau +/-.
Atur juga ‘Second boot priority’nya ke HDD0/HDD1.

Jika menunya ‘Boot priority’: atur ke ‘CDROM, C, A’ atau ‘CDROM, A, C’ dengan menekan tombol PgDn/Up.
o Kembali ke menu sebelumnya dengan menekan tombol Esc. Sampai di ini, masukkanlah CD-ROM/DVD instalasi Windows ke drive optik.
o Tekan F10, kemudian ketik Y dan tekan Enter.
o Komputer akan restart
Tekan sembarang tombol jika tampil perintah ‘Press any key to boot from CD...’. Komputer kemudian akan meload Windows sementara, untuk proses instalasi.
Sebagai catatan: Di baris terbawah layar biasanya akan tertulis perintah-perintah beserta tombol keyboard yang harus ditekan.
Setelah loading selesai dan menu berlatar-belakang biru muncul, akan ada pemilihan mode Setup. Tekan Enter untuk memulai proses instalasi.
Tekan F8 untuk menerima ketentuan lisensi.
Setup akan meminta tempat instalasi Windows XP. Hard disk pertama akan otomatis terpilih. Kemudian tekan Enter.
Akan ada pilihan mode Format untuk Hard Disk. Pilihlah ‘Format the partition using the NTFS file system (Quick)’. Kemudian Setup akan menyiapkan Hard Disk tersebut dan mengopi seluruh file-file Windows yang diperlukan. Tunggulah beberapa menit sampai indikator Progress Bar mencapai 100%.
Komputer akan restart. Jangan menekan tombol apapun pada keyboard jika tampil tulisan ‘Press any key to boot from CD...’ karena sekarang dalam proses membooting komputer melalui Hard Disk yang telah disiapkan oleh Setup. Kemudian Setup akan memasuki mode GUI (Graphical User Interface).
Windows akan meminta nama user beserta nama organisasi, kemudian diisi. Ketika diminta CD-KEYnya, masukkan seperti yang tertulis di atas CD.
Windows akan meminta pengesetan waktu dan tanggal komputer. Pilih time zone yang sesuai, yaitu +7 (Bangkok, Hanoi, Jakarta) kemudian akan dilanjutkan dengan penginstalan kartu network.
Klik OK atau Next sampai selesai.
Komputer akan restart untuk yang kedua kalinya.
Ketika loading selesai, kemudian akan dipandu untuk mengeset nama (account) pengguna. Klik tanda panah kanan berulang kali sampai selesai. Proses instalasi selesai.

My Father My Rival

Oleh : Dina Meta Mareta
Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya
Pendidikan Bahasa Inggris

CHAPTER 1

”Tapi, Tuan Po, aku sangat membutuhkan uang itu!” rengek Lin kepada Tuan Po, laki-laki gemuk dengan kumis lebat memuakkan yang ternyata adalah atasan Lin dalam bisnis restoran cepat saji ini.
”Maaf, Lin, tapi ayahmu sudah mengambil semua sisa gajimu awal minggu ini,” katanya bersikeras.
Lin mengerutkan keningnya dengan gusar. Dasar ayah sialan! umpatnya dalam hati.
”Kenapa Anda membiarkannya begitu saja?” tanya Lin, dia setengah menyalahkan Tuan Po dalam masalah ini.
”Dia terus memaksa jadi aku tidak bisa bilang apa-apa,” kata Tuan Po, sambil mencermati jam tangannya.
”Tidak bisa bilang apa-apa?” tuntut Lin. Dia tidak percaya dengan pengakuan Tuan Po barusan, Lin tahu sekali bagaimana watak atasannya ini. Sangat tidak mungkin Tuan Po yang piawai dalam bicara bisa kehabisan kata-kata saat berhadapan dengan ayahnya.
Tuan Po cuma melengos menatap catatan di atas meja di depannya. ”Aku rasa aku sedang sibuk hari ini, jadi kau bisa meninggalkan ruanganku segera,” katanya, jelas dia sedang mengusir Lin.

Lin mendengus karena kesal, tapi akhirnya dia pergi juga dari ruangan itu. Tidak bisa ditutupi dia kesal sekali dengan Tuan Po, lebih-lebih pada ayahnya. Makanya dia terus saja mengutuki ayahnya dalam hati.
Linda Denissa, anak perempuan kurus berusia tujuh belas tahun yang sangat membeci ayahnya melebihi rasa bencinya kepada siapapun dan pada apapun. Setahun lalu, Lin masih merasa cukup senang karena belum berurusan dengan ayahnya, tapi tahun ini tidak. Sebenarnya begini ceritanya, sejak berusia enam tahun kedua orang tua Lin bercerai, dan ibunya yang mendapatkan hak perwalian tersebut. Selama hampir sebelas tahun Lin tidak pernah tahu bagaimana lagi kabar ayahnya, Tuan Denissa tidak pernah mengiriminya surat lebih-lebih mengiriminya kartu ulang tahun. Tepat awal bulan ini Nyonya Denissa sakit mendadak sampai akhirnya meninggal. Jadi, hak perwalian diserahkan kepada Tuan Denissa yang sangat tidak diharapkan masih hidup oleh Lin.
Hari ini untuk kedua kalinya Tuan Denissa melakukan itu, makanya Lin benar-benar telah memantapkan hati akan membuat perhitungan dengan ayahnya.
Dia menendang pintu rumah sampai terjeblak. Tuan Denissa yang sedang memakai celemek yang sering digunakan oleh Nyonya Denissa semasa dia hidup, berhenti mengirisi daging dan menatap Lin dengan aneh.
”Kembalikan uangku,” kata Lin segera.
Tuan Denissa belum menjawab, dia membersihkan tangannya dengan lap lalu kembali menatap Lin. ”Uang itu sudah aku gunakan untuk biaya sekolahmu,” katanya akhirnya.
”Apa?” pekik Lin tidak percaya.
”Ya, kau nunggak tiga bulan,” kata Tuan Denissa tanpa merasa bersalah.
Lin tidak percaya dengan pendengarannya. Berani-beraninya laki-laki sialan ini, pikirnya. ”Dengar ya, kau tidak usah mencampuri urusan pribadiku! Aku sudah tidak mau lagi sekolah, aku mau bekerja saja, dan kau! Harusnya kau tahu, kalaupun nantinya aku bersekolah lagi, bukan aku yang seharusnya membiayainya semua tunggakan sekolah. Ingat, statusku adalah seorang anak!” teriak Lin berapi-api.
”Baiklah, mungkin kali ini aku masih mengangur, tapi nanti aku akan segera mendapat pekerjaan. Akan aku buktikan kalau aku masih mengingat statusmu!” balas Tuan Denissa sambil menatap Lin dengan marah.
”Hah, seharusnya aku tahu kenapa ibu minta bercerai denganmu! Kau cuma bisa merepotkannya saja, mengabiskan uangnya sementara ibu bekerja keras…” perkataan Lin terhenti saat sesuatu yang menyakitkan mengenai pipinya, Tuan Denissa baru saja menamparnya.
Mata Lin berair karena menahan sakit, dia menatap Tuan Denissa dengan marah. ”Kau menamparku?” tuntut Lin.
Tuan Denissa menatap puterinya dengan penuh penyesalan. ”Lin, dengar…”
”Akan aku laporkan agar hak perwalianmu dicabut!” acam Lin sambil berlari menjauh.
”Lin, tunggu!” teriak Tuan Denissa. Lin tidak menggubrisnya, dia terus berlari, tidak ada airmata yang keluar karena kesedihan, yang ada hanya kemarahan.

Lin segera menemui Tuan Shaddik, laki-laki keturunan Arab yang dipercaya ibunya sebagai pengurus hak perwalian Lin dan harta warisannya.
Selalu seperti ini, tiap kali Lin ingin menemui Tuan Shaddik, dia tidak pernah menemukan kesulitan seolah orang yang ditemuinya itu tidak cukup sibuk dan punya pekerjaan yang menumpuk. Tapi itu bagus, semakin cepat dia mengatakannya kepada Tuan Shaddik semakin melegakan.
”Tuan, aku ingin hak perwalian ayahku dicabut,” kata Lin setengah memaksa.
”Tapi dialah satu-satunya orang terdekatmu, kau tidak punya siapa-siapa lagi selain ayahmu,” kata Tuan Shaddik sembari mengaduk tehnya beberapa kali.
”Aku tidak butuh orang terdekat untuk bisa hidup, aku bisa hidup sendiri. Lagipula, aku yakin Anda sudah cukup jelas untuk bisa melihat bekas tamparan di pipiku ini, kan?” tuntut Lin sambil menunjuk pipinya yang merah.
Dari awal Lin sudah tahu kalau hak perwaliannya akan jatuh kepada ayahnya kalau dia masih hidup, makanya sejak awal Lin sudah memohon-mohon kepada Tuan Shaddik agar tidak memberikan hak perwalian kepada ayahnya yang sama sekali tidak dia kenal sejak sebelas tahun ini. Sialnya nasib Lin, keinginannya tidak tercapai. Dan sekarang selagi kesempatan dibuka lebar, dia ingin agar Tuan Shaddik tahu kalau dia punya bukti yang kuat untuk melepaskan hak perwalian ayahnya.
”Lin, dengarkan aku. Aku tahu ayahmu melakukan semua ini pasti dengan alasan yang cukup kuat…”
”Tapi dia menamparku! Ini sudah termasuk tindakan penganiayaan!” elak Linda, sambil mengertakkan gigi setelahnya.
”Baiklah, ceritakan apa yang terjadi,” kata Tuan Shaddik dengan sangat tenang.
Lin merasakan ada aliran harapan dalam darahnya, maka dengan senang hati dia memulai ceritanya. ”Jadi, begini. Dia sudah berani mengambil gajiku dari Tuan Po…”
”Untuk apa dia mengambilnya?” potong Tuan Shaddik.
”Dia bilang itu untuk bayar sekolahku, harusnya kan dia yang membiayainya, bukan aku. Dia orang tua, dia yang bekerja!” kata Lin meledak-ledak.
”Jadi, begitu?” tanya Tuan Shaddik sambil membuka lacinya dan mencabut sebuah arsip.
”Memang begitu!” balas Linda dengan jengkel.
Tuan Shaddik membuka arsipnya dan menelusuri tulisan di dalamnya dengan jari telunjuknya. ”Ayahmu tidak pernah menikah lagi,” kata Tuan Shaddik, sambil mendongak menatap Lin.
”Aku juga tahu,” jawab Lin ketus. Dia jengkel sekali dengan Tuan Shaddik yang menanggapi keluhannya tadi dengan perkataan yang sangat menyimpang dari harapannya.
”Tidak, kau tidak tahu,” kata Tuan Shaddik.
Lin mendengus mendengar ucapan Tuan Shaddik barusan.
”Ayahmu mungkin menyadari sejak awal kalau kau akan membutuhkannya,” kata Tuan Shaddik, sambil menatap Lin lekat-lekat.
Lin balas menatapnya lekat-lekat, dalam otaknya sedang berpikir. ”Maksud Anda, dia cukup yakin kalau ibuku akan mati duluan, begitu? Hah, tentu saja dia tahu semua itu karena dia cukup sadar bahwa dia selalu menyebabkan ibu menderita, dia pembunuh!” tuntut Linda.
”Ah, jelas sudah masalahnya,” kata Tuan Shaddik lebih tenang dari yang tadi.
”Apa?”
”Kau sudah mengatakan hal yang tidak tepat di depannya, makanya dia menamparmu…”
”Ya, tapi…”
”Tapi, dia melakukan hal yang wajar untuk mendidik anaknya, Lin,” kata Tuan Shaddik telah berhasil menemukan penyelesainnya.
”Itu bukan mendidik, tapi menyiksa!” teriak Lin mulai jengkel.
”Bukan,” kata Tuan Shaddik sambil menggeleng, ”aku kenal betul bagaimana watak ayahmu, Lin,” kata Tuan Shaddik menutup sesi dialog itu.








CHAPTER 2

Hari itu juga Tuan Denissa pergi menemui Tuan Po. Laki-laki pendek dan berkumis itu sedang bersantai di ruangannya saat Tuan Denissa masuk. Kaki pendeknya yang terlentang di atas meja mendadak merosot turun begitu matanya melihat kehadiaran Tuan Denissa.
”Ah, Anda rupanya,” katanya sambil sebisanya tampak formal dan rapi.
”Ya, aku,” jawab Tuan Denissa dengan tenang.
”Hmm… gaji Linda sudah Anda ambil semua…” kata Tuan Po sambil membolak-balik buku catatan di depan mejanya, berlagak lupa soal itu.
”Bukan itu masalahnya,” kata Tuan Denissa sebelum Tuan Po benar-benar mempersilakannya untuk duduk.
”Oh, bukan itu?” ulang Tuan Po, sambil mendongak dan menatap mata Tuan Denissa yang berada jauh di atasnya.
”Benar,” jawab Tuan Denissa singkat.
”Baiklah, silakan duduk,” katanya. Tuan Denissa menurut.

Lin tidak menemukan ayahnya ada di rumah saat ia pulang, dan menurutnya itu sangat melegakan. Pergi saja selamanya, tidak usah kembali juga tidak apa-apa, pikir Lin licik. Maka dengan hati yang senang dia tertidur.
Jam weker di atas meja membuat Lin harus membuka matanya pagi itu. Selama liburan semester ini, Tuan Po meminta semua pegawainya untuk bekerja nonstop, dari pagi sampai sore. Maka dengan segera Lin mandi dan bersiap berangkat.
Saat ia menuruni tangga rumah, dia sadar kalau ayahnya masih tidak ada di rumah. Lin kegirangan menyadari hal itu. ”Huh, tidak ada pria itu, tidak ada tenaga yang terbuang percuma untuk teriak-teriak,” gumam Lin kepada dirinya sendiri.
Sebelum Lin benar-benar keluar dari rumahnya, dia sempat berpapasan dengan meja makan yang penuh dengan makanan di atasnya. Mau tidak mau akhirnya dia menghampiri meja itu juga.
”Wow,” gumamnya penuh ketakjuban. Lin memandanginya dengan seksama sampai ia juga memandang sebuah kertas di antara makanan itu, di kertas itu tertulis sebuah kata yang Lin sama sekali tidak menyukainya.
”Makanlah?” tanya Lin bingung dengan tulisan itu. ”Tidak.”
Mendadak keinginannya untuk makan lenyap tanpa diduga. Lin melempar tulisan itu begitu saja, lalu ia pergi meninggalkan makanan-makanan tadi dengan sangat kesal, soalnya dia tahu artinya, ayahnya kemarin kembali ke sini dan harapan agar ayahnya pergi selamanya tidak terkabul.

”Aku tidak terlambat, kan?” tanya Lin saat ia memasuki pintu Po’s Hungger. Tina dan Cindy, teman kerja Lin, menoleh bersamaan.
Restoran itu masih sepi dan belum ada pengunjungnya.
”Hmm… belum,” jawab Tina.
”Ya ampun, seragammu kotor sekali,” kata Cindy, sambil menatap dengan jijik seragam yang dikenakan Lin.
”Tidak sempat mencuci,” jawab Lin, sambil memasukkan ranselnya ke dalam laci lalu mengenakan clemeknya.
”Bagaimana mungkin Tommy akan menyukaimu kalau kau jorok seperti itu,” kata Cindy, sambil mengelap salah satu meja pengunjung yang agak kotor.
”Aku tidak peduli kalau dia tidak menyukaiku,” jawab Lin dengan asal. Berlagak tidak peduli.
”Oh, jangan seperti itu,” kata Cindy, sambil merapikan rambutnya seolah dia ingin menunjukkan kalau Lin harusnya mencontoh gaya dan tatanan rambutnya.
”Sudahlah, Cin,” kata Tina agak merasa muak.
”Setuju, sudahlah,” kata Lin mendukung Tina.
”Curang, dua lawan satu,” umpat Cindy dengan jengkel. Sementara Lin dan Tina terkikik bersama.
”Apa yang kalian ributkan gadis-gadis?” tanya Harry, pria gendut dan ramah yang menjadi koki di Po’s Hunger, Kelaparan Po, itu nama restoran kecil ini.
”Aku kira kau belum datang, Harry,” kata Lin.
”Aku baru saja dari belakang,” katanya, sambil menggosok perutnya sendiri, ”mencret,” tambahnya dalam bisikan.
Lin, Cindy dan Tina tertawa bersama. ”Harry, kau mungkin sudah terlalu lama bekerja di dapur,” gurau Cindy.
”Jangan membuatku merasa tidak pantas lagi jadi koki, Nak,” kata Harry. Lin, Tina dan Cindy kembali tertawa.
”Sudahlah, ngomong-ngomong soal koki, Tuan Po kemarin memberitahuku kalau hari ini akan ada koki baru,” katanya, sambil berjalan menuju dapur di belakang meja panjang.
”Koki baru?” tanya Lin.
”Ya, aku rasa dia akan segera dipecat kalau di hari pertama saja dia sudah terlambat,” katanya.
”Aku rasa kau sedikit keliru, Harry. Jagoan kita yang satu ini juga sudah sering terlambat, tapi tidak ada pemecatan,” kata Tina, sambil memandang keluar dan menemukan Vickey juga baru saja datang.
”Terlambat lagi, Tuan Muda?” ejek Lin saat Vickey telah memasuki Po’s Hungger.
Vickey melengos menatapnya dengan pandangan kurang bersahabat. ”Aku tidak mengerti apa sebenarnya urusanmu dengan keterlambatanku, Cewek sok tahu?” balas Vickey. Vickey adalah gambaran cowok seusia Lin yang urakan dan tidak tahu aturan, bisa dibilang Tuan Po setengah mengantuk saat menerima Vickey bekerja di sini. Sebenarnya kalau mau memperhatikan wajah Vickey, kau akan sadar kalau ia hampir mirip dengan aktor keren Shia LaBeouf. Sayangnya orang-orang mungkin tidak begitu menyadarinya karena Vickey kurang mampu memperdayakan ketampanannya, begitu kata gadis-gadis populer di sekolahnya.
Lin menyeringai dengan sinis sambil menatapnya. ”Tidak, hanya saja aku lebih senang kalau harus tahu bahwa kau tidak akan datang. Selamanya!” kata Lin dengan kepuasan tersendiri.
Vickey nampak semakin tidak senang, wajahnya mulai berubah menjadi merah padam dan pandangannya terlihat bengis. Mereka saling tatap sebentar, tidak ada yang merasa perlu mengalah dalam hal ini.
Jujur saja, sebenarnya ada beberapa jenis orang yang sangat dibenci oleh Lin;
1. orang yang bertingkah sok (sok segalanya; sok tahu, sok kaya, sok pamer, sok cuek…semuannya!)
2. orang yang suka menonjolkan sisi kemalangannya di depan oaring lain.
Contoh :
A : Kau tahu, aku punya masalah dengan kakiku! Lihatlah lecet!
B : Oh, itu sih tidak seberapa! Aku malah punya yang lebih besar!
A : Tapi ini sakit!
B : Punyaku jauh lebih sakit dan mungkin super sakit!
A : Tidak! Punyaku jauh lebih parah!
Menurut Lin, orang-orang seperti itu adalah orang-orang aneh yang suka mengompetisikan penderitaan masing-masing sebagai penderitaan yang lebih besar dari orang lain, dan itu sangat abnormal!
3. orang yang suka ikut-ikutan.
Lin membenci orang-orang tolol macam ini melebihi apapun!
”Mereka seperti orang idiot yang tidak memiliki pendirian, seadainya aku membakar diri, mungkin dia juga akan ikut,” ungkap Lin.
Dan sangat kebetulan karena dia menemukan salah satunya ada pada diri Vickey, tepatnya jenis yang pertama. Menurutnya vickey adalah pemuda konyol yang selalu bertingkah sok keren dan sok cuek! Lin sangat senang saat menemukan alasan lain untuk membencinya selain caranya berdandan.
”Er… sudahlah, bagaimana bisnis pot bunga ibumu, Nak?” tanya Harry kepada Vickey. Mencoba membuat situasi menjadi nyaman.
Lin tersentak tapi akhirnya kembali menanamkan konsentrasinya pada Vickey.
”Menyeramkan,” jawabnya, nyaris tanpa mengalihkan pandangannya dari Lin.
Sebenarnya ibu Vickey adalah ibu rumah tangga yang selalu memiliki bisnis-bisnis aneh, sekali waktu dia pernah menjalankan bisnis pupuk kandang yang baunya sangat merepotkan karena Nyonya Victoria mengumpulkan pupuk kandang yang masih fresh, baru saja keluar. Dan kali ini, Lin menduga pot-pot itu juga bukan pot biasa atau lebih bagus kalau disebut pot kesialan. Mungkin saja pot itu sudah pernah menghabisi nyawa seseorang, entahlah.
Saat pandangan mata Lin dan vickey kembali memanas, tiba-tiba Tina ambil bagian, dan sepertinya langkahnya berhasil
”Oh ya, Lin, aku rasa kemarin aku melihatmu di jalan Rasberry, mau pergi ke mana?” tanya Tina, sebisanya merampas konsentrasi Lin.
Lin akhirnya mengalihkan pandangannya dari Vickey, dia menatap Tina dengan lesu. ”Kantor Tuan Shaddik,” kawab Lin tanpa semangat.
”Laki-laki yang mengurusi urusan keluargamu itu?” tanya Tina dengan sebal, tidak tahu kenapa.
”Ya,” jawab Lin singkat.
”Masalah ayahmu? Bagaimana hari-harimu bersamanya? Kau nyaris tidak pernah menceritakan apa-apa kepada kami,” kata Cindy tiba-tiba melibatkan diri dalam pembicaraan.
”Jangan tanya soal laki-laki itu, aku sangat membencinya,” jawab Lin seolah tidak ingin lagi memperdebatkan masalah ini.
”Yang seperti itu sih memang biasa, tidak perlu dibesar-besarkan! Dasar cewek,” kata Vickey seenaknya.
Lin kembali menatap Vickey dengan janggal seolah mengatakan kalau Vickey bicara sekali lagi maka sebuah tinju akan melayang di udara dan menghantam wajahnya. ”Yah, Laki-laki sok pintar, semoga memang biasa saja, soalnya aku yakin kam…” ucapan Lin tercekat saat melihat seseorang di luar sana sedang membuka pintu Po’s Hunger.

















CHAPTER 3

Saat laki-laki itu telah masuk Po’s Hunger, hati Lin merasa sangat mencelos.
”Maaf aku terlambat,” katanya. Semua orang menatapnya dengan mantap, Lin juga.
”Ayah?” kata Lin pelan.
”Ayah?” tanya yang lainnya. Lin tidak menggubris keterkejutan yang lain, perhatiannya benar-benar tertuju pada ayahnya yang saat itu sudah mengenakan seragam Po’s Hunger.
”Ya, Lin. Aku memutuskan bekerja di sini,” kata Tuan Denissa dengan kaku.
Lin menatap ayahnya dengan sangat tidak percaya. Apa-apaan ini, pikirnya.
”Aku ingin bicara,” kata Lin dengan sangat marah.

”Kenapa ayah tidak mencari tempat kerja yang lain saja?” tuntut Lin saat akhirnya dia dan ayahnya sudah mencari tempat yang sepi untuk bicara.
”Apa salahnya?” tanya Tuan Denissa seolah kegusaran di wajah Lin belum cukup banyak untuk menunjukkan betapa salahnya dia.
”Salahnya adalah karena aku juga bekerja di sana!” teriak Lin saking jengkelnya.
”Bukannya itu bagus untuk pendekatan hubungan ayah dan anak?” tanya Tuan Denissa sepertinya mulai terbiasa dengan ocehan Lin yang hadir setiap saat.
”Begitukah? Kalau begitu, kau benar-benar harus menyesal karena punya anak sepertiku,” kata Lin memuncak lagi.
”Tidak,” jawab Tuan Denissa, sambil mengeleng.
”Ya, kau menyesal!” teriak Lin lagi-lagi, ”kau selalu menyesal, kau tidak bisa merasakannya ya? Wajar, sebelas tahun ini aku sudah cukup senang meyakini bahwa kau telah mati, harusnya itu juga yang kau lakukan! Kenapa kau tidak melakukannya?”
”Lin, dengar…”
”Aku tidak mau mendengar apapun! Dan kau sudah berani menamparku kemarin!” teriak Lin lalu dia pergi.
”Baiklah, Lin, kalau itu maumu! Aku akan bekerja di sini tidak lebih dari dua minggu, cuma dua minggu!” kata Tuan Denissa dengan tegas, tapi Lin sama sekali tidak menggubrisnya. ”Atau kurang!” Tuan Denissa menambahkan, sama saja Lin masih tidak menganggap ucapan ayahnya perlu didengarkan.
Lin masuk kembali ke dalam Po’s Hunger dan di sana setiap orang sedang memandangnya. Lin menghindari tatapan mata tiap orang saat dia berjalan ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi Lin duduk dalam diam di atas toilet, memandangi tisu yang tergantung di tolet tersebut dengan sebal, seolah tisu itu sudah membuat hatinya remuk berkeping-keping.
”Lin,” kata seseorang dari balik pintu kamar mandi. Lin tahu itu suara siapa, suara Tina.
”Sudalah, Tin. Kau tidak akan bisa mempengaruhiku kali ini,” kata Lin dengan sebal. Begitulah Lin menyebut nasehat-nasehat Tina, mempengaruhi.
Tina mengetuk pintunya sekali sebagai tanda kalau dia agak kesal mendengar jawaban Lin. Sementara Lin, dia berdecak karena jengkel.
”Aku cuma mau memberitahumu, tahu!” kata Tina marah.
”Baiklah, katakan saja, aku akan mendengar dari sini,” kata Lin. Lin merasa cukup baik dengan melakukan itu.
Tina mendengus sebentar, tapi akhirnya dia bicara juga. ”Dengarkan aku, Lin. Kau tidak seharusnya berkata seperti itu pada ayahmu,” katanya dengan sabar.
Lin sekali lagi berdecak, dan decakan itu merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh Lin, sehingga Tina tahu benar bagaimana ekspresi wajah Lin saat ini meskipun dia tidak bisa melihatnya secara langsung. ”Jangan menyodorkan muka seperti itu!” teriak Tina dari balik pintu.
”Apa?” tanya Lin pura-pura tidak mengerti.
”Wajah sebalmu itu! Aku tahu meskipun aku tidak melihatnya secara langsung,” kata Tina seolah memberitahu kalau dia menguasai ilmu tembus pandang.
”Bagaimana tidak sebal, kalian sudah menguping pembicaraan kami!” balas Lin. Dia sedikit merasa puas karena menemukan alasan yang pas.
”Menurutmu kami menguping?” tuntut Tina. Lin bisa membayangkan kalau saat ini rahang Tina mulai mengencang karena kesal.
”Ya,” jawab Lin sesantai mungkin.
Giliran Tina sekarang yang berdecak dengan jengkel.
”Jangan menirukan caraku berdecak!” teriak Lin.
”Sejak kapan kau punya hak paten untuk gaya berdecak?” balas Tina tidak mau kalah.
”Ah sudahlah. Jadi, jelaskan padaku kenapa kalian menguping pebicaraan kami?” tuntut Lin. Dia sengaja melakukan itu karena sadar bahwa pada sesi dialog tadi dia kalah telak dengan Tina.
”Aku kan sudah bilang, kami tidak menguping!” kata Tina menegaskan. Lin senang mengetahui Tina tidak menyadari kalau dia sudah mengalihkan pembicaraan.
”Lalu, bagaimana kau bisa tahu apa yang kami bicarakan?” tanya Lin.
Selama beberapa saat sepi, Lin menduga kalau Tina sudah nyaris kabur karena ketahuan menguping.
”Tin?” teriak Lin, memastikan kalau Tina masih ada di sana.
”Ya, aku masih di sini. Aku cuma berpikir betapa tololnya gadis di dalam kamar mandi ini,” kata Tina akhirnya.
”Kenapa?”
”Kau bicara dengan volume yang membuat semua orang dari jarak ratusan meter mendengar!” teriak Tina.
Lin mendengus karena bingung harus bicara apa lagi.
”Jadi, Lin. Aku pikir kau harus mendengarkan nasehatku,” kata Tina, ”ayahmu kan sudah bilang kalau dia akan pergi dalam waktu kurang dari dua minggu, cuma dua minggu, apa salahnya? Aku rasa dia juga laki-laki yang baik…”
”Itu karena kau cuma tahu sisi luarnya saja! Dia sudah berani menamparku kemarin!” balas Lin.
”Terserah kau saja! Yang penting, sekarang kau keluar dari kamar mandi sialan ini, dan bersikaplah baik kepada ayahmu!” kata Tina. Lalu suaranya tidak terdengar lagi selama beberapa saat. ”Cuma dua minggu atau kurang, Lin. Beri dia kesempatan,” kata Tina menambahkan, lalu dia pergi.
Lin terus berpikir dan merasa ingin menyalahkan ucapan-ucapan Tina. Dia merasa Tina cuma asal bicara, dia kan tidak tahu bagaimana laki-laki itu sebenarnya, pikir Lin.




CHAPTER 4

Akhirnya Lin keluar dari kamar mandi. Po’s Hunger sudah ramai saat itu. Lin berjalan menuju meja pesanan dan mengambil catatannya, matanya sempat berpapasan dengan Tina dan ayahnya yang terlihat sedang berkomplot, sementara Cindy dan Harry pura-pura tidak ikut campur.
Vickey mendatanginya, dia berjalan dengan gaya cueknya yang dipaksakan. Lin muak sekali melihatnya.
”Sebelum kau mulai mengatakan sesuatu, aku lebih suka untuk memberitahumu bahwa aku tidak ingin mendengar apa-apa darimu!” kata Lin tanpa menatap Vickey dengan sungguh-sungguh.
Vickey bungkam selama beberapa saat sambil terus memandang mata Lin yang selalu menghindarinya. ”Kau benar. Kau mungkin tidak akan mau mendengar apa-apa dariku, tapi aku harus mengingatkanmu bahwa penyesalan selalu datang belakangan,” kata Vickey, tanpa diduga akan mengatakan hal seserius itu. Dia melengos sebentar lalu pergi.
Lin menatap tubuh jangkung Vickey yang semakin menjauh. Vickey kadang memang bodoh tapi dia selalu menyimpan kejutan-kejutan tertentu di dalam kebodohannya itu. Lin tercengang beberapa saat sebelum akhirnya dia melupakan ucapan Vickey dan melupakan pandangan mata teman-temannya. Segera saja dia berjalan menuju meja pengunjung nomer tiga. Di sana duduk seorang bapak-bapak berjenggot lebat dan dua orang anak laki-lakinya yang mungkin berusia sebelas tahunan.
”Maaf, Tuan. Anda, ingin pesan apa?” tanya Lin sebisanya terdengar ramah meskipun dia tidak begitu menyukai wajah dari ayah dan anak itu.
”Biarkan aku berkonsentrasi sebentar untuk memilih menu yang cocok, Nak,” katanya pada Lin. Orang itu membuka daftar menu dan membacanya berulang-ulang dari atas ke bawah. Sementara itu, dua orang anaknya saling menaburkan garam dan merica ke muka yang lain, sehingga ada kalanya satu di antara mereka bersin-bersin dan ada kalanya yang lainnya mengerjit karena menelan garam terlalu banyak.
”Hei kau curang, senjatamu lebih mematikan dari punyaku!” teriak si anak yang membawa garam.
”Curang bagaimana! Lidahku sampai kaku karena menalan garam cukup banyak!” balas yang satunya.
”Dan aku bersin-bersin terus sejak tadi!”
Lin mengawasi mereka dengan aneh. Gambaran situasi yang aneh, begitu pikir Lin.
Kedua anak tersebut diam dengan sendirinya, mereka saling melirik dengan sadis satu sama lain. Salah satu tangan dari kedua anak tersebut mengetuk-ngetuk meja, lalu bersamaan mereka menangkap bubuk cabai yang ada di tengah-tengahnya. Keduanya saling berebut.
”Hei, ini milikku!” teriak si anak yang tadi membawa garam.
”Enak saja! Ini milikku!” balas yang satunya tidak mau kalah.
Keduanya akhirnya berdiri berhadapan dan saling menarik bubuk cabai dari tangan anak yang lain.
”Lepaskan! Dasar kau bocah merica!”
”Kau yang lepaskan, bocah garam!”
Suara mereka yang keras membuat semua orang menatap mereka dengan aneh. Si ayah masih saja membaca menu seolah tidak terjadi apa-apa.
”Hentikan!” teriak Lin sambil melerai keduanya.
”Kau tidak usah ikut campur, Nona jelek!” teriak keduanya bersamaan.
”Apa?”
”Ya!” sahut keduanya.
Lin mengeretakkan gigi dengan marah, sementara dua anak tersebut kembali saling berebut.
”Hei kalian, hentikan!” teriak seseorang, Tuan Denissa.
Tuan Denissa mendekati keduanya dan merebut cabai bubuk dari tangan kedua anak tersebut. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi agar dua anak itu tidak bisa menggapainya.
”Berikan itu, dasar kau Orang tua tinggi dan menyebalkan!” umpat salah satu dari mereka saat tangannya tidak sampai menjangkau tangan Tuan Denissa yang memegang cabai bubuk tersebut.
”Kau memanggilku Orang tua tinggi dan menyebalkan?” ulang Tuan Denissa dengan marah.
Lin tertawa mendengar sebutan itu, ”Orang tua tinggi dan menyebalkan? Kau tahu, itu cocok sekali denganmu!” kata Lin setengah menghina.
”Kau jangan ikut-ikutan memanggilku begitu!” bentak Tuan Denissa semakin marah.
”Ha-ha-ha, itu resiko kalau Ayah memutuskan bekerja di tempat ini!” balas Lin.
Urat Tuan Denissa berdenyut-denyut saking marahnya, tiba-tiba laki-laki itu membuang cabai bubuknya dan menatap Lin dengan sebal. ”Jangan memaksaku melakukannya lagi,” kata Tuan Denissa.
”Memaksa Ayah melakukannya?” ejek Lin sok ngeri, ”dengar ya, aku tidak pernah memaksa Ayah menamparku kemarin, memangnya Ayah dengar aku bicara, ’Ayah, kau harus menamparku,’ tidak, kan? Jadi, Anda, Orang Tua Tinggi Dan Menyebalkan…”
”Aku bilang jangan ikut-ikutan menyebutku begitu!” teriak Tuan Denissa dengan tangan terkepal rapat.
”Memangnya kenapa? Julukan itu kan cocok dengan Ayah,” balas Lin, ”Apa? Kau mau menamparku sekarang? Lakukan saja.”
Tuan Denissa benar-benar marah, dia sudah siap melemparkan tangannya ke pipi Lin kalau saja tidak ada yang memagangi keduanya agar menjauh.
”Lepaskan aku, Harry!” teriak Tuan Denissa.
”Dicky, kau tidak boleh menampar puterimu sendiri!” teriak Harry, sambil mempertahankan peganganya.
”Biarkan aku menghajar orang tua itu!” teriak Lin, sambil menendang-nendang udara saat Vickey juga sedang berusaha memeganginya.
”Kau gila! Kau perempuan, kau tidak akan menang!” teriaknya dengan jengkel.
”Kau sudah membuat kesabaranku habis, Nak!” teriak Tuan Denissa.
”Dan itu seharusnya jadi ucapanku karena aku sudah bersabar selama sebelas tahun ini!” balas Lin.
”Dasar kau gadis kurang ajar!” teriak Tuan Denissa, sambil berusaha lepas dari cengkraman Harry dan menghajar gadis di depannya ini.
”Dan kau, orang tua tinggi dan menyebalkan…”
”Cukup! Berhenti memanggilku begitu!” teriak Tuan Denissa.
”Wow, kau tidak suka julukan barumu ya?” ejek Lin.
Tuan Denissa semakin marah, sekuat tenaga dia memberontak dari pegangan Harry. Satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini adalah memberi pelajaran pada gadis bandel itu.
”Dicky, ingat dia puterimu!” teriak Harry, dia sadar bahwa Tuan Denissa semakin sulit dikendalikan.
”Aku tidak peduli…”
”Apanya yang tidak peduli! Dan apa-apaan ini!” teriak seseorang dari arah pintu.
Setelah mendengar teriakan itu, keduanya sadar bahwa selama ini semua orang menatap mereka, dan orang yang membuat keduanya tersadar tadi adalah Tuan Po yang berdiri di ambang pintu dengan sangat marah melihat insiden itu.
Di saat suasana nampak kaku dan sepi, seseorang angkat bicara sehingga semua orang menatapnya, ”Ah, aku memutuskan menuku hari ini adalah Steak sapi,” kata laki-laki yang sejak tadi membaca daftar menu, ”Apa yang terjadi?”






















CHAPTER 5

”Apa-apaan itu tadi! Peperangan di Po’s Hunger? Di depan semua pengunjung?” teriak Tuan Po, saat akhirnya dia dan dua orang lainnya sudah berada dalam ruangannya.
”Tuan, aku bisa menjelaskan apa yang terjadi…”
”Sebaiknya kau tidak bisa, Lin!” semburnya. ”Aku muak dengan penjelasan, aku ingin itu tadi tidak terjadi!” teriaknya lagi-lagi, kali ini dengan wajah lebih brutal dari tadi.
”Aku kira, dengan menerima kalian berdua sebagai karyawanku, Po’s Hunger akan semakin baik!” teriaknya, beberapa butir ludah muncrat begitu saja.
”Kami benar-benar minta maaf, Tuan,” kata Tuan Denissa dengan muram.
”Tidak ada gunanya minta maaf, kecuali kalian mau berjanji itu tidak akan terjadi lagi,” kata Tuan Po sudah mulai bisa bicara tenang.
”Kami usahakan,” kata Lin.
”Tidak, bukan kami usahakan, tapi kami berusaha! Ini baru peringatan, sekali lagi, maka segera angkat kaki dari Po’s Hunger!” kata Tuan Po, suaranya kembali meninggi dan marah.

malam harinya tak seorangpun di antara mereka bicara. Lin masih sangat kesal dengan ayahnya, begitu juga sebaliknya. Dan rupanya keduanya juga agak malas kalau harus bertatap muka, maka dari itu, Lin baru akan keluar kamar kalau sudah yakin benar bahwa Tuan Denissa tidak ada di ruang tengah. Tapi saat ini tenggorokan Lin terasa sangat kering, dan itu memaksanya untuk turun sekalipun dia tahu Tuan Denissa masih ada di sana.
Lin berjalan menuju kulkas dan mengambil sebotol besar air putih untuk kemudian diteguknya banyak-banyak.
”Itu tadi agak memalukan, ya?” kata Tuan Denissa, membuat Lin cepat-cepat menelan air di mulutnya. Lalu dia menatap ayahnya dengan janggal selama beberapa detik.
”Ayah pikir begitu?” tanya Lin. Dalam hatinya ia sudah memantapkan persiapan jika seandainya ayahnya menginginkan perang terbuka sekali lagi.
”Entahlah, Lin,” kata Tuan Denissa, sambil menunduk sebentar, ”Aku minta maaf.”
Lin kaku mendengar ucapan ayahnya barusan, dengan segera dia meletakkan botol minumannya dan memandangi ayahnya dengan aneh.
”Kenapa baru sekarang?” tanya Lin. Apapun yang dirasakannya saat ini jangan sampai terlalu jelas untuk bisa dilihat ayahnya.
”Lebih baik daripada tidak sama sekali, kan?” kata Tuan Denissa.
Lin belum bisa melepaskan pandangannya dari ayahnya yang tampak kacau sekali. Dalam benaknya ada sedikit rasa kasihan kepada ayahnya, tapi dalam benak lainnya ada banyak rasa puas karena ucapan ayahnya barusan.
”Cepat tidur,” kata Tuan Denissa, sambil membalik tubuhnya dan pergi menuju kamarnya.
Lin terus mengawasi punggung Tuan Denissa, sampai akhirnya Tuan Denissa kembali berbalik dan menatap Lin. ”Lain kali, kau harus sarapan,” kata Tuan Denissa, sambil tesenyum simpul.
”Lain kali, Ayah harus menulis yang lebih bagus,” kata Lin begitu saja.
Tuan Denissa geli mendengar ucapan anaknya.
Lin melihat tawa ayahnya dan mendadak teringat ucapan Vickey tadi pagi. Belum pernah dia merasa benar-benar membenarkan ucapan Vickey selain hari ini.

Pagi ini, begitu Lin menuruni tangga dan menemukan ada banyak makanan di meja makan, Lin langsung menyetop langkahnya untuk mencermatinya sebentar.
Dia menarik sebuah kertas dan membaca tulisan di atasnya. ”Kau harus makan kalau tidak ingin mati kelaparan,” begitu Lin membacanya. Lin merasa apa yang baru saja dibacanya adalah hal yang aneh. ”Aku akan makan,” katanya sambil tersenyum.
Dengan segera Lin telah mengunyah ayam panggang dan sup kentang. Lumayan, pikir Lin. Setelah selesai Lin segera menjinjing ranselnya dan berangkat menuju Po’s Hunger.
Po’s Hunger hari ini terasa agak aneh, Vickey yang biasanya terlambat tiba-tiba datang pagi sekali, tapi pagi itupun Lin tidak menganggapnya jauh lebih baik dari hari-ari sebelumnya, dan Harry yang biasanya menghabiskan awal harinya di WC tiba-tiba sudah sibuk membersihkan meja para tamu, sedangkan Tina dan Cindy lebih suka mengahabiskan waktu mereka dengan memandangi Lin terus-terusan.
”Apa?” tanya Lin.
”Semoga insiden kemarin tidak terulang,” kata Cindy dengan muram. Lin tersenyum kaku saat mendengar ucapan Cindy.
”Ayahku sudah datang?” tanya Lin.
”Yah, dia ada di belakang,” jawab Tina.
”Apa yang dikatakan Tuan Po?” tanya Cindy. Begitu mendengar ucapan itu mereka semua menepis pekerjaan masing-masing dan menajamkan perhatian kepada Lin.
Lin menyeberangi ruangan dan meletakkan ranselnya begitu saja. ”Baru peringatan,” jawab Lin.
”Orang itu bisa sangat mengerikan, Lin. Kau jangan macam-macam lagi,” kata Tina dengan muka masam. Lin tahu sekali kalau Tina ingin mempengaruhinya pagi itu.
”Ya, aku juga tahu,” kata Lin sambil memakai celemeknya.
”Semoga saja kau memang benar-benar sudah tahu, Lin,” kata Tina sarkastis.
”Dia memang sudah tahu, tahu bahwa memang kadang-kadang kita butuh hiburan seperti kemarin” sahut Vickey, sambil melempar serbet di tangannya ke atas meja.
Lin menatapnya, terpikir untuk tersenyum mendengar ucapannya tapi pikiran lain mengatakan untuk tidak. ”Sayangnya aku tidak begitu meyakini kalau aku sudah menghibur mereka semua…”
”Jangan menatapku seperti itu seolah kau ingin memberi anggukan kepadaku,” kata Vickey jauh menyimpang dari perkiraan Lin.
Wajah Lin mendadak jadi merah karena malu, dan mendadak ia berbicara agak ngotot. ”Apa? Jadi menurutmu aku setuju dengan ucapanmu?” Lin menggeleng sambil tertawa dengan aneh. ”Kau tahu kan kita bukan orang yang berpikiran sama! Pola pikirku jauh lebih beradap daripada pola pikirmu!”
”Yah, Semoga saja,” jawabnya, lalu ia melengos dan kembali kepada pekerjaannya tanpa memperdulikan ucapan Lin barusan. Lin memandanginya dengan benci. Ada kesan kalau Vickey memang sedang tidak ingin melanjutkan perang mulut itu.
”Ayolah, ini masih terlalu pagi untuk memulai sebuah peperangan,” ungkap Tina, sambil menatap bergantian dari Lin ke Vickey. Cindy dan Harry terlihat menyetujui ucapan Tina.
”Aku sangat suka saranmu,” jawab Lin dengan asal.
”Terimakasih…”
”Hei-hei, apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya seseorang. Mereka semua menoleh dan mendapati Tuan Denissa sedang menjinjing tas berisi sayuran di dua tangannya.
”Tidak ada,” jawab Lin dengan segera.
”Kau sudah baikan dengan ayahmu?” bisik Tina.
”Entahlah,” jawab Lin juga dalam bisikan.
”Darimana kau dapat sayuran itu?” tanya Harry.
”Aku memesan dari Tanaka, laki-laki jepang penjual sayuran itu,” kata Tuan Denissa, sambil mencermati sayuran bawaannya dengan puas.
”Kau mengambil uang jatah belanja Po’s Hungger?” tanya Harry penuh kecurigaan.
Tuan Denissa berjalan mendekati Harry dan memasukkan semua sayuran ke dalam lemari-lemari mini di bawah meja pesanan. ”Tidak, sementara aku pakai uangku. Tuan Po harus tahu kualitas sayuran di restoran ini selalu payah,” katanya.
”Aku lega mendengar jawabanmu, Dick,” kata Harry tanpa sibuk-sibuk menyembunyikan kelegaannya.
”Ya, Harry,” jawab Tuan Denissa saat badannya kembali muncul.
Lin mengawasi ayahnya dengan geli.
”Apa yang kalian lihat?” tanya Tuan Denissa. Lin memperhatikan sekelilingnya dan sadar ternyata bukan cuma dia yang mengawasi Tuan Denissa dengan aneh tapi juga semua orang. ”Tidak ada,” jawab mereka bersamaan, sambil kembali pada pekerjaan masing-masing.
”Begitu memang baik, Nona-nona, Tuan-tuan, karena aku rasa sekarang saatnya bekerja,” kata Harry saat beberapa pengunjung memasuki Po’s Hunger.
Semua orang bergegas dan bersiap memegang catatan serta merapikan celemek dan seragam yang mereka pakai.
”Oh, Lin. Pangeranmu datang,” kata Tina saat melihat seseorang yang sangat mereka kenal memasuki Po’s Hunger, seorang anak laki-laki jangkung dan berambut keriting besar-besar, Tommy. Dia cowok yang terlalu tampan bagi Lin.
Vickey menoleh menatap Tommy dengan benci. Sudah menjadi rahasia umum kalau Vickey memang sangat membenci Tommy.
”Cowok banci itu lagi,” kata Vickey dengan sebal.
Lin menoleh dan menatapnya dengan pesan mengancam, ”Sebaikanya kau tidak bicara apa-apa, Mr. Menyebalkan!”
”Kau tidak punya hak untuk melarangku bicara, Miss memuakkan!” balas Vickey. Mereka berbicara dengan jarak yang sangat dekat bahkan Lin bisa melihat bintik kecil aneh yang bersembunyi di balik lekukan hidung Vickey dengan sangat jelas.
”Aku benci mengatakannya, Lin. Tapi cukup sudah membuang-buang waktunya!” kata Cindy, sambil mendatanginya dan menyeretnya menjauh dari Vickey.
”Kau harus tampak Ok,” kata Cindy, sambil merapikan rambut Lin yang susah sekali diatur.
Sementara kekesalannya kepada Vickey bisa ditangguhkan, tapi Lin tidak yakin kalau situasinya di luar ini dia bisa melakukan itu.
”Yah, dia benar. Ya ampun kenapa sih rambutmu acak-acakan sekali!” umpat Tina yang tiba-tiba ikut nimbrung dalam sesi pembenahan diri itu. Lin terbangun dari pikirannya sendiri. Dan mendadak dia bisa merasakan jemari-jemari seseorang menariki rambutnya dengan lembut. Dia tidak tahu apakah merapikan rambut dengan cara seperti ini akan benar-benar membuahkan hasil.
”Nah, kau sudah Ok,” kata Cindy beberapa saat kemudian
”Apa iya?” tanya Lin bimbang, sambil sesekali menyisir rambutnya dengan jari-jarinya sendiri.
”Kalau ingin benar-benar Ok kau harus sering pergi ke salon! Aku sudah sering bilang, kan?” kata Cindy dengan lagak heran yang berlebihan.
”Tidak ada waktu untuk melakukan itu, Cin!” kata Lin, dia jengkel mendengar ucapan Cindy barusan.
”Baiklah,” jawab Cin asal saja.
”Kau sudah sangat cantik, Lin,” kata Harry. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, tapi Lin cukup tahu ucapan apa itu karena melihat gerak bibirnya. Lin mengangguk dengan senang. Sementara Vickey, dia memberi Lin acungan jempol terbalik. Seandainya Lin tidak dalam posisi seperti ini, pasti cowok malang itu hanya akan meninggalkan nama saja.
Lin sempat berpapasan mata dengan ayahnya. Entah perasaan yang bagaimana yang seharusnya dikeluarkannya, tapi begitu melihat Tuan Denissa mengeluarkan ibu jarinya, Lin merasa cukup senang.
”Dia sendirian, Lin,” kata Cindy juga ikut senang.
”Ya, dia sendirian,” kata Lin penuh kemenangan. Ini semua karena kemungkinan mendapati Tommy sendirian dan tanpa kroni-kroninya adalah satu banding sepuluh, sangat sulit.
”Ok, beraksilah, Sobat,” kata Tina sambil mendorong Lin.
Lin berjalan dengan sangat kaku menuju meja tempat Tommy. ”Hai,” sapa Lin begitu dia sudah berdiri di depan Tommy.
”Hai,” balas Tommy dengan senyuman terpampang jelas di bibirnya.
”Apa kabar?” tanya Lin masih dengan kaku.
”Tidak begitu bagus,” jawab Tommy dengan tenang, ”tapi, semoga akan segera bagus.”
Lin mengganggap semua itu sebagai permulaan yang bagus. ”Ada yang ingin kau pesan?” tanya Lin. Bodoh, pikirnya. Kenapa langsung ke poinnya, harusnya agak diulur-ulur sedikit, pikirnya lagi-lagi.
”Aku rasa nanti saja, Lin,” jawab Tommy. Hati Lin sedikit kecewa mendengar ucapan Tommy, sebab itu artinya Tommy tidak sendirian, dia sedang menunggu teman-temannya di sini.
”Baiklah,” kata Lin lalu dia berbalik untuk pergi.
”Lin,” kata Tommy cepat-cepat sebelum Lin pergi lebih jauh.
Lin memutar tubuhnya dan menatap Tommy dengan penuh harap. ”Satu Cappucino, aku rasa cocok,” kata Tommy. Lin merekahkan senyum tipis sesaat setelah mendengarnya. Lin melanjutkan langkahnya.
”Kenapa tidak mengajaknya bicara lebih banyak?” tanya Tina yang segera mengerubuti Lin begitu beranjak dari tempat Tommy.
”Percuma, suasana hatinya sedang tidak bagus,” kata Lin dengan sebal, ”dan dia tidak sendirian.”
”Tidak sendirian?” tanya Cindy, sambil sesekali menatap Tommy.
”Menunggu kroni-kroninya,” jawab Lin, sambil meletakkan kertas pesanan di depan Harry.
”Cuma ini yang dia pesan?” tanya Harry, sambil membaca daftar pesanan tersebut.
”Masih bagus dia mau pesan,” jawab Lin terdengar jengkel. Dia sempat melirik ayahnya yang mencuri dengar dengan terlalu ketara.
”Baiklah, secangkir Cappucino akan segera datang,” kata Harry, sambil mempersiapkan segala keperluannya untuk membuat Cappucino.
”Percayalah bocah seperti itu tidak akan bisa berdiri sendiri…” ujar Vickey, sambil menatap Tommy dengan sebal.
Mendadak saja Lin menjadi marah dan mencengkeram kaos Vickey dengan kuat, sambil berbisik, ”Aku tidak mengundangmu dalam masalah ini! Jadi simpan saja semua pendapatmu!” katanya, lalu ia mendorongnya. Keduanya saling tatap untuk beberapa saat sebelum perhatian Lin teralih pada sesuatu yang lain, dua orang anak perempuan berpakaian seksi dan seorang anak laki-laki yang cukup keren memasuki Po’s Hungger.
”Kroni-kroninya sudah datang,” kata Lin dengan sinis.
”Ini Cappucinonya, Lin,” kata Harry, sambil menyerahkan cangkir berisi Cappucino itu kepada Lin.
”Aku saja yang antar,” kata Cindy nyaris merebut Cappucino di tangan Harry.
”Tidak, ini jadi tanggung jawabku,” kata Lin. Dengan tegas dia merampas Cappucino tersebut dan melangkahkan kakinya menuju meja Tommy yang sudah ramai dengan soarakan-sorakan Lily dan Rosa.
”Aku rasa Tania ingin cari mati, selerahnya kan jauh di bawahku,” oceh Lily saat Lin mendekati mejanya.
”Ya, dan aku pikir dia itu cuma gadis bau babi,” sahut Rosa. Mereka tertawa keras-keras, kecuali Tommy yang tampak muram.
”Ya, gadis bau babi…”
”Maaf, ini pesananmu, Tommy,” kata Lin tanpa sungkan-sungkan menyela pembicaraan mereka.
Dengan segera mereka semua menoleh menatap Lin. Lily tampak marah karena ada yang berani menyela pembicaraannya.
”Trims, Lin,” kata Tommy.
Lin tersenyum mendengar ucapan Tommy.
”Kau tidak perlu berterimakasih kepadanya, Tom!” kata Lily berapi-api.
”Tapi Lin sudah mengantarkan Cappucino ini kepadaku...” jawab Tommy.
”Aku tidak peduli apapun yang sudah dia lakukan untukmu! Dia cuma pelayan di tempat ini!” teriak Lily, membuat semua orang menatapnya dengan aneh.
Lin mengawasinya selama sepersikian detik, dan selama itu pula kemarahannya semakin menanjak. ”Menurutmu begitu?” tantang Lin tiba-tiba, ”Aku tahu kau cuma bisa menang karena jabatan ayahmu, kau bukan apa-apa lagi saat ayahmu sudah mati,” balas Lin dengan sinis.
”Berani-beraninya kau bicara begitu,” sembur Lily dengan mata melotot, ”Memangnya siapa ayahmu sehingga kau bisa bicara seperti itu?”
Lin berdiri dengan kaku mendengar pertanyaan Lin. Ini tidak benar, pikirnya.
”Kau mau tahu siapa ayahnya?” tanya seseorang dari belakang kepala Lin, Lin menoleh dan merasa cukup lega karena Tuan Denissa telah memegangi pundak Lin sekarang.
”Aku ayahnya,” kata Tuan Denissa dengan yakin.
”Seorang koki?” ejek Lily. Rosa dan Fredy tertawa bersamaan.
”Lily, sudahlah,” kata Tommy, sambil membujuk Lily agar tenang.
”Lepaskan aku, Tom!” kata Lily sambil menepis tangan Tommy, kemudian perhatiannya kembali tertuju kepada Lin dan Tuan Denissa, ”Dengar ya, kalian berdua ayah dan anak yang sangat cocok, pelayan restoran dan seorang koki tidak berbakat, aku akan minta ayahku menuntut kalian dan melaporkan hal ini kepada atasan kalian agar kalian berdua dipecat,” ancam Lily.
”Aku tahu siapa ayahmu,” kata Tuan Denissa, dia masih merangkul pundak Lin.
”Tentu saja, ayahku sudah sangat terkenal bahkan untuk diketahui oleh orang lapisan bawah seperti kalian!” kata Lily berapi-api, ”ayahku pemilik Grape Hotel.”
”Baiklah, suruh ayahmu datang kemari,” kata Tuan Denissa. Lin merasa ini semua sudah keterlaluan, ayahnya sedah melangkah terlalu jauh!
”Wow, koki restoran kecil yang menantang sang raja, ya?” kata Lily berlagak sok ngeri. Sementara Rosa terkikik mengejek di belakangnya.
”Bukan, tapi seorang koki yang ditantang oleh seorang raja,” kata Tuan Denissa. Lin yakin sempat melihat Tommy tersenyum tipis mendengar ucapan ayahnya tadi. ”Bukankah itu suatu kebanggaan?”
Tawa dan kikikan menghina itu luntur dari wajah mereka.
”Baik, akan aku kabulkan kebanggaanmu, apa boleh buat. Kalian tunggu saja besok,” kata Lily lalu dia mengajak yang lainnya untuk pergi.
”Ayo, Tommy!” perintah Lily saat melihat Tommy dengan enggan meninggalkan Po’s Hungger.
”Apa yang ayah lakukan?” tuntut Lin agak marah melihat kelakuan ayahnya tadi. Kalau sampai mereka dipecat, tamatlah riwayatnya.




























CHAPTER 6

Malam harinya, Tuan Denissa serasa terkena kutuk. Tak seorangpun di antara orang-orang itu yang mau berhenti mengerecokinya macam-macam soal kejadian tadi, Lin juga tidak.
”Ayah, aku tadi cuma asal bicara, kenapa Ayah membuatnya jadi serius!” teriak Lin. Jujur saja semua perkataan ayahnya tadi memang menyenangkan tapi rasa menyenangkan itu sudah hilang sejak berjam-jam yang lalu.
”Kau tenang saja, Lin,” bujuk Tuan Denissa.
”Bagaimana bisa tenang? Kita berdua akan segera kehilangan pekerjaan kita!” balas Lin sekuat tenaga meyakinkan ayahnya untuk mengurungkan niatnya dan meminta maaf kepada ayah Lily.
”Tidak akan,” jawab Tuan Denissa, sambil membolak-balik buku memasak di tangannya.
”Ya, kita memang tidak akan, tidak akan bekerja lagi!” teriak Lin dengan sangat marah.
Tuan Denissa akhirnya menutup bukunya dan menatap Lin dengan aneh. ”Itu tadi Liliana Oktavick, kan?” tanya Tuan Denissa.
”Apa mengetahui namanya akan cukup membantu!” sembur Lin, segera saja dia pergi dari tempatnya.
Beberapa saat setelah Lin melangkah, tiba-tiba telepon berdering dengan keras. Lin menatap ayahnya yang rupanya lebih memprioritaskan membaca ketimbang mengangkat telepon, maka dengan enggan Lin berbalik arah menuju telepon dan mengangkat gagangnya.
Terdengar suara laki-laki yang sangat dikenalnya, ”Ya, Harry,” kata Lin dengan suara yang cukup keras agar Tuan Denissa mendengar. ”Tentu saja, ayahku akan sangat senang menerima teleponmu.”
Tuan Denissa melupakan bukunya dan menatap Lin yang menunjuk gagang telepon tersebut dengan ketus.
Tuan Denissa dengan enggan menepis bukunya dan berjalan menuju tempat di mana Lin dan teleponnya menancap. Tuan Denissa sempat menatap ekspresi pura-pura menyesal dari putrinya yang sedang menyerahkan gagang telepon kepadanya.
”Harry, ada apa?”
”Dick, aku rasa kau sebaiknya tidak melakukan hal aneh lagi…”
”Apa ini saran?” tanya Tuan Denissa, sambil memasukkan salah satu tangannya ke dalam kantong celana.
”Aku tidak tahu, tapi kau bisa kehilangan pekerjaanmu, kemarin saja kau sudah dapat peringatan dari Tuan Po!” teriak Harry.
Lin yang mengawasi ayahnya mulai memamerkan wajah gusarnya.
”Baiklah, Harry. Aku tahu maksudmu baik tapi…”
”Oh, sudahlah, Dick. Aku tidak bisa mendengar tapimu lagi,” kata Harry dengan ketus.
”Tapi milikku adalah tapi yang beralasan, Harry.”
Sepi sejenak, baik Harry maupun Tuan Denissa sedang mencari-cari ungkapan yang cocok dengan suasana.
”Ok, terserah kau saja,” kata Harry, dia terdengar jengkel sekali. Sebelum dia benar-benar yakin akan menutup teleponnya dia buru-buru menambahkan, ”Sebaiknya, camkan ucapanku tadi.”
Harry sudah menutup teleponnya, dan Tuan Denissa kini harus berhadapan dengan Lin yang sudah melipat lengan dengan marah. ”Masih tidak tergoyahkan?” tanya Lin.
”Tidak.”
Lin berdecak dengan jengkel. ”Aku tahu ini semua salahku,” kata Lin akhirnya.
”Salahmu?” tanya Tuan Denissa restoristis. Lin diam saja. ”Kau melakukan hal yang benar, Lin. Tak seorangpun di dunia ini berhak mendapat pelakukan jelek, kau hanya membela diri.”
Diam sejenak.”Apa Ayah yakin semua akan baik-baik saja?” tanya Lin sedikit merasa tenang setelah mendengar perkataan ayahnya.
Tuan Denissa tersenyum. ”Selalu baik-baik saja,” jawabnya.
Lin ikut tersenyum sekalipun senyumannya tidak tulus.

Sebuah ketukan pintu membuat Lin terasadar bahwa dia sedang melamun. Dengan segera ia berlari ke arah pintu. Harapannya adalah seseorang yang mendatanginya itu bukanlah orang yang tidak pernah ia harapkan untuk mengunjunginya, tapi harapan hanya tinggal harapan.
”Kau?”
”Tidak bisa bersikap biasa saja, ya?” tanyanya Vickey dengan kasar.
Malam itu dandanannya agak lebih normal dari pada biasanya jaket biru yang dikenakannya membuatnya tampak lebih bersih.
Lin merengut menatapnya. ”Kau kenapa?” tanya Vickey seolah hal baik baru saja terjadi.
”Kau datang kemari tanpa diundang dan tiba-tiba kau memarahiku? Kau bukan hanya dilarang masuk, tapi kau jug…”
”Benarkah? Aku ingin masuk!” katanya, sambil mendorong tubuh Lin agar tidak menghalangi jalannya.
”Tidak! Kau terlarang untuk masuk!” teriak Lin, sambil mempertahankan posisinya. Jangan sampai pria menyebalkan ini menginjak lantai rumahku, pikir Lin.
”Minggir! Aku tamu di sini, aku berhak untuk masuk jika aku mau!” kata Vickey bersikeras.
”Kau punya pendengaran yang buruk, ya! Aku bilang kau tidak boleh masuk…”
”Aku tidak peduli!”
”Tapi aku peduli…”
”Aku juga peduli. Aku mendengar suara ribut dan aku tidak menduga kalau kau akan kemari, Nak,” sahut seseorang dari belakang Lin dengan kesan sabarnya.
”Aku memberitahu Ayah bahwa tidak sepatutnya kita mengizinkan bocah ini masuk ke dalam rumah,” kata Lin setengah mengancam.
”Aku meragukannya, Lin. Vickey adalah tamu…”
”Tapi…”
”Apa kubilang. Minggir!” kata Vickey, sambil mendorong Lin agar tidak menghalangi langkahnya.
Lin mengawasi bagian belakang kepala Vickey dengan ketus. Berikan dia pentungan atau sejenisnya maka segera saja pentungan itu akan menempel di kepala Vickey! Lin sudah terlalu benci dengannya.
Beberapa saat kemudian, Tuan Denissa dan Vickey sudah duduk di sofa dan bercakap-cakap dengan ringan seolah semua baik-baik saja. Lin mengamati keduanya dengan sinis.
”Kenapa kau tidak duduk bersama kami, Lin?” tanya Tuan Denissa, sambil menatap puterinya penuh harap.
Lin memandang Vickey selama beberapa detik. Sepertinya Vickey sedang menyeringai kegirangan saat ini. ”Aku tidak membuang waktuku hanya untuk duduk bersantai bersamanya, Ayah,” jawab Lin sarkastis.
Tuan Denissa menghembuskan napas sambil menggelengkan kepala. ”Baiklah terserah kau saja…”
Lin kembali mendapati wajah senang Vickey yang sengaja tidak ditutupi itu. Cukup sudah! Lin muak melihatnya. ”Aku mau ke kamar!” teriak Lin, sambil berjalan dengan cepat menuju kamarnya.
Saat memasuki kamarnya, hal pertama yang ingin dilakukannya adalah menelepon Tina dan Cindy, maka dengan segera ia mengambil gagang telepon.
”Apa? Mau apa dia ke rumahmu?” tanya Tina dengan histeris.
”Entahlah, kau tahu kan penjilat itu punya banyak cara untuk membuatku menderita!” kata Lin dengan getir. Tanpa sangaja ia meninju-ninju udara di depannya.
”Huh, aku tidak begitu mengerti kenapa kau bisa menjadi musuh bebuyutannya?” tanya Cindy dengan nada yang tidak terdengar begitu antusias.
”Dia yang mulai duluan kok!”
”Ya, aku ingat betul saat pertama kali dia buat masalah denganmu!” sahut Tina dengan cepat.
”Berpura-pura menumpahkan jus di seragam kerjaku! Dasar urakan!”
Tina dan Cindy tertawa bersama. ”Menurutmu apa yang sedang mereka bicarakan?” tanya Cindy benar-benar memaksakan keantusiasannya.
”Entahlah, aku rasa pembicaraan antar cowok yang sangat membosankan!” jawab Lin seenaknya.
”Ya, tapi aku harap kau juga masih menanamkan konsentrasimu pada masalahmu besok!” kata Tina mengingatkan.
Lin terdiam beberapa saat, dia sama sekali lupa akan masalahnya dengan Lily.
”Lin! Lin! Masih di sana?”
Lin tersentak dan mendadak menjadi gugup, ”Ya, tentu saja…”
”Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Cindy.
Lin belum juga menjawab, mendadak kabel telepon menjadi mainannya sekarang. ”Er… aku mau tidur, kita bicara besok saja,” kata Lin, merasa perlu sekali kabur dari pembicaraan ini.
”Er… Ok, tidurlah. Sampai ket…” Lin sudah menutup teleponnya lebih dulu.

Pagi ini untuk pertama kalinya Lin pergi ke Po’s Hungger bersama ayahnya. Saat keduanya masuk, Po’s Hungger masih sepi dari pengunjung, tapi para karyawan restoran sudah berdiri berjajar di sana, tak seorang karyawanpun yang ada di sana bisa mengalihkan pandangannya dari pasangan ayah dan anak itu.
Lin mengawasi Cindy dan Tina yang dengan takut-takut mendekatinya. ”Ada apa?” tanya Lin pura-pura bego, padahal jelas-jelas Lin tahu dua orang itu pasti ingin membahas masalah kemarin.
”Aku tahu kau pura-pura bego,” tebak Tina segera.
”Baiklah, katakan apa yang ingin kalian katakan,” tantang Lin, sambil mengawasi keduanya dengan jengkel.
”Ini masalah ayahmu…”:
”Aku tahu,” sahut Lin segera.
”Kalau kau tahu, seharusnya kau tidak memutus telepon kami kemarin dan meyakinkan dia sekali lagi!” paksa Cindy dalam bisikan.
Lin mendengus dengan kesal. Mereka benar-benar keterlaluan, begitu kata dalam benak Lin berputar-putar.
”Jangan hanya mendengus!” amuk Tina seenaknya.
”Jangan hanya mendengus?” ulang Lin, ”Kalian tahu, hampir seharian aku meyakinkannya tapi dia tidak peduli! Sekarang, tidak ada apa-apa lagi yang bisa aku lakukan selain mendengus.”
Tampak ada perasaan saling memahami di antara mereka. Sehingga situasi mendadak sepi selama beberapa detik.
”Begitu?” tanya Tina dengan lemas.
Lin sedikit iba melihat ekspresi wajahnya, bukan-bukan, tapi iba melihat ekspresi wajah semua teman-temannya saat ini, seolah semua memancarkan suatu kekhawatiran dan kehancuran yang dalam pada tiap-tiap sorot mata.
”Ya, begitu memang, Tin,” kata Lin sama lemasnya dengan Tina. Dia menepuk punggung Tina berusaha membuatnya merasa agak damai.
Vickey menatapnya dan berjalan ke arahnya dengan santai. ”Aku mencoba mengorek informasi kedatangannya kemarin ke rumahmu, tapi dia tetap bungkam,” bisik Cindy.
”Kau tidak perlu melakukan apa-apa lagi, biar aku yang mengoreknya sendiri,” kata Lin, sambil maju beberapa langkah untuk menyambut kedatangan Vickey.
Sekarang jarak keduanya sangat dekat, Lin bisa merasakan hembusan napas Vickey yang tenang yang menerpa wajahnya, dan Lin bisa melihat dengan jelas camba-camba kecil yang tumbuh di dagunya. Lin baru menyadari kalau Vickey dilihat dari jarak sedekat itu wajahnya jadi mirip Shia LaBeouf, diam-diam dia ingin mengagumi hal itu tapi dia memaksa dirinya untuk membuang jauh-jauh pikirannya tadi.
”Aku ingin bicara…”
”Aku juga!” sahut Lin cepat.
”Baik kau duluan,” kata Vickey dengan lirih.
Lin tersenyum dengan kecut, dan bau parfum Vickey yang khas membuatnya mengerutkan kening sebelum bicara. ”Aku peringatkan kau agar tidak usah lagi datang ke rumahku dan berlagak sebagai penjilat!”
Vickey tersenyum, giginya yang putih dan runcing bersinar-sinar seolah ikut menertawakan ucapan Lin. ”Kenapa aku perlu menjadi penjilat?” tanya Vickey. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana seolah ingin mengambil sesuatu.
”Karena kau ingin mendapatkan hati ayahku dan membuatnya membenciku…”
”Cukup, aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan…” bisik Vickey, sambil tersenyum.
”Apa maksudmu?” tanya Lin. Vickey tidak menjawab apa-apa dan tersenyum saja, dia membalik tubuhnya lalu pergi.
Lin mengawasinya dengan bingung, apa-apaan itu tadi? Pikirnya. ”Hei, kau belum mengatakan apa maksudmu!” teriak Lin. Semua orang memandangnya. Sementara Vickey tidak menggubris pertanyaan Lin.
”Apa yang dikatakannya?” tanya Tina yang mendadak muncul di belakang Lin.
”Tidak tahu,” jawab Lin.

Seolah menanti ajal, jam di dinding Po’s Hungger bergerak dengan cepatnya. Di detik-detik akhir menjelang kedatangan Lily dan Tuan Oktavick, Harry kembali menegaskan kepada Tuan Denissa bahwa dia bisa saja terhindar dari bencana asalkan mau mendengar nasehatnya.
”Dick, ini semua masih bisa kau hindari, Tuan Po belum tahu soal ini,” kata Harry meyakinkan Tuan Denissa untuk yang kesekian kalinya.
”Harry, aku tahu keputusan apa yang telah aku ambil,” kata Tuan Denissa dengan tenang dan sopan.
Mereka diam sejenak, keduanya saling pandang dengan haru. ”Kami cuma takut kehilangan kalian berdua. Lin sudah seperti keluarga sendiri kami selama ini, dan kau juga tentunya,” kata Harry dengan mata berkaca-kaca.
Tuan Denissa tersenyum mendengar perkataan Harry. ”Dengar, Harry, kami tidak akan ke mana-mana, kalian tidak akan kehilangan kami,” kata Tuan Denissa, ”Janji.”
Dan sebelum dialog itu benar-benar berakhir, ancaman telah datang di depan mata. Segerombolan orang memasuki Po’s Hungger, mereka adalah Lily dan kroni-kroninya (termasuk Tommy) yang didampingi oleh seorang laki-laki yang mungkin berusia sekitar lima puluh tahunan. Tidak ada yang menyangkal kalau dia memang benar Tuan Oktavick, pemilik Grape Hotel.
Vickey berdiri tepat di samping Tuan Denissa dan membisikkan sesuatu. Lin tidak peduli, masalah yang harus dihadapinya sekarang adalah masalah yang lebih besar dari sekedar bisik-bisik tolol Vickey si penjilat.
”Itu dia ayah dari anak yang sudah mendoakanmu agar lekas mati, Ayah,” kata Lily sambil menunjuk Tuan Denissa dengan hina.
Tuan Oktavick membelalakkan mata sambil berjalan mendekati Tuan Denissa. Lin dan yang lainnya merasakan ketakutan yang begitu saja mengalir di sekujur tubuh mereka.
”Hmmm… dia ayahnya?” tanya Tuan Oktavick, ”Mana puterinya?”
Lin sedikit ragu apakah dia mau mengakui kalau dia anaknya, jujur saja dia ketakutan tapi melihat langkah berani ayahnya, maka dia memberanikan dirinya.
”Aku, aku puterinya,” kata Lin, sambil maju selangkah.
Tuan Oktavick mengawasinya dengan seksama. ”Jadi, kau yang sudah mendoakanku agar cepat mati?” tanyanya.
Lin membeku sebentar dan merasa jengkel karena ketakutannya itu telah diketahui oleh Lily dan dua antek-anteknya.
”Ya, aku pelakunya,” jawab Lin akhirnya.
”Kau tahu, Nak, tidak seorangpun di negeri ini yang berani melakukan itu kepadaku!” kata Tuan Oktavick. ”Kau terlalu berani untuk melakukannya, siapa yang mengajarimu?”
Lin mendongak untuk menemukan mata ayahnya yang masih memancarkan keberanian.
”Ayahmu?” tanya Tuan Oktavick, sambil memandang bergantian dari Tuan Denissa ke Lin.
Lin menelan ludahnya, dia sedang bingung. ”Mungkin,” jawab Lin akhirnya.
Tuan Oktavick mencondongkan tubuhnya untuk bisa bertatapan mata dengan Lin. Lin bisa melihat keseriusan yang menyebar di wajah tua Tuan Oktavick dengan sangat jelas.
”Apa tuntutan yang bisa aku berikan kepadamu?” tanya Tuan Oktavick saat akhirnya tidak lagi mencondongkan tubuhnya.
Lin menggigil mendengar perkataan Tuan Oktavick. Dia nyaris saja buka mulut seandainya Tommy tidak angkat bicara.
”Paman, aku bisa menjelaskan semua masalahnya,” kata Tommy tiba-tiba menyela.
Semua orang menatapnya. Terlihat dengan jelas ekspresi kemuakan yang diciptakan oleh Vickey saat itu, sementara Lin dan teman-temannya merasa ada bantuan bersinar dengan terang dihadapannya.
”Tommy!” bentak Lily dengan marah.
”Ya, Lily. Lin hanya membalas perlakuanmu, Lin tidak bersalah,” kata Tommy.
Melihat semua itu membuat Lin merasa semakin menyukai Tommy.
”Kau membelanya!” tuntut Lily, ”tidak ada saksi yang melihat kejadian itu. Ya kan, Rosa, Fred?”
Rosa dan Fredy segera mengangguk memberi dukungan kepada Lily seolah keduanya telah terikat kontrak untuk melakukan itu.
”Siapa bilang tidak ada saksi?” tanya Tina. Cindy dan Harry ber-yeah sebagai tanda setuju. ”Kami melihat semuanya.”
”Apa?” tanya Lily tidak percaya, ”Mereka semua bohong, Ayah. Mereka tidak melihatnya…”
”Baiklah, Lily. Ayah tahu semua masalah ini adalah masalah yang sepele, aku tidak mau membuatnya jadi besar, apalagi aku sedang berhadapan dengan teman lama,” kata Tuan Oktavick.
Semua orang memandangnya dengan aneh.
”Teman lama?” gumam semua orang.
”Ya, aku dan Dicky adalah teman lama,” kata Tuan Oktavick.
”Apa?” tanya Lily sama sekali tidak mempercayai pemandangan di depannya.
Tuan Oktavick hanya tersenyum dan langsung berjabat tangan dengan Tuan Denissa dengan erat, mereka saling menepuk punggung yang lain dengan akrab.



















CHAPTER 7

Setelah kejadian itu semua orang bertubi-tubi menghujani mereka dengan ucapan selamat, sebenarnya tidak semuanya, Vickey bahkan tidak mengatakan apa-apa kepada Lin. Orang-orang yang lain memberikan ucapan selamat karena bukannya mendapat tuntutan atau pemecatan tapi malah mendapat undangan eksklusif dari Tuan Oktavick. Lin menyukai semua itu dan mulai mengagumi ayahnya dari sana. Tapi satu hal yang menjadi ganjalannya saat ini adalah Vickey, apa yang dibisikkannya pada ayahnya tadi pagi?
Pertanyaan itu jauh tenggelam saat Lin ingat bahwa malam ini Tuan Denissa dan Lin akan pergi ke rumah Tuan Oktavick. Harry benar-benar baik, dia meminjamkan mobil sedan jelek miliknya kepada Tuan Denissa tanpa meminta imbalan apapun, hanya janji akan membelikan bensin yang bisa diberikan oleh Tuan Denissa sebagai balas jasanya.
”Aku masih tidak percaya kalau Tuan Oktavick dulunya adalah teman Ayah,” kata Lin saat mereka berada di dalam mobil.
”Ya, dulunya aku adalah kepala koki di Grape Hotel tapi setelah aku dan ibumu bercerai aku memutuskan pindah,” kata Tuan Denissa.
Lin diam memikirkan perkataan ayahnya.
”Kenapa?” tanya Tuan Denissa yang rupanya dari tadi mengawasi Lin.
”Tidak, hanya saja kadang aku merasa Ayah menyembunyikan sesuatu,” kata Lin sambil menatap ayahnya yang sedang berkonsentrasi dengan jalanan di depannya.
”Dengar, Lin, setiap manusia punya rahasia dan mungkin manusia itu akan mengungkapkan jika waktunya sudah sesuai,” papar Tuan Denissa tanpa mengalihkan pandangan matanya dari jalan.
”Jadi, Ayah memang menyembunyikan sesuatu?” tanya Lin.
”Mungkin saja,” jawab Tuan Denissa bersamaan saat ia memutar setir untuk berbelok.
Mereka diam untuk beberapa saat. Berkonsentrasi pada ucapan masing-masing dan menertawakan diri sendiri setelahnya.
”Ayah tahu, aku pernah berharap kalau aku tidak akan melihat Ayah lagi,” kata Lin, sambil tertawa-tawa.
Tuan Denissa hanya tersenyum-senyum sambil menganggukkan kepalanya.
”Itu salah satu rahasiaku, Yah,” kata Lin menegaskan.
”Ya, rahasia yang paling kecil,” tambah Tuan Denissa, sambil menatap Lin untuk beberapa saat.
Lin tersenyum lebar. ”Tommy,” kata Lin dengan sangat bahagia seolah Tommy benar-benar ada di hadapannya. ”Itu bukan rahasia lagi. Ayah, menyukainya?”
”Bagaimana tidak, dia sudah membela gadisku dengan sugguh-sungguh tadi,” kata Tuan Denissa. Tuan Denissa tampak ingin menambahkan sesuatu, Lin bisa melihatnya dari sudut bibir Tuan Denissa yang bergerak pelan, ”Tapi, kau harus ingat, Lin, kita selalu diberikan pilihan,” katanya.
Lin tersenyum mendengar ucapan ayahnya dan tanpa pikir panjang dia mendaratkan ciuman kilat di pipi ayahnya.
”Trims, Yah.”
Tuan Denissa membeku sebentar, membelalakan mata saking kagetnya karena mendapat hadiah dadakan dari puterinya.
”Apa tadi itu juga rahasia?” tanya Tuan Denissa pura-pura tidak terkejut dengan ciuman Lin yang tiba-tiba.
”Rahasia yang sangat besar,” jawab Lin. Keduanya tertawa keras-keras setelahnya.

Saat mereka sampai di kediaman Tuan Oktavick, mereka mendapat sambutan yang terlalu hangat. Tuan Oktavick tidak henti-hentinya memuji kehebatan memasak Tuan Denissa di depan pembantu-pembantunya yang jumlahnya lusinan.
Dan untuk membuktikan semua ucapannya tadi, Tuan Oktavick mempersilakan Tuan Denissa untuk memasak di dapurnya, sementara dia membujuk Lily agar mengajak Lin ngobrol di kamarnya.
”Kalian berdua baik-baiklah di sini,” kata Tuan Oktavick, sambil meninggalkan Lin dan Lily di kamar.
Setelah Tuan Oktavick benar-benar pergi, barulah Lily buka mulut.
”Kau sebaiknya tidak menceritakan pada teman-temanmu kalau kita pernah berada dalam satu kamar yang sama!” kata Lily dengan kasarnya.
”Tidak akan,” jawab Lin segera.
”Bagus, semua akan berdampak buruk kepadaku kalau kau melakukan itu,” kata Lily seolah menegaskan bahwa dialah pihak yang paling rugi dalam hal ini.
Selanjutnya Lily tidak menggubris keberadaan Lin di sana, dia sibuk sendiri dengan majalah mode yang dibawanya.
Lin menganggap semua itu wajar dan biasa saja, maka dia menghabiskan waktu dengan melihat-lihat kamar Lily yang luar biasa indah. Dindingnya di cat dengan cat warna pink, kasurnya juga pink, boneka-bonekanya, gordennya, pokoknya semua pink. Lin merasa lucu kalau dia ingat kamarnya sendiri yang sangat berantakan, tidak ada warna senada seperti ini di kamarnya. Warnanya bercampur-campur. Waktu mengecat, mereka hanya menggunakan cat-cat yang tersisa saja.
Pandangan mata Lin tersita pada sebuah foto wanita cantik di atas meja. Lin nyaris menyentuhnya kalau saja Lily tidak berteriak. ”Jangan sentuh apapun!”
Lin menoleh menatap Lily yang dengan cepat mendatanginya dan membalik foto itu.
”Siapa wanita dalam foto itu?” tanya Lin.
”Bukan urusanmu,” kata Lily sambil berkancak pinggang.
Lin memandangi mata Lily sebentar. ”Dia ibumu, kan?” tanya Lin.
”Aku bilang bukan urusanmu!” bentak Lily.
Lin diam sejenak. ”Ibumu wanita yang cantik, dan kau mirip dengannya,” kata Lin entah darimana asal kata-kata spontan itu.
Lily terlihat malu mendengar ucapan Lin, tidak bisa ditutup-tutupi kalau dia merasa agak salah tingkah mendengar ucapan Lin barusan. ”Aku rasa ibumu juga pasti cantik,” kata Lily ada kesan balas budi dalam ucapannya.
Lin tersenyum mendengar ucapan Lily.
”Ibuku sudah meninggal,” kata Lily muram.
Lin mengamatinya sebentar. ”Ibuku juga,” katanya.
Lily tersenyum dengan kecut mengetahui fakta itu. ”Katakan padaku apa yang kau lakukan jika kau merindukan ibumu?” tanya Lily tiba-tiba.
Lin duduk di kasur dan memandangi Lily sekali lagi. ”Dulu aku selalu mendekap foto ibuku saat malam tiba tapi aku rasa itu semua semakin membuatku merindukannya,” jawab Lin. Keduanya terlihat saling memahami walaupun hanya sebentar.
”Lalu apa yang kau lakukan?” tanya Lily mulai antusias.
”Aku…” kata Lin, sambil memikirkan tindakan-tidakan aneh yang dulu sering dilakukannya. ”Aku membenci ayahku.”
Ruangan sepi sejenak keduanya sama-sama berpikir dengan keras.
”Kenapa begitu?” tanya Lily.
”Ayah dan ibuku sudah bercerai, dan hak perwaliannya jatuh ke tangan ibuku. Aku masih kecil saat itu, aku masih sering bertanya kepada ibuku ke mana ayahku pergi, ibuku selalu menemukan alasan yang tepat untuk menjawab, dan semua itu membuatku percaya. Setelah setahun, aku sudah nyaris lupa dengan ayahku karena dia tidak pernah menulis surat atau mengirimkan berita apapun. Sebelas tahun ini aku menganggapnya telah mati, atau mungkin menganggapnya tidak pernah ada. Kau tahu, rupanya aku salah, awal bulan lalu ibuku meninggal dan hak perwalianku diserahkan kepada ayah.dan sejak saat itu aku tahu kalau ayahku masih ada,” kata Lin panjang lebar.
Lily yang menyimaknya dari tadi tidak bisa berbicara apa-apa.
”Aku tidak seharusnya membecinya,” kata Lin memecahkan keheningan.
”Kau tidak pernah membecinya,” kata Lily. Lin menatapnya dengan heran. ”Aku tahu, kau tidak pernah membencinya seperti aku sangat menyayangi ayahku, kau menyadarinya, sebagian dari jiwa ayahmu ada ibumu,” kata Lily. Perkataan Lily membuat Lin tersadar dengan segera.
”Benar, aku hanya perlu menyayangi ayahku kalau aku merindukan ibuku,” kata Lin.
”Bukan hanya perlu tapi sangat perlu.”










CHAPTER 8

”Oh, gadis-gadisku, kemarilah kalian berdua,” kata Tuan Oktavick begitu melihat Lin dan Lily menuruni tangga.
”Aku mencium bau masakan yang sangat harum,” ujar Lily. Lin senang mendengar ucapan Lily barusan walaupun dia merasa ucapan Lily agak didramatisir.
”Tentu saja, Tuan Denissa adalah koki terbaik ayah,” kata Tuan Oktavick, sambil memandang Tuan Denissa yang terlihat agak malu.
Lily menatap Lin sebagai tanda bahwa ucapannya tadi memang benar. Lin hanya tersenyum melihatnya, kemudian saat berpapasan mata dengan ayahnya, Lin tahu kalau ayahnya terlihat bingung dengan perubahan sikap Lily kepadanya.
”Kurang sup ini saja,” kata Tuan Denissa, sambil menggotong semangkuk penuh sup kalkun dan meletakkannya cepat-cepat di atas meja makan, kemudian ia melepas celemeknya dan menengadahkan tangan ke arah maja makan sambil berteriak, ”Tara…”
Semua orang terlihat senang saat akhirnya bisa memakan jajaran makanan yang sangat mengoda itu, Tuan Oktavick sengaja meminta Tuan Denissa untuk memberitahunya bagaimana masakannya bisa seenak ini.
”Jadi, kau tidak sembarangan memilih bumbunya?” tanya Tuan Oktavick penuh minat.
”Ya, rasa masakan sangat berantung pada bumbu, bahan dan cara pembuatannya,” papar Tuan Denissa.
”Ah, harusnya kau tidak pernah pindah waktu itu,” kata Tuan Oktavick dengan lagak dramatisnya yang membuat Lin harus berusaha menyumpal mulutnya agar tidak tertawa.
”Ayahku punya obsesi tersendiri dengan Grape Hotel-nya,” bisik Lily tiba-tiba.
”Aku tidak bermaksud menertawakannya,” bisik Lin, sadar betul bahwa Lily melihatnya sedang berusaha menahan tawa.
”Kalau aku jadi kau, aku tidak akan berkata begitu, aku akan langsung tertawa,” kata Lily. Keduanya terkikik sesudahnya.
”Apa yang kalian tertawakan, Anak-anak?” tanya Tuan Oktavick yang rupanya mendengar kikikan Lily dan Lin.
”Bukan apa-apa,” jawab keduanya bersamaan.
Lin menatap ayahnya yang tersenyum melihat keakrabannya dengan Lily. Makan malam yang luar biasa itu benar-benar membawa perubahan besar pada pandangan Lin kepada ayahnya. Dia telah benar-benar kagum dan sayang kepada ayahnya, ya itu yang sekarang sedang ia lakukan.
”Aku merasa anak perempuanku ini sangat hebat,” kata Tuan Denissa saat mereka sudah ada di dalam mobil.
”Ayah sedang memuji atau menghina?” tanya Lin sekonyong-konyong.
”Entahlah, aku sangat senang melihatmu bisa akrab dengan Lily,” kata Tuan Denissa, sambil sesekali memandang Lin yang tersenyum-senyum.
”Kami punya cerita yang sama tapi berbeda,” kata Lin.
”Apa ayah boleh tahu?” tanya Tuan Denissa.
Lin tersenyum lebih lebar sekarang. ”Tidak,” jawabnya dengan tegas.
Tuan Denissa memandang spion untuk memastikan tidak ada mobil di belakang mereka. ”Urusan perempuan aku rasa,” kata Tuan Denissa setengah menebak.
”Ayah, sok tahu!” gerutu Lin tidak sungguh-sungguh. ”Ayah juga punya urusan sendirikan dengan Tuan Oktavick, urusan laki-laki aku rasa.”
Tuan Denissa mendengus sebentar. ”Kau juga sok tahu,” balas Tuan Denissa.
”Oh ya? Kalau begitu aku mau tanya supaya kita tahu siapa sebenarnya yang sok tahu,” kata Lin sambil memiringkan badannya agar bisa mengawasi wajah ayahnya yang serius menyetir.
”Tanya saja,” tantang Tuan Denissa.
”Kalau ayahku ini bukan orang sok tahu, mungkin tadi pagi dia tidak akan berani setegas itu membelaku di depan Lil,” kata Lin.
Tuan Denissa mengerutkan kening karena tidak mengerti apa maksud Lin. ”Apa maksudmu, Lin?” tanyanya.
”Ya, bisa saja Ayah salah menebak anak siapa Lily sebenarnya,” papar Lin masih mengawasi ayahnya. Tuan Denissa menggelengkan kepala sambil tersenyum.
”Kenapa, Yah?” tanya Lin jadi bingung melihat tingkah laku Tuan Denissa.
”Aku bukan sedang jadi orang sok tahu waktu itu,” kata Tuan Denissa balas menatap Lin meskipun cuma sekilas.
”Tapi Ayah kan bisa saja salah, Ayah tidak pernah bertemu dengan Lily setelah sebelas tahun ini. Kalau seandainya Lily bukan anak Tuan Oktavick, aku yakin besok Tuan Po akan mendatangi kita dengan wajah garangnya itu, lalu mentah-mentah memecat kita,” papar Lin setengah menuntut ayahnya.
Tuan Denissa mengigit bibirnya sebentar. ”Dengar, Lin, kalau kau jadi aku, aku yakin kau tidak akan bisa melupakan wajah Nyonya dan Tuan Oktavick yang bercampur dan tersirat dengan jelas di wajah Lily, lagi pula seseorang telah memberitahuku bahwa sebenarnya kau mempercayaiku, jadi meskipun aku salah kau tidak akan memperpanjang masalah ini,” kata Tuan Denissa.
Lin terlihat berpikir keras, dia mulai menangkap apa yang sebenarnya dibicarakan oleh ayahnya, ini soal Vickey. Lin agak malu mendengar jawaban ayahnya, karena tadinya dia mengira bahwa Vickey punya niat yang tidak baik. Dia tersenyum-senyum saja untuk menutupi rasa malunya itu.
”Vickey?”
”Ya, Ayah yang menyuruhnya datang ke rumah karena aku tahu kalau kau sangat membencinya. Dan kau pasti…”
”Pasti akan menganggapnya penjilat…” sahut Lin cepat.
”Yup! Kau benar, dari situlah aku tahu bahwa kau mempercayaiku karena kau menyanyangiku. Omong kosong jika kau menyayangi seseorang tapi tidak mempercayainya…”
Lin diam saja, dalam hatinya ada rasa bersalah terhadap Vickey. Mau tidak mau dia harus minta maaf kepadanya.
”Jadi, apa keputusanmu?” tanya Tuan Denissa.
Lin memandang bayangannya sendiri di kaca mobil. ”Aku memutuskan kalau… Vickey tidak seburuk dugaanku…”
”Dan?” dekte Tuan Denissa.
”Dan… ayahku adalah… Orang tua tinggi dan tidak sok tahu,” kata Lin.
Tuan Denissa tertawa. ”Julukan itu lagi,” katanya, sambil mengingat-ingat wajah si Bocah merica dan si Bocah garam yang tempo hari memberinya julukan itu.
”Julukan itu keren, Yah,” kata Lin menegaskan.
Tuan Denissa cuma mencibir sebentar. ”Jadi jelas sudah, bukan aku yang sok tahu, kan?” tanya Tuan Denissa membuat Lin ingat topik yang mereka bicarakan tadi.
”Ayah mau bilang kalau orang yang sok tahu itu aku?” tuntut Lin.
”Rupanya kau malah mengakuinya sendiri,” kata Tuan Denissa sambil tertawa, sementara Lin terlihat pura-pura jengkel dengan ucapan ayahnya.






























CHAPTER 9

”Lin, kau sudah bangun?” tanya seseorang dari balik pintu kamarnya. Saat itu Lin masih setengah membuka matanya tapi suara ayahnya sangat jelas terdengar di dua telinganya. Dengan lambat dia membuka pintu kamarnya.
”Ayah, ada apa?” tanya Lin begitu melihat Tuan Denissa yang sudah berdandan rapi berdiri di sana.
”Kita ke pantai,” katanya segera.
Seolah rasa kantuk Lin hilang begitu saja, Lin langsung melongo mendengar ucapan ayahnya tadi. ”Ke pantai?” ulang Lin, dia mulai meragukan kemampuan mendengarnya di pagi-pagi buta seperti ini.
”Ya, cepatlah bersiap-siap,” kata Tuan Denissa tanpa benar-benar memperhatikan kebingungan Lin. ”Aku tidak mau ke pantai dengan seorang gadis yang ada bekas air liur di pipinya,” tambahnya.
Lin berdecak jengkel sambil mengelap pipinya asal-asalan dengan telapak tangannya.
Dalam waktu setengah jam segalanya telah siap. Lin tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh ayahnya, dia cuma bisa membatinnya dan berpikir betapa anehnya laki-laki yang sekarang sudah siap mengenakan sabuk pengaman dan duduk di sampingnya itu.
”Kau mau memandangiku sampai seharian penuh?” tanya Tuan Denissa. Lin mengerucutkan bibirnya begitu menyadari kalau dia baru saja memandangi ayahnya untuk waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba Lin teringat pada Po’s Hungger. ”Ayah, bagaimana dengan pekerjaan kita?” tanya Lin memandang ayahnya dengan heran.
”Urusan Po’s Hungger sudah beres. Kemarin aku sudah meminta izin kepada Tuan Po,” jawab Tuan Denissa, sambil memasangkan sabuk pengaman di tubuh Lin. ”Pasang sabuk pengamanmu, Nak. Harry sudah cukup baik mau sekali lagi meminjamkan mobilnya, jadi jangan kecewakan niat baiknya dengan tidak mengenakan sabuk pengaman.”
”Mudah sekali Ayah mendapatkan izin dari Tuan Po?” tanya Lin mengabaikan kata-kata ayahnya soal sabuk pengaman dan tetek bengeknya.
Tuan Denissa tidak segera menjawab, dia sedang sibuk dengan urusan memutar mobil. ”Aku bilang, kalau dia setuju dia boleh memecatku,” kata Tuan Denissa saat urusannya tadi telah usai.
Saking sibuknya memandangi ayahnya, Lin bahkan tidak bisa merasakan kalau pemandangan di luar yang masih gelap sudah bergulir dengan cepat.
”Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanya Tuan Denissa. Sekali lagi Lin tersadar kalau dia baru saja memandangi ayahnya cukup lama.
”Ayah, ini masalah serius! Tuan Po benar-benar akan memecat Ayah!” tuntut Lin menjadi setengah ketakutan setelah mendengar pengakuan ayahnya.
”Ya, aku juga tahu…”
”Kalau begitu kenapa Ayah melakukan ini! Ayo kita kembali!” perintah Lin, sambil dengan jengkel mengamati ayahnya.
Tuan Denissa justru tertawa mendengar ucapan Lin, dan Lin merasa tingkah laku ayahnya barusan semakin membuatnya merasa jengkel.
”Lin, dengarkan ayah. Aku sudah mengatakan kepada Tuan Po kalau dia boleh tidak memberiku gaji asalkan dia memecatku pada hari yang aku mau sebelum dua minggu aku bekerja di sana,” kata Tuan Denissa.
Lin menelan ludahnya, dia masih cukup pusing dengan pengakuan ayahnya yang pertama dan semakin bertambah pusing mendengar pengakuan ayahnya yang kedua. ”Apa? Kenapa harus begitu?” tanya Lin.
Tuan Denissa terlihat senang. Dia tahu sekali kalau Lin sudah melupakan soal itu, ya soal itu, persoalan yang dua hari lalu mereka ributkan.
”Ayah, jawab!” tuntut Lin terlihat tidak sabar.
”Hah, Lin, ini cuma masalah menepati janji,” jawab Tuan Denissa akhirnya.
Lin menggaruk kepalanya yang pagi itu rasanya kosong melompong tanpa isi. ”Jangan buat aku semakin bingung, Yah!” pekik Lin akhirnya.
Tuan Denissa menyalakan tape dan sebuah lagu melodramatis beralun dalam mobil itu. Lin memutar bola matanya karena jengkel dan segera saja dia mematikan tape mobil tersebut.
Tuan Denissa menatap Lin yang benar-benar terlihat jengkel sekarang. Dari tatapan matanya, Tuan Denissa tahu Lin menginginkan sebuah penjelasan yang tidak berbelit-belit.
”Baiklah,” kata Tuan Denissa akhirnya bicara juga. ”Jadi begini, Lin, kau ingat perdebatan kita dua hari yang lalu?”
”Yang mana? Yang bersama Anak merica dan Anak garam itu?” tanya Lin masih sama tidak sabarnya dengan tadi.
”Bukan. Sebelum yang itu,” jawab Tuan Denissa segera.
”Yang mana, Yah?” tuntut Lin semakin tidak sabar.
Tuan Denissa menghenbuskan napas sebagai tanda kekecewaan. ”Yang kau menyuruhku mencari tempat kerja lain,” kata Tuan Denissa akhirnya.
Lin membuka mulutnya perlahan-lahan, ingin bicara sesuatu tapi yang keluar, cuma suara Oh panjang yang mampu keluar dengan sempurna dari mulutnya.
”Sudah ingat?” tanya Tuan Denissa yang kali ini berkonsentrasi dengan jalan.
Lin tidak mau menjawab. Jujur saja, dia merasa malu kalau mengingat perkataannya waktu itu.
”Lin?” tanya Tuan Denissa memastikan Lin masih mendengarkan ucapannya barusan.
”Iya, iya, aku ingat!” kata Lin setengah berteriak.
”Nah, aku kan berjanji akan pindah kerja dalam kurang dari dua minggu. Makanya aku membiarkan Tuan Po memecatku, asalkan dia memecatku pada hari pada hari yang aku minta. Jadi sekarang, janjiku akan segera terlaksana,” kata Tuan Denissa sama sekali tidak merasakan kemarahan yang timbul begitu saja di kepala Lin.
”Ayah,” kata Lin pelan.
”Ya, kau senang, kan? Ayah tidak akan menganggu pekerjaanmu lagi tapi mungkin…”
”Ayah,” kata Lin sekali lagi.
”Ayah akan menganggur untuk beberapa hari, jadi…”
”AYAH!” teriak Lin akhirnya.
Tuan Denissa mengerem mobilnya dengan mendadak. Lin yakin dia akan terlempar ke depan seandainya ayahnya tadi tidak memakaikan sabuk pengaman. Jalanan masih sangat sepi jadi mereka tidak perlu khawatir kalau-kalau ada mobil di belakang mereka.
Tuan Denissa memandangi puterinya dengan aneh. ”Ma-maaf, Lin,” gagap Tuan Denissa ketakutan.
”Ayah tidak usah cari pekerjaan lain,” kata Lin, sambil menunduk dan tidak berani menatap ayahnya.
”Tapi ayahkan sudah janji?” tanya Tuan Denissa.
”Aku tidak peduli!” teriak Lin tiba-tiba meledak-ledak.
Tuan Denissa mendadak terdiam untuk beberapa saat.
”Ayah tahu, waktu itu aku masih sangat membenci ayah. Lagipula kalau Ayah benar-benar dipecat, Ayah mau bekerja di mana lagi?” tanya Lin, suaranya menurun perlahan-lahan.
Tuan Denissa mengetuk-ngetuk setirnya. ”Ayah merasa semua sudah berjalan dengan normal, Lin,” kata Tuan Denissa.
”Berjalan dengan normal?” ulang Lin.
”Entahlah, Lin. Ayah tidak tahu tapi menepati janji Ayah adalah bagian dari kenormalan itu,” kata Tuan Denissa sama pelannya dengan Lin.
”Jadi, Ayah tetap akan pindah?” tanya Lin menyimpulkan.
Tuan Denissa mencoba memandang mata Lin. ”Ini janji Ayah yang pertama setelah sebelas tahun ini kita tidak bertemu, Lin. Biarkan Ayah menepatinya.”
Lin hanya membisu mendengar ucapan ayahnya. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan lagi kalau ayahnya sudah berkata seperti itu.














CHAPTER 10

Setelah beberapa saat, akhirnya mereka sampai juga di pantai tujuan mereka. Lin cepat-cepat turun dari mobil, rupanya matahari belum benar-benar muncul sehingga cahayapun masih terasa remang-remang. Lin merasa senang karena bisa menghirup udara pagi di pantai. Udara di sana benar-benar segar. Lin merentangkan dua tangannya dan mencoba menangkap angin-angin yang berhembus pelan di sekitar jemarinya. Suara ombak yang begitu lembut benar-benar membawa efek ketenangan yang luar biasa baginya.
”Berapa lama kau tidak ke pantai?” tanya Tuan Denissa yang sejak tadi mengawasi puterinya.
Lin menghirup udara pantai banyak-banyak sambil memejamkan mata. ”Sebelas tahun,” jawabnya tanpa mau memandang muka ayahnya yang kini terlihat bersalah.
”Waktu yang lama,” kata Tuan Denissa. Hanya itu yang bisa dikatakannya untuk saat ini.
Lin membuka matanya perlahan-lahan sambil mencermati matahari yang nyaris muncul di sebelah timur. Rona jingga matahari benar-benar membuatnya nyaman. ”Aku masih ingat saat pertama kali Ayah mengajakku kemari,” kata Lin sambil mengingat-ingat kejadian waktu itu.
”Ya, waktu itu situasinya tidak sespektakuler ini,” kata Tuan Denissa.
Lin tersenyum mendengar pengakuan ayahnya tadi. ”Waktu itu siang yang panas, panas sekali. Aku masih ingat bagaimana ibu mengoleskan sunblock ke sekujur tubuhku, aneh saja jika melihat Ayah yang waktu itu justru hanya memakai celana pendek dan merentangkan tubuh menghadap matahari, tanpa sunblock,” papar Lin, sambil melirik ayahnya dengan jail.
Tuan Denissa tertawa. Lin tahu, ayahnya bukan menertawakan ucapannya tapi dia sedang menertawakan dirinya sendiri. ”Bagaimana kau bisa mengingat hal sekecil itu dalam waktu yang cukup lama?” tanya Tuan Denissa saat akhirnya berhasil mengendalikan tawa nyaringnya.
Lin terdiam beberapa saat, tanpa senyum atau tertawa seperti ayahnya. Lalu dia menjawab, ”Itu bukan hal kecil, Ayah.”
”Itu semua adalah hal-hal terbesar dan terbaik jika kau mengalami semua kejadian yang pernah aku alami,” kata Lin mendadak jadi dingin.
Tuan Denissa menyadari ada sebagian dari suara Lin yang terdengar begitu menyalahkannya. Dia tidak mengelak semua itu. Lin berhak marah kepadanya.
Keduanya diam untuk beberapa saat. Lin memandangi pasir di kakinya, mungkin ada yang bisa dilakukannya bersama ayahnya dengan pasir itu, begitu pikiran Lin memberi gagasan kepadanya. ”Kita main kejar ombak,” usul Lin.
”Baik, aku yakin ombak-ombak itu tidak akan memakan kakiku,” kata Tuan Denissa dengan penuh semangat.
Lima menit berikutnya keduanya sudah melepaskan sepatu masing-masing. Kaki Lin terasa dingin saat menyentuh pasir yang basah.
”Ok, kita mulai,” kata Lin, saat keduanya telah siap menantang laut dan berdiri di bibir pantai yang masih bisa tersapu ombak.
”Siapa takut,” kata Tuan Denissa tanpa ragu.
Beberapa saat kemudian, ombak kecil yang mereka nanti datang. Untuk menghindari sapuhan ombak di kaki mereka, mereka harus mundur. Kali ini keduanya masih bisa menghindar dengan sempurna.
”Kedudukan masih sama,” kata Tuan Denissa, sambil melirik kaki Lin yang juga masih kering.
”Ini baru permulaan, Ayah. Ombaknya masih pemanasan,” kata Lin setengah menggurui ayahnya.
”Oh, terserah. Tapi mereka datang lagi, mundur!” teriak Tuan Denissa spontan begitu melihat gulungan ombak agak besar hampir menyapu kaki mereka.
”Ayah tidak usah memberi komando!” protes Lin, tidak ingin menjadikan ayahnya sebagai penanggung jawab kalau dia kalah.
”Sori,” kata Tuan Denissa, tanpa ada rasa bersalah yang begitu jelas terpampang diwajahnya.
Mereka menghabiskan hari di pantai itu sampai kesepakatan pemenangpun tercapai. Lin mengungguli ayahnya tiga angka karena dia mengecoh konsentrasi ayahnya dengan terus-terusan mengajaknya ngobrol.
”Aku berhasil mengungguli Ayah,” sorak Lin penuh kemenangan.
”Kau kan curang,” balas Tuan Denissa seolah tidak mau kalah.
”Tapi secara de facto, Ayah kalah,” kata Lin.
”De jure, tidak.”
”Terserah, Ayah,”
Tuan Denissa melengos dan menatap pantai yang sudah semakin panas dan semakin ramai.
”Sudah siang,” kata Tuan Denissa seolah berusaha beralih topik dari pembicaraan menyebalkan mereka.
”Ya, dan aku lapar,” kata Lin sambil menggosok perutnya.
”Kita makan,” kata Tuan Denissa segera.
Mereka makan di sebuah kafe di dekat pantai. Tidak ada yang cukup cocok selain memesan orange juice dan pai apel untuk sarapan.
Mereka sempat mendengar seorang pelayan kafe berbicara dengan seorang wanita, ”Arigatoo gozaimasu,” kata pelayan itu, sambil membungkukkan badan.
”Iie dooitashimasite,” jawab perempuan itu.
”Wanita Jepang,” kata Tuan Denissa membertahu Lin. Sebenarnya tanpa diberitahu Lin juga sudah tahu. Kata Arigatoo gozaimasu adalah kuncinya, kata itu sudah cukup ngetrend dikalangan masyarakat sebagai kosa kata dari Jepang, sekalipun kau tidak pernah belajar bagaimana bahasa Jepang itu.
Tiba-tiba saja Tuan Denissa berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak, ”Bonjour!”
Wanita Jepang itu menatapnya dengan aneh, termasuk semua pengunjung. Lin segera menarik ayahnya agar duduk kembali.
”Ayah. Apa yang kau lakukan?” tuntut Lin saat akhirnya Tuan Denissa kembali duduk dan semua mata tidak lagi memandangi mereka dengan aneh.
”Mengacaukan situasi,” jawab Tuan dengan santai.
”Tapi dia kan wanita Jepang, bukan Prancis!”
”Wanita Jepang sekalipun juga akan tahu apa itu Bonjour,” jawab Tuan Denissa dengan senang.
”Memangnya Ayah bisa bahasa Prancis?” tanya Lin ingin tahu.
”Tidak,” jawab Tuan Denissa, ”Tapi kau juga bolehkan bilang Bonjour sekalipun kau tidak bisa bahasa Prancis, sama seperti kau berhak berkata, Arigatoo gozaimasu sekalipun kau tidak bisa bahasa Jepang.”
”Gleich falls,” jawab Lin tanpa menunjukkan tanda-tanda keseriusan.
Tuan Denissa tertawa mendengar ucapan Lin.
Keduanya tertawa-tawa dan bercanda untuk waktu yang cukup lama, Lin senang jika harus menceritakan sebagian dari pengalamannya. Lin tahu ayahnya juga pasti ingin tahu. ”Ayah tahu, dulu waktu aku SMP, Profesor Luna selalu memberiku nilai E untuk pelajaran tatakrama,” cetus Lin, sambil sesekali melilitkan jemarinya di ujung rambutnya.
Tuan Denissa menganggap semua itu sebagai tindakan pengakuan dosa, dia hanya mengerutkan kening sebagai tanda keantusiasannya dan keheranannya.
Lin memperhatikan ayahnya sebentar, tersenyum dengan puas saat tahu ayahnya penasaran. ”Aku sering berkelahi dengan cowok,” kata Lin akhirnya. Ada kesan dia menunggu respon dari ayahnya, semua itu terlihat jelas dari tatapan matanya dan senyumannya.
Tuan Denissa tertawa begitu nyaring sehingga untuk kedua kalinya semua orang menatap meja mereka dengan janggal.
”Rupanya bakat itu menurun,” Lin mendengar ayahnya berkata.
Kalau tadi Tuan Denissa yang terlihat penasaran, sekarang giliran Lin. Dia memandang ayahnya penuh minat.
”Maksud Ayah?” tanya Lin.
Tuan Denissa menggelengkan kepala sambil mendongak ke langit, sedang mengingat-ingat sesuatu sebelum bicara lagi. Tuan Denissa melepaskan pandanganya dari cakrawala dan berganti menatap puterinya.
”Ayah sama sepertimu,” kata Tuan Denissa. ”Dulu, waktu aku seusiamu, aku sering terlibat dalam perkelahian antar pelajar. Muka ayah sampai berdara-darah. Tidak ada yang bisa menghentikannku waktu itu, yah, setidaknya belum ada,” Tuan Denissa terlihat muram begitu menyelesaikan ucapannya.
Lin tidak lagi merasa antusias, dia sedikit merasa jengkel dan marah dengan ayahnya. ”Ibu,” kata Lin.
Ada semacam gelombang aneh yang mengerogoti jantung Tuan Denissa, mendadak jantungnya berpacu. Dia gemetaran saat harus mengakui hal-hal yang menyangkut mantan istrinya itu.
”Ceritakan kepadaku bagaimana Ayah bisa bertemu dengan Ibu,” kata Lin, dia menyadari bahwa perasaan marahnya yang keluar tiba-tiba tadi mulai menyusut. Wajah ayahnya yang merana lah yang membuatnya begitu.
Tuan Denissa membasahi bibirnya, dia menatap puterinya dengan mata berkaca-kaca. ”Waktu itu siang hari yang dingin, angin bertiup sangat kencang. Ayah sudah bilang kalau Ayah sering terlibat perkelahian antar pelajar, Ayah punya banyak musuh. Mereka datang dari tiga arah dan mengeroyokku,” Tuan Denissa mengambil jeda sebentar, sementara Lin sedang mencermati wajah ayahnya dengan iba.
”Aku masih ingat rasa nyeri yang timbul saat tinju-tinju itu menghantam muka dan perut Ayah,” kata Tuan Denissa, dia mengerjap begitu mengingat kejadian itu, seolah saat ini dia juga sedang di pukuli.
”Apa Ayah menangis?” tanya Lin.
Tuan Denissa tersenyum dengan kaku, dia memandangi wajah puterinya selama beberapa saat. ”Hampir,” jawab Tuan Denissa. Sama sekali tidak ada unsur menipu dalam ucapannya, Lin tahu kalau ayahnya jujur.
”Gadis itu mendadak muncul, dia lebih berani daripada kelihatannya. Aku tahu dia tidak bisa berkelahi, dia hanya pemberani. Sambil berteriak-teriak menghina berandalan tadi, dia mengacungkan dua jari tengahnya dengan penuh semangat,” kata Tuan Denissa. Lin tersenyum mengetahui ibunya bisa juga berbuat seperti itu.
Kalau dipikir-pikir, Lin malah menduga kalau ibunya adalah wanita baik-baik yang sama sekali tidak pernah muda dan melakukan hal konyol seperti tadi. Semua itu tergambar dengan jelas, Lin yakin sekali ibunya selalu melewatkan bagian itu saat menceritakan awal pertemuannya dengan Tuan Denissa. Walaupun Lin tidak pernah ingin tahu tentang ayahnya, tapi Lin cukup senang mendengar cerita ibunya, dan sekarang dia malah mendapat dua sudut pandang cerita, dari ibunya dan dari ayahnya.
”Apa yang dilakukan gerombolan itu?” tanya Lin, seolah meminta ayahnya agar lekas menyelesaikan ceritanya.
”Mereka mengejar ibumu,” kata Tuan Denissa seperti ucapan yang sering didengar Lin dari mulut ibunya. ”Aku harus bersusah-susah bangkit untuk menyelamatkannya, seperti cerita-cerita superhero yang berusaha menyelematkan sang kekasih.”
Lin tertawa mendengar ucapan ayahnya, dia memang susah menahan tawa begitu melihat lagak dramatis seseorang yang dipaksakan.
”Ayah merasa diri ayah adalah pahlawan?” tanya Lin.
Tuan Denissa membisu untuk beberapa saat. ”Saat itu, ya,” jawabnya, ”tapi aku tidak tahu bagaimana saat ini.”
Lin menatap ayahnya, dia tahu Tuan Denissa berkata begitu karena dia ingin agar Lin yang menilai. ”Ayah tahu, Ayah bisa tetap seperti itu jika Ayah mau mempertahankannya…”
Tuan Denissa mencari petunjuk dari ucapan Lin, belum ketemu.
”Dan yang aku lihat saat ini… adalah sosok ayah yang sebenarnya, pahlawan anak-anaknya,” ungkap Lin.
Tuan Denissa tidak mampu berkata apa-apa, hanya ada sedikit airmata yang tidak sungguh-sungguh ingin keluar dari matanya, dia hanya tersenyum sambil menatap Lin.





















CHAPTER 11

Hari berikutnya Lin tidak mendapati Vickey ada di Po’s Hungger. Harry bilang dia sedang ada urusan di rumah. Lin bertanya-tanya punya urusan apa pria menyebalkan itu? Tapi rasa bersalahnya membuat ia menepis anggapan-anggapan miring tentang Vickey.
Begitu jam kerjanya habis, ia segera berganti baju dan menuju ke rumah Vickey. Kali ini Lin membujuk Tina dan Cindy yang ingin tahu pergi kemana sebenarnya dia. Dan Lin merasa senang saat melihat ayahnya mengangguk sebagai tanda bahwa ia mengizinkan puterinya pergi.
Rumah Vickey tidak terlalu jauh dari Po’s Hungger. Hanya perlu melewati dua blok perumahan dan satu tikungan maka Lin akan berdiri di depan sebuah rumah yang tinggi menjulang dengan pintu putih yang lebar di depannya.
Lin melangkah menyusuri halaman lalu memencet bel di dekat pintu. Lin memencetnya lagi saat tidak ditemukan orang rumah yang sudah mendengar bunyi bel. Dan setelah lima belas detik menunggu, seorang wanita muda dan cantik membukakan pintu.
”Selamat sore, Nyonya…” sapa Lin, ”Saya ingin...”
Wanita itu tersenyum, ”Ya, kau pasti mencari Vickey… masuklah,” potongnya seolah bisa membaca semua isi kepala Lin dengan cukup mudah. Lin melangkah masuk dengan ragu, sementara wanita itu mencermati Lin dengan seksama dan tersenyum saat mata mereka berpapasan. Salah satu tangannya agak basah dengan kotoran tanah menempel di ujung jari-jarinya, Lin menduga kalau wanita di depan hidungnya itu masih menjalankan bisnis pot bunganya.
”Vickey sedang ada di taman masuklah, ayo aku antar,” katanya, sambil meranggul pundak Lin dan menggiringnya ke suatu tempat. Dia tersenyum, dan itulah yang membuat Lin sama sekali tidak ragu bahwa wanita itu adalah ibu Vickey, Nyonya Juin.
Lin melewati dapur dan ruang keluarga yang begitu spektakuler, tapi rumah ini terlalu sepi… dan terlalu dingin.
Saat mereka melewati sebuah pintu kaca, Lin menyadari bahwa mereka telah sampai di sebuah taman bunga yang sangat indah. Di sana seorang bocah ber-T-shirt putih dan bercelana selutut yang sedang duduk membelakanginya, tampaknya ia sedang sangat sibuk merapikan sesuatu.
Nyonya Juin berbisik yang mengesankan bahwa ia tidak ingin ketahuan puteranya, ”Aku tinggal dulu, ya?” lalu ia pergi dengan mengendap-endap.
Lin mengawasi kepergiannya dengan aneh. Saat pandangannya kembali tertuju pada Vickey dia memutuskan untuk mendekatinya.
Punggung Vickey yang bergerak-gerak menandakan bahwa ia sedang benar-benar sibuk, dan pakaiannya yang dikenakannya tidak membuatnya tampak seperti biasa, ia terlihat lebih diam dan manis jika begitu.
”Vic… Vickey…” kata Lin memberanikan diri.
Punggung Vickey mendadak jadi tenang, dia menoleh ke belakang dan mendapati Lin berdiri di sana.
Wajahnya tampak terkejut namun juga kecut saat mendapati Lin berdiri terpaku di belakangnya.
”Kau datang karena ingin mengungkapkan penyesalanmu?” tanya Vickey dengan nada meninggi.
Lin mengerutkan keningnya sebagai tanda kalau ia mulai muak. ”Aku sudah menduga kalau aku hanya akan buang-buang waktu saja! Aku mau pergi!” teriak Lin sekonyong-konyong, sambil membalik tubuhnya dan melangkah pergi. Namun tidak begitu jauh melangkah, seseorang menghentikannya.
”Hei! Maaf, aku hanya bercanda…” kata Vickey, sambil memegangi pergelangan tangan Lin.
Lin menoleh menatapnya, ”Kau tidak punya cara yang lebih baik untuk bercanda, ya?” tuntut Lin.
Tangan Vickey turun ke jemari Lin dan ia meremasnya, Lin merasa aneh sendiri tapi sangat terasa bahwa jantungnya berdekup jauh lebih cepat dari sebelumnya. ”Aku benar-benar minta maaf…” kata Vickey. Lin menatap mata bocah itu dan mencari petunjuk apakah dia benar-benar serius.
Lin tidak menjawab, dan Vickey melepaskan jemarinya dengan enggan. ”Jadi, apa yang sebenarnya membawamu kemari?” tanya Vickey, berusaha membuat suaranya terdengar normal.
”Aku cuma ingin tahu apa sebenarnya urusanmu sampai-sampai kau tidak masuk kerja,” kata Lin asal saja.
Vickey tertawa, ”Kenapa? Kau kangen sama aku, ya?” tanyanya.
Lin membuka mulutnya beberapa senti sebagai ungkapan kalau dia tidak percaya dengan ucapan Vickey. ”Apa? Aku kangen sama kamu? Berdoa saja deh…” kata Lin akhirnya.
Vickey tertawa sekali lagi, ”Aku sedang sibuk menata bunga, kau tahukan ibuku sedang ingin menjalankan bisnis pot bunganya…” kata Vickey, sambil berjalan mendekat ke arah salah satu bunga mawar dan berlutut di depannya.
”Kau menyukai bunga, ya?” tanya Lin.
Vickey mendongak untuk mendapatkan mata Lin, lalu ia bangkit berdiri. ”Dengar, ini semua tidak terlihat seperti kelihatannya… aku-aku hanya…”
”Hanya ingin membantu ibumu?” sahut Lin.
”Ya, itu dia. Aku tidak punya alasan khusus untuk menyukai bunga-bunga ini dan…”
”Dan kau tidak melakukan kesalahan sedikitpun dengan hanya menyukai bunga, itu hakmu,” kata Lin memotong ucapan Vickey.
Vickey menghembuskan napas dan terlihat agak malu mendengar ucapan Lin. ”Ya, kau benar…”
”Memang. Aku minta maaf…” kata Lin pelan.
Vickey terlihat canggung, dia berpura-pura untuk bersikap cuek seperti biasanya tapi gagal. ”Kita memang selalu bermusuhan, kan?”
”Saat ini juga? Dengar, aku benar-benar ingin minta maaf, apapun yang sudah kulakukan adalah hal yang tidak sungguh-sungguh, kau tahu, semacam caraku bergurau denganmu…” kata Lin mendadak ia juga menjadi canggung.
Vickey jadi salah tingkah… tapi mendadak kembali kepada kepribadiannya yang kaku, entah disadarinya atau tidak. ”Aku menyukai caramu bergurau, Miss menyebalkan,” katanya dengan wajah menyebalkan yang sering dikeluarkannya itu.
Lin merengut dan ingin memulai kemarahannya, ”Tapi aku tidak menyukainya, Mr. Memuakkan!” balas Lin.
”Oh, ya?”
”Ya, dan aku akan sangat senang jika orang sepertimu tidak pernah ada dalam kehidupanku! Semua hanya sebuah kesialan jika berurusan denganmu!” teriak Lin, dia marah sekali. Bagaimana sebenarnya pola pikir bocah gila itu, pikir Lin. Lin kemari hanya untuk minta maaf dan beginikah sambutannya?
”Aku juga!” balas Vickey.
”Baik! Aku pergi!” teriak Lin, lalu ia pergi begitu saja.
”Pergilah!” jawab Vickey. ”Karena aku suka kalau kau pergi!” tambahnya.

























CHAPTER 12
Lin marah sekali saat ini, Vickey adalah satu-satunya orang yang benar-benar ingin dicekiknya sampai mati dan ingin ditendangnya sampai bengkak!
Emosi yang berlebihan membuatnya menendang pintu kamar dengan keras dan menimbulkan bunyi yang gaduh.
”Lin… kau baik-baik saja?” tanya Tuan Denissa, sambil menatap Lin dengan khawatir.
”Aku tidak yakin!” jawab Lin seperlunya. Dia terduduk di atas ranjang, sementara Tuan Denissa mendekatinya.
Tuan Denissa mengamati wajah puterinya yang gusar sebelum memutuskan untuk meremas tangannya. ”Dengar, kadang-kadang manusia memiliki cara yang berbeda-beda dalam menunjukkan pesannya…”
Lin masih merengut, bibirnya yang meruncing semakin menjadi karena Lin tidak begitu mengerti apa maksud ayahnya. ”Menurut, Ayah, Vickey sialan itu sedang ingin menyampaikan pesan?” tuntut Lin.
Tuan Denissa menghembuskan napas, ”Ayah hanya menebak… bukannya kau sudah membuat keputusan bahwa Vickey tidak seburuk dugaanmu?” tanya Tuan Denissa.
Lin berdecak dengan jengkel. ”Keputusanku mungkin salah, Yah! Vickey benar-benar bocah yang sangat sulit dimengerti! Aku hanya mencoba berbaikan dengannya, tapi apa yang ia lakukan! Dia sudah gila! Dia malah mengomel dan memanggilku Miss Menyebalkan!” omel Lin seolah-olah Vickey ada dihadapannya sekarang.
Tuan Denissa tersenyum dengan tenang, ”Pernahkah kau mengingat ada berapa orang yang memanggilmu Miss Menyebalkan?”
Lin terdiam, dia memang tidak pernah memikirkan hal ini, satu-satunya orang yang memanggilnya begitu hanya satu orang, Vickey. Dengan pandangan mengerti ia menatap ayahnya.
”Tahukah kau bahwa seseorang bisa sangat merindukan orang yang lain hanya dari caranya memanggil memanggil yang lain?” tanya Tuan Denissa, sambil melamumkan sesuatu yang mengambang di depannya.
Lin diam saja, dia memandangi ayahnya yang tampak bijaksana dengan puas. ”Kau tahu bagaimana aku memanggil ibumu?” tanya Tuan Denissa akhirnya.
Ruangan sepi sejenak. Lin merasa ada tangan tak terlihat yang membenturkan kepalanya saat itu. Ia memandangi dahi ayahnya yang berkerut kecil-kecil sambil berpikir.
Tuan Denissa kini menatapnya, senyuman tipisnya mengesankan bahwa ia ingin bersugguh-sungguh. ”Ayah menyebutnya Wanita Perkasa.” Tuan Denissa tenggelam dalam lamunannya, matanya yang berair lewat begitu saja di wajah Lin.
”Aku tidak tahu… dia marah sekali saat aku menyebutnya begitu, sama sepertimu. Dan suatu hari aku memutuskan untuk tidak lagi memanggilnya begitu. Dia mendatangiku dan mengatakan sesuatu dengan suara yang aneh, tahu kah kau apa yang ia katakan?” tanyanya, sambil menatap Lin dengan penuh harap bahwa puterinya mengerti apa yang sebenarnya dibicarakannya.
”Dia meminta Ayah untuk memanggilnya Wanita Perkasa lagi, kan?” tebak Lin.
Air mata Tuan Denissa mendadak mengalir, baru pertama kali ini Lin menyaksikan ayahnya begitu merana. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengamati tiap butir air mata yang berjatuhan di pipi ayahnya.
”Penyesalan selalu ada, Lin. Dan datangnya selalu belakangan…” kata Tuan Denissa. Lin mencerna perkataan itu dengan matang karena ia ingat betul bagaimana Vickey pernah mengatakannya sebelumnya.

Lin merasa ada beberapa hal yang berubah di dunia ini. Apapun yang dirasakanya tidak begitu jauh dari ayahnya, Tuan Denissa. Bahkan saat Pagi itu, Lin merasa nyaman dengan mendapati ayahnya sedang mengamati televisi dengan serius, padahal yang diperhatikan Tuan Denissa hanya sebuah iklan mobil.
Lin tersenyum menatapnya. Dia masih tidak ingin percaya kalau beberapa hari lalu dia tidak mengharapkan laki-laki itu ada di dalam kehidupannya. Semua terasa berat setelah ibunya meninggal, belum pernah terbesit di kepalanya kalau dia akan menemukan hari seperti ini.
Tiba-tiba Tuan Denissa tersenyum dengan girang saat iklan itu telah usai. Lin merasa aneh. ”Ada yang salah?” tanya Lin, sambil mengamati pakaiannya sendiri.
”Tidak, hanya saja… ayah punya kejutan untukmu,” kata Tuan Denissa dengan lagak sabarnya. Lin mendongak menatap ayahnya yang saat ini sedang memikirkan sesuatu.
Lin berpikir sejenak, mulai mengerti kemana arah pembicaraan Ayahnya. ”Jangan bilang Ayah punya minat tersendiri dengan iklan yang baru saja lewat,” kata Lin, sambil melirik televisi yang sedang menyiarkan berita pagi.
Tuan Denissa menjadi lebih girang lagi, ”Kenapa tidak?” tanyanya.
Lin mendengus dan memutar bola matanya bersamaan. ”Ayah, kita tidak punya cukup uang untuk membelinya!” erang Lin. Tuan Denissa nampak tidak seserius Lin, bahkan dia masih bisa tersenyum-senyum.
”Tentu saja kita punya,” kata Tuan Denissa mengakhiri kegelisahan Lin.
”Apa maksud Ayah?” tanya Lin, meminta penjelasan dari Tuan Denissa. Sebenarnya Lin bingung dengan keputusan ayahnya, darimana dia akan mendapat uang, uang yang mereka dapatkan hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari, tidak akan bisa untuk membeli mobil.
”Kadang-kadang seseorang sengaja tidak mengambil jatahnya hanya untuk mendapatkannya kalau memang sudah sangat membutuhkan…”
”Tapi kita memang tidak membutuhkannya, kan?” tuntut Lin, tatapan matanya tidak terlepas dari ayahnya yang kini memutuskan untuk berdiri dan mendekatinya.
”Kau akan membutuhkannya, Lin,” jawab Tuan Denissa tenang.
Lin berdecak dengan sinis, ”Kita hanya buang-buang uang, Ayah! Lagipula aku tidak bisa menyetir…”
”Itu dia!” potong Tuan Denissa penuh semangat.
Lin bertanya-tanya apa maksud ayahnya dengan mengata mengatakan ’itu dia!’suatu ucapan yang menurut Lin sangat menjauhi konteks pembicaraan mereka. Seandainya di sana ada seseorang yang bisa diajaknya untuk saling tatap dengan aneh, pasti Lin akan melakukannya, karena tidak ada orang lain selain ayahnya, maka Lin tidak punya pilihan selain menanyakan ’Apa?’ dengan tingkat terkejutan yang berlebihan.
”Yah, kau tidak bisa menyetir…” jawab Tuan Denissa. Lin memandang ayahnya dengan aneh, bertanya dalam hatinya apakah trend tidak bisa menyetir di zaman seperti ini adalah kelebihan seseorang?
Lin dengan cepat memotong pembicaraan ayahnya, ”Makanya…”
”Makanya Ayah akan mengajarimu…”
”Tidak! Batalkan saja, aku tidak mau!” elak Lin tetap bersikeras.
”Kau harus mau, Lin!” paksa Tuan Denissa bersungguh-sungguh. Lin menatapnya dengan aneh sekali lagi. Apa-apaan ini? Pikirnya.
”Ayah, aku tidak mengerti, apa maksud Ayah?” tanya Lin, dari suaranya dapat disimpulkan kalau Lin sedang beranggapan kalau ayahnya mendadak gila, kerasukan setan dan hilang ingatan.
”Kenapa Ayah terus memaksaku tanpa memberikan penjelasan yang benar! Katakan kepadaku kenapa Ayah melakukan ini?” tambah Lin, sambil melipat lengannya siap menerima menjelasan dari Tuan Denissa.
Tuan Denissa tidak bisa berpura-pura bodoh saat ini, dia menghembuskan napas sebagai tanda kalau dia siap bicara, ”Ok, ini soal… Ibumu,” kata Tuan Denissa pelan.
Mendadak Lin merasa menyesal menanyakan hal ini, dia menatap ayahnya, ingin sekali menyuruhnya berhenti, tapi tidak bisa.
”Janji, kau tahu?’ tambah Tuan Denissa. Lin menggelengkan kepala tidak percaya. ”Yah, ayah tidak tahu harus bagaimana lagi, Lin.” Tuan Denissa menggaruk-garuk kepalanya sendiri dengan canggung.
”Ayah terlambat selangkah, kan?” tanya Lin, tidak tahu kenapa emosinya sedikit naik. Tuan Denissa tidak segera menjawab, walaupun begitu raut mukanya sudah terlebih dahulu mengatakan jawabnya.
Tuan Denissa memasukkan dua tanggannya ke kantong celanannya sambil menggangguk pelan. Lin mengamatinya dengan gusar. ”Tapi semua tidak seperti yang kau bayangkan…” kata Tuan Denissa mencoba menjelaskan.
”Tentu saja! Ayah tahu apa salah satu kesalahan Ayah?” tanya Lin bersungut-sungut. ”Ayah selalu terlambat selangkah! Membuang-buang waktu dan kemudian menyesal di akhir-akhirnya…”
”Ayah juga tahu,” sahut Tuan Denissa cepat.
”Kalau Ayah tahu, kenapa Ayah melakukannnya?” tantang Lin, keduanya saling bertatapan lekat-lekat.
Tuan Denissa kembali menghembuskan napas, ”Ayah masih sangat muda waktu itu…”
”Tidak! Aku masih muda, tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan!” teriak Lin, entah darimana asalnya ucapan itu, pokoknya dia ingin mengatakannya.
Mereka bertatapan sejenak sebelum akhirnya Lin beranjak dari tempatnya. ”Ayah hanya ingin melakukan yang terbaik Lin, itu saja,” kata Tuan Denissa, percuma Lin tidak begitu ingin mendengarnya.

Lin mengindari pertemuan dengan Ayahnya, bahkan ia sengaja menelepon Cindy dan mengatakan kalau dia tidak ingin masuk kerja hari ini. Entahlah ia juga tidak tahu kenapa harus marah dengan ayahnya, padahal Tuan Denissa hanya ingin memberinya sesuatu. Mungkin karena Lin merasa Tuan Denissa sangat tidak adil dengan ibunya. Kenapa ayahnya tidak melakukan ini dulu-dulunya? Dan setelah semuanya berakhir Tuan Denissa baru mengambil langkah.
”Cin, hari ini aku tidak masuk,” kata Lin, sambil memainkan kabel telepon.
”Ayahmu mengajak liburan lagi?’ tanyanya.
Lin mengerucutkan bibirnya, dia senang Cindy tidak bisa melihanya melakukan itu. ”Aku sedang malas, itu saja,” kata Lin asal.
”Apa? Tidak, biasanya kau tidak seperti ini…”
”Sudahlah, terimakasih, Cin. Aku hanya ingin memberitahu saja…”
”Tapi…”
”Ya, sampai jumpa,” kata Lin, lalu ia meletakkan gagang telepon. Dia tahu Cindy pasti akan mencari informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi dengannya.
Kemarahannya kepada ayahnya membuatnya rela berjalan berkilo-kilo meter tanpa tujuan yang jelas. Hanya ingin berjalan, itu saja. Padahal baru beberapa menit yang lalu Lin merasa cukup senang dekat dengan ayahnya. Dan sekarang rasanya semua jadi terbalik.
Saat Lin berjalan di terotoar kota, ia merasa ada seseorang yang mengikutinya, Lin menoleh dan berlagak tidak kaget saat menemukan Vickey tengah berdiri di sana.
”Huh! Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Lin. Otaknya sedang berpacu memikirkan ucapan ayahnya semalam. Menimbang-nimbang untuk meminta maaf.
”Tidak ada,” jawab Vickey dengan cuek.
Mendadak keinginan Lin untuk meminta maaf kepadanya sirna sama cepatnya dengan kedatangannya. Dia memandangi Vickey yang kali ini memakai celana cargo hitam dan jaket biru navi dengan sinis.
Vickey balas memandangnya dan perlahan berjalan mendekati Lin. Lin sudah mempersiapkan diri untuk mengeluarkan umpatan-umpatan yang paling jelek untuk manusia yang mendatanginya itu.
Vickey tidak mengatakan apa-apa, mendadak ia menangkap tangan Lin dan mengajaknya berjalan. ”Kita jalan-jalan…” katanya, sambil menggandeng tangan Lin dengan erat. Lin tidak mengerti apa maksud Vickey, tidak ada kata-kata yang keluar, ia mengikuti Vickey dengan bingung.
”Kau baik-baik saja, kan?” tanya Lin memastikan kalau semuanya memang berjalan dengan normal.
Vickey mendadak berhenti dan Lin menabrak punggungnya. Vickey menoleh dan menatapnya dengan kesan terganggu. ”Kau mau jalan-jalan tidak?” tanya Vickey.
”Iya… tapi…”
”Tapi jangan banyak bicara!” sahut Vickey, lalu ia kembali menarik tangan Lin dengan seenaknya.
Lin mengawasi batok kepala Vickey dengan gusar. Carikan aku batu! Batin Lin. Mendadak pikiran curang Lin hilang karena Vickey angkat bicara, ”Aku minta maaf,” katanya tanpa menatap Lin.
”Apa?” tanya Lin tidak mengerti.
Vickey memutar bola matanya lalu berhenti mendadak sekali lagi, beruntung kali ini Lin bisa mengerem kakinya. ”Aku bilang aku minta maaf!” teriak Vickey sekeras-kerasnya. Orang-orang di trotoar menatap mereka dengan aneh.
Lin menepis genggaman Vickey sampai terlepas, ”Kau tidak bisa pelan-pelan ya kalau minta maaf!” tuntut Lin, matanya melotot dan pelipisnya berdeyut-denyut. Lin menabraknya dan terus melangkah dengan marah.
”Sial!” umpat Vickey sebelum ia berlari mengejar Lin. Dia menyetop langkah Lin yang masih terus berlanjut, dan itu memaksanya untuk berjalan mundur. ”Lin, maafkan aku… aku tidak bermak…”
”Oh tutup mulutmu! Kau selalu minta maaf lalu mengulanginya lagi! Aku sudah bosan!” teriak Lin, tanpa menatap mata Vickey dengan serius.
”Baiklah, aku tahu kau sangat membenciku! Tapi percayalah aku tidak bisa mengontrol ucapanku kalau harus berhadapan denganmu…” ungkap Vickey, tapi Lin tidak luluh juga, dia masih mempertahankan langkahnya seolah tidak ada yang mengajaknya bicara.
”Lin, ayolah…” Vickey menoleh ke belakang saat tanpa sengaja menabrak seorang pria, ”Maaf, Bung,” katanya asal saja.
”Lin! Aku sungguh-sungguh!” Lin masih tidak menggubris. Vickey berhenti mendadak dan tertinggal di belakang Lin.
”Percayalah kau akan mencariku jika aku pergi!” teriak Vickey putus asa.
Lin mencibir mendengarnya dan tiba-tiba ia menyadari bahwa Vickey sudah tidak lagi ada di sekitarnya. Dia menoleh ke segala arah tapi Vickey tidak ditemukan, mendadak rasa penyesalan muncul di hatinya.
”Dasar cowok! Begitu saja sudah menyerah,” gerutunya dalam hati. Tiba-tiba sebuah mobil berjalan pelan di sampingnya, Lin menoleh menatapnya.
Seorang gadis yang cukup dikenalnya dalam waktu semalaman keluar dari sana. ”Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini, Lin?” tanyanya, Lily.
”Lily?” kata Lin terkejut melihat kedatangannya.
Lily tersenyum, sementara gaun ungunya berjuntai-juntai dengan lembut saat angin meniupnya. ”Masuklah.”















CHAPTER 13

Lily sangat terampil dalam menyetir, dia memutar setir ke kiri dan ke kanan dengan cekatan, menginjak rem dengan sangat halus dan memindahkan gigi dengan sempurna, bahkan saat dia mengambil ponselnya dan berbicara dengan seseorang semua bisa dilakukannya dengan sangat sempurna, ”Tenang, aku sudah dapat,” katanya, lalu seseorang balas menjawab. ”Ok, bye.” Dia mematikan ponselnya dan meletakkannya di dalam tas.
”Kau sedang ada masalah?” tanya Lily, sambil menatap Lin sebentar.
”Aku tidak tahu, “ jawab Lin, sambil melirik Lily.
”Sudahlah, aku tahu betul bagaimana seseorang yang tinggal bersama ayahnya,” kata Lily, seolah dia sudah membaca semua isi kepala Lin dan menghapalkannya di jauh-jauh hari.
Lin tidak berkata apa-apa. Lily meliriknya sebentar hanya untuk menyakinkannya kalau dia masih menunggu jawaban.
”Ok, tidak kah kau ingin tahu siapa yang baru saja menelepon?” tanya Lily, saat mengetahui Lin benar-benar tidak ingin bicara apa-apa.
”Siapa?” tanya Lin, tanpa minat sedikitpun.
Lily tersenyum dengan santai, ”Kau menyukai Tommy, kan?” tanya Lily.
Lin menelan ludah, ”Kau tidak bermaksud membawaku kepadannya, kan?” tanya Lin dengan mata terbelalak. Dengan melihat senyum tipis Lily, Lin sudah tahu apa jawabannya.
”Dia ingin bertemu denganmu…”:
”Tapi bukannya…’
”Bukan! Dia sepupuku,” jawab Lily dengan cepat.
Lin memikirkan sesuatu, ada banyak kejadian yang benar-benar tidak pernah dipikirkannya dengan sempurna olehnya yang rupanya terjadi akhir-akhir ini. Dimulai dengan kematian ibunya, kedatangan ayahnya, hubungan baiknya dengan Lily, keberaniannya untuk membolos kerja, perilaku aneh Vickey dan sekarang, Tommy? Entahlah semuanya! Belum pernah Lin merasa segila ini.
Pikiran Vickey lah yang paling mengganggunya, kenapa yang bisa diingatnya hanya Vickey? Kemana perginya rasa puas dan rasa bahagia saat ia akan bertemu dengan Tommy? Semua itu rasanya menghilang begitu saja.
”Kau tidak perlu kaku begitu,” kata Lily, sambil menatap Lin dengan khawatir. Lin tersentak dan balik menatapnya dengan ekspresi bego.
Tiga hal yang paling dibenci Lin dalam hidupnya, yang pertama ada yang menirukan gayanya berdecak, kedua ada yang mencampuri urusannya dan yang terakhir adalah yang ini, menampangkan ekspresi bego di depan orang lain, terutama kepada mantan musuhnya. Hal itu sangat menjelaskan betapa idiotnya kita, begitu menurutnya.
”Aku mengerti…”
”Apa yang kau mengerti?” tanya Lin sebisanya membuang ekspresi begonya jauh-jauh dari wajahnya. Bertampanglah cerdas, Lin! Teriak otaknya.
Lily memainkan alisnya sebentar sebelum bicara, ”Itu tadi, aku tahu kau sangat menyukainya, tapi kau juga tidak perlu setegang itu… lagipula, bukan cuma dia yang ingin bertemu.”
Lin merasa agak kecewa tapi juga merasa lega. ”Senang mendengarnya,” jawabnya dengan enggan.
Lily memelototinya sebentar, Lin menyadarinya. ”Apa?” tanya Lin, sambil menatap Lily dengan aneh.
”Tidak kah kau ingin tahu siapa saja yang ingin bertemu denganmu?” tanya Lily dengan nada meninggi. Lin takut kalau gadis itu akan memulai peperangan lama.
Sebisanya Lin membuat wajah penuh keingintahuan. ”Baiklah, aku memang ingin tahu…”
”TIDAK!” teriak Lily tiba-tiba. Kelihatannya dia marah sekali.
”Kenapa?” tanya Lin, sambil menatap Lily dengan aneh takut kalau-kalau Lily mendadak kerasukan setan mobil atau bagaimana.
”Kau tidak boleh ingin tahu!” teriaknya lagi-lagi. Lin mengawasinya dengan mulut menganga, berpikir betapa anehnya gadis di sampingnya itu. Awalnya dia bertanya seolah Lin harusnya ingin tahu, lalu saat Lin mematuhinya ia mengelak, karakter macam apa itu? Dia yakin saat pertama kali bicara secara baik-baik dengan Lily karakternya tidak seperti ini, jauh lebih kalem dan manusiawi.
”Ok, aku tahu, aku tidak ingin,” kata Lin sekedar melegakan Lily untuk sesaat. Lily tersenyum dengan manis sambil menatap Lin, ”Itu tadi cuma lelucon,” katanya, Lin sama sekali tidak bisa membedakan apa itu tadi benar-benar lelucon atau bukan, pokoknya saat ini dia memilih percaya saja kepada Lily.
Dampak orang-orang yang bertingkah seperti Lin memang mudah terlihat, mereka mempunya ciri-ciri yang biasa, seperti:
1. tidak ada ekspresi balasan
2. yang bisa mereka ucapkan hanyalah kata-kata tidak bermutu seperti; Oh panjang atau ’menyenangkan’ padahal sebenarnya tidak, hal itu hanya digunakan untuk memuaskan lawan bicara yang berkarakter aneh seperti Lily.
”Sori, ini karakter asliku. Kau tahu kan, tidak baik menunjukkan keburukanmu di depan orang lain saat pertama kali berbaikan,” kata Lily, sambil tersenyum menatap Lin.
Lin diam beberapa saat, lalu dia ikut tersenyum, ”Aku senang karena kau menganggapku teman,” kata Lin, sambil berusaha mempertahankan senyumnya.
Lily balas menatapnya, ”Dan aku senang kau mengerti ucapanku,” katanya juga sambil tersenyum.
”Itu tadi aneh sekali…”
”Kau memiliki karakter ganda, kau tahu?” tanya Lin.
Lily berpikir-pikir sebentar, ”Bukan, aku mempunyai banyak karakter. Ingat saat aku memusuhimu?” jawab Lily, sambil tertawa.
Lucu juga, hal-hal sensitif seperti itu bisa menjadi tema komedi yang cukup segar saat ini, pikir Lin. Lalu keduanya tertawa-tawa. Diam untuk beberapa saat sebelum Lin kembali bicara.
”Sebenarnya aku sedang ada masalah dengan ayahku,” kata Lin akhirnya berterus terang. Lily mengangguk tanpa menatapnya. Ekspresi yang tidak buruk, pikir Lin sambil menatap Lily.
”Kami bertengkar karena ada hal yang membuatku membencinya selama ini,” kata Lin, pandangannya menerawang menatap pemandangan di luar. ”Mungkin menurutku ini sangat tidak adil untuk ibuku…”
Lily tidak mengatakan apa-apa, dia konsentrasi menyetir. Tapi Lin tidak peduli, dia masih ingin bicara. ”Ayahku banyak mengecewakanku waktu itu, kau tahu?” kata Lin, Lily masih tetap diam.
”Dia tidak pernah mengirimkan kabarnya, tidak pernah mengirimkan kartu ulang tahun kepadaku… kadang aku sangat membencinya! Tapi… dia bukan laki-laki seperti itu, mungkin.”
Kali ini Lily tersenyum. ”Kau dulu pernah mengatakan kepadaku kalau aku harus menyanyangi ayahku… aku memikirkan semua ucapanmu waktu itu, dan aku tahu kadang aku membencinya karena aku terlalu sayang kepadanya, dan itu yang sedang dihindari oleh ayahmu. Kau tahu apa yang dilakukannya saat kau pergi dari rumah?” kata Lily, kembali ke karakter lembutnya.
Lin menggeleng sambil menatap Lily dengan penuh antusias.
”Dia mencarimu ke semua tempat, menanyakan kepada teman-temanmu di Po’s Hungger, mencarimu di rumahku, mencari ke semua tanah di dunia ini dan mengerahkan pasukan agar kau di temukan, padahal kau baru hilang dua jam,” kata Lily, ada nada mengejek dalam ucapannya.
Mendadak bayangan Vickey kembali muncul, mungkin itu yang sebenarnya dilakukannya di terotoar itu, mencarinya. Tapi Lin tidak peduli, dia cukup senang mendengar ucapan Lily, tidak perlu mengubahnya jadi kemarah.
”Dan kau harus tahu, aku salah satu pasukannya,” kata Lily, seolah dia ingin menunjukkan betapa hebatnya dia dan mengingatkan kepada Lin kalau dia sudah cukup merepotkan semua orang dengan menghilang selama dua jam.
Lin tertawa mendengar pengakuan Lily. ”Aku sungguh berhutang budi kepadamu…”
”Oh, berhentilah berlagak dramatis seperti itu,” elak Lily. Mereka saling pandang sebentar lalu tertawa sekeras-kerasnya.






CHAPTER 14

Lily memutar setirnya agar berbelok ke kiri dan memasuki sebuah halaman luas sebuah tempat yang sudah dikenal Lin, Grape Hotel. Di sana telah berjajar banyak orang. Lin bisa melihat ayahnya sedang menantinya dengan penuh harap.
”Apa-apaan ini?” tanya Lin, sambil mengawasi pemandangan di depannya dengan aneh.
Lily membuang napas dengan asal, ”Entahlah, penyambutan puteri yang hilang aku rasa,” kata Lily dengan pandangan menggoda.
”Jangan membuatku bertingkah anarkis, Nona muda,” kata Lin sama-sama menggoda.
Lily mengangkat bahu sambil tersenyum.
Saat mereka telah benar-benar berhenti dan keluar dari mobil, Tuan Denissa segera berlari dan memeluk Lin. ”Syukurlah, ayah khawatir sekali,” kata Tuan Denissa, sambil menciumi kepala Lin.
Lin ingin sekali memberontak saat mengetahui Tommy, Cindy, Tina, Harry, Tuan Oktavick dan bahkan Tuan Po juga ada di sana. ”Aku minta maaf, Ayah,” kata Lin saat usaha pemberontakannya gagal. Dia merasa agak kecewa karena tidak menemukan Vickey di sana, dia tidak tahu kemana sebenarnya bocah itu.
Lin awalnya agak malu karena Tommy menyaksikan adegan itu, tapi saat Tommy memberinya senyuman, rasa malu itu mendadak hilang. Dia tidak peduli berapa lama ayahnya mau memeluknya.
Orang yang paling tidak sedap dipandang adalah Tuan Po, ada semacam ekspresi ketidaksabaran menghiasi wajahnya. Beruntung sekali karena tidak lama kemudian Tuan Denissa melepaskan Lin.
Lin menatap semua orang dengan aneh. Acara macam apa ini? Pikirnya. Aku kan tidak kabur jauh-jauh kenapa sampai melibatkan banyak orang begini, bahkan Tuan Po sampai ikut terlibat, pikirnya lagi-lagi.
”Ak-aku…” gagap Lin.
Tiba-tiba, Tina dan Cindy berlari ke arahnya dan memeluknya bersamaan. ”Ayahmu sangat khawatir kepadamu…” bisik Cindy.
”Laki-laki pujaanmu juga,” bisik Tina. Mereka terkikik dalam pelukan Lin, lalu melepaskannya. Lin tahu ini hanyalah acara iseng Cindy dan Tina karena sebenarnya mereka hanya ingin memberitahukan itu kepadanya. Berpelukan adalah cara yang jitu untuk ngerumpi.
”Baiklah, masalah sudah beres. Tidak kah kita perlu masuk dan menyeduh teh sebentar saja?” Tanya Tuan Oktavick, kelewatan ramah.
”Kami khawatir tidak bisa, Tuan, ” kata seseorang, Tuan Po. Dia mencermati jam tangannya sebagai tanda kalau dia sudah banyak membuang waktu dengan sia-sia di tempat itu. Serempak, Tina, Cindy, dan Harry menatapnya. Penggunaan kata kami sudah cukup mengindikasikan bahwa mereka tidak akan tinggal.
”Oh, aku mengerti Po. Terimakasih, tapi tidak kah kau ikut bersantai sejenak bersama kami?” desak Tuan Denissa. Lin menatap Tuan Po penuh harap. Tidak ketemu. Laki-laki itu memang tidak pernah bisa memberikan harapan yang baik bagi semua orang.
”Dengan segala hormat, Tuan, ini harus kami tolak,” jawab Tuan Po bersikeras.
Terlihat rona-rona kecewa menghiasi wajah Cindy, Tina, dan Harry. Tapi tidak ada yang bisa memaksa kehendak Tuan Po. Menurut Lin, Tuan Po saat ini juga sudah cukup baik dengan meliburkan Lin dan ayahnya, tapi tetap saja dia menyebalkan.
”Kalau begitu aku benar-benar tidak bisa memaksamu, Po,” kata Tuan Oktavick kelihatan kecewa sekali.
Tuan Po tersenyum seperlunya lalu membungkuk kepada Tuan Oktavick sebagai pertanda kalau ia akan pergi. ”Ok, anak-anak, kita kembali,” katanya, memberi perintah. ”Sampai jumpa, Tuan-tuan dan Nona-nona,” katanya, lalu ia benar-benar pergi.
Cindy, Tina, dan Harry pergi dengan sangat berat hati. ”Kapan-kapan akan kami lanjutkan,” bisik Tina saat melewati Lin, disusul oleh Cindy yang juga melakukan hal yang sama.
”Kalian tidak ketemu Vickey?” tanya Lin penuh harap.
Cindy dan Tina saling pandang. Lin sadar benar bahwa ia harus menjelaskan kepada dua sahabatnya ini. ”Dengar, kalian jangan berpikiran yang tidak-tidak…”
”Kita bicarakan besok saja,” sahut Cindy dan Tina dengan cepat sambil tersenyum. ”Jangan membuat dirimu menjadi bingung memilih, Lin,” tambah Tina, sambil mengedipkan satu matanya dengan genit.
”Apa?”
”Sudahlah, sampai ketemu,” kata Tina sebagai salam perpisahan. Mereka berdua menepuk pundak Lin lalu berlalu.
Lin menganggap ucapan dan tingkah mereka berdua agak aneh, tapi semua pikiran itu agak terabaikan saat Harry berjalan dengan enggan ke arahnya. ”Jangan merepotkan ayahmu lagi, Nak. Aku tahu kau bisa,” kata Harry saat ia berpapasan dengan Lin.
”Sampai jumpa,” katanya. Lin cuma bisa menggaguk sambil tersenyum.
Setelah Tuan Po dan rombongannya benar-benar pergi barulah mereka semua masuk. Awalnya Tuan Denissa terus merangkul Lin, seolah ia tidak ingin membiarkan puterinya lenyap lagi. Lily yang berjalan tepat di belakang mereka sedang mengatur strategi.
Lily brilian dalam hal ini, dengan tangkas ia berjalan menengahi Lin dan ayahnya. Dia merangkul tangan Tuan Denissa dengan erat, berlagak seperti merangkul ayahnya sendiri sambil mengedipkan salah satu matanya kepada Lin, ia mengajak Tuan Denissa bicara. Tuan Denissa memancarkan ekspresi keterkejutan yang biasa, dia menatap Lily dengan heran. ”Aku pikir kita harus lebih mengakrabkan hubungan persahabatan antar dua keluarga ini, kan?”
Tuan Denissa mengangguk sepenuhnya karena canggung, tapi beberapa detik kemudian dia nampak sudah bisa menguasai situasi. ”Aku setuju, Nak,” katanya. Lily menyeretnya agak ke depan sehingga ia bisa sejajar dengan Tuan Oktavick dan Lily yang berada di tengah bisa mengandeng lengan pria itu dengan nyaman.
Lily menoleh kepada Lin. Lin menatap Lily dengan aneh, dia merasa agak salah tingkah dalam menanggapi tindakan Lily. ”Aku duluan saja, ya?” tanyanya. Tapi sebelum Lin menjawabnya Lily sudah pergi duluan.
Dengan segera Tommy mengisi tempat Lily. ”Hai,” sapanya.
”Hai,” balas Lin sekali lagi merasa salah tingkah.
Keduanya diam beberapa saat, rupanya baik Lin maupun Tommy sama-sama canggungnya. Kesunyian yang berselang beberapa saat itu terjadi karena mereka berdua sedang sibuk mencari topik pembicaraan yang bagus.
”Aku pikir…”
”Menurutku…” kata mereka berdua bersamaan. Keduanya saling pandang sambil tersenyum.
”Kau duluan,” kata Tommy memutuskan.
Gigi Tommy yang runcing membuatnya manis saat tersenyum dan seketika itu juga Lin kembali mengaguminya.
Lin meremas tangannya sendiri sebelum memulai pembicaraan. ”Apa kau menggangap kejadian tadi aneh?” tanya Lin begitu saja. Sunyi sejenak, otak Lin yang kelewat usang itu kembali bekerja, bagaimana mungkin dia bisa mengeluarkan pertanyaan aneh seperti itu.
Kecanggungan Lin terasa agak berkurang saat Tommy tersenyum. ”Tidak, semua kejadian tadi menurutku keren, sangat keren,” ujarnya. Baru pertama kali ini Lin punya anggapan agak berbeda soal cowok. Menurutnya Tommy adalah cowok sopan dan ramah yang sangat tidak mungkin bisa dibandingkan dengan Vickey, Lin merasa cukup senang mengetahuinya.
”Jadi, kau pikir begitu?” tanya Lin berpuas diri.
”Ya, kau tahukan, jarang sekali ada gadis yang memutuskan melakukan tindakan sepertimu. Aku saja malah belum pernah,” kata Tommy. Seiring dengan langkah kaki mereka yang semakin masuk dalam Grape Hotel yang luar biasa megah.
Lin tersenyum. ”Kau ingin melakukanya?” tanya Lin.
Tommy terlihat girang. Dia benar-benar terlihat sangat terhormat. Berwibawa. Begitu pandangan Lin berkata.
”Ya, tentu saja. Aku akan melakukannya,” kata Tommy pelan.
Lin mengamatinya dengan benar, entah kenapa dia merasa tidak begitu puas melihat ekspresi selembek itu. Tiba-tiba pikirannya beralih kepada Vickey, karena dia yakin ekspresi Vickey akan sangat berbeda dengan ekspresi orang di depannya ini yang begitu kalem.
Mendadak Lin merasakan tangan Tommy menyelubungi jemarinya. Dia menarik Lin untuk berhenti, ”Aku menyukaimu, Lin,” kata Tommy.
Suara dalam kepala Lin sirna begitu saja, Lin menatapnya tanpa memberi jawaban. Tommy membungkuk seperti ingin menciumnya, tapi rupanya dia hanya ingin mengecup kening Lin. Lin diam tak berdaya untuk bicara, dan tatapannya kini sepenuhnya tertuju pada Tommy, walaupun bayangan Vickey kembali mengusiknya.


CHAPTER 15

Lin tidur terlampau nyenyak malam itu dan paginya saat telepon di samping ranjangnya berdering dengan nyaring, Lin mengutuki siapapun orang yang bangun terlampau pagi dan meneleponya pagi itu.
Dengan enggan Lin mengambil gagang telepon. Matanya masih tertutup tapi bibirnya mulai bicara. ”Hei siapa kau?” tanyanya setengah ngelantur.
”Oh, cepatlah bangun! Kami ada di bawah,” kata suara gadis yang menelepon Lin, Cindy.
Rasa kantuk Lin mendadak sirna, dengan cepat ia bangkit dari kasurnya dan merapikan dirinya; menggosok gigi, cuci muka dan ganti baju. Sesudahnya ia berlari menuruni tangga dengan cepat dan sudah mendapati Cindy, Tina dan ayahnya sedang sibuk di dapur.
”Kalian datang kemari sepagi ini… jangan bilang Tuan Po memberi hari libur untuk kita?” tanya Lin. Ada kesan berharap terdampar dalam suaranya.
Mereka semua menatapnya. ”Kau pikir hanya kau dan ayahmu saja yang bisa libur!” tuntut Cindy. Mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing.
”Tuan Po memberi liburan untuk kita sebagai ganti acara minum teh kemarin…” kata Tina. Lin mengerti apa yang sedang dipikirkan tiap orang.
”Aku rasa Tuan Po tidak selalu mengecewakan,” kata Tuan Denissa. Dia memberi lirikan kilat kepada Lin. Lin tersenyum seperlunya.
Cindy melengos menatap Tuan Denissa dengan ekspresi tidak puas ia berkata, ”Aku tidak bisa sependapat denganmu, Paman,” Tuan Denissa mengerutkan keningnya. Cindy melanjutkan, ”Tahu kan bahwa kebanyakan tindakan Tuan Po memang mengecewakan! Yang ini hanya sebagian kecil saja yang hanya sekali seumur hidupnya muncul,” ejek Cindy.
Tuan Denissa tertawa. ”Hentikan, Cin,” tegur Tina.
”Ya aku akan berhenti kalau kau setuju denganku…” tantang Cindy.
Tina merengut, tidak ingin mengatakan apa-apa. Tatapannya kini menuju Tuan Denissa yang belum juga bisa mengontrol tawanya. ”Ok… aku tahu kalian bisa meninggalkan pekerjaan ini dan bergegaslah naik…” kata Tuan Denissa mencoba berkata apa yang seharusnya ia katakan sejak tadi.
Tina, Lin dan Cindy ber-yeah secara serempak dan berlari menuju tangga. Saat mereka telah berada di dalam kamar Lin, dengan segera Cindy melepas jaket hitamnya sementara Tina menutup pintunya.
”Kalian ingin membicarakan sebuah rahasia, ya?” tanya Lin, begitu melihat pintu kamar ditutup.
”Bisa iya, bisa tidak! Itu tidak penting, karena kami kemari bukan untuk membahas masalah rahasia atau tidak…”
”Ok, baiklah! Jadi, bisik-bisik kalian kemarin harus kalian ungkapkan saat ini juga…” tuntut Lin. Dua temannya duduk di ranjang sambil menghembuskan napas.
Tina dan Cindy saling pandang beberapa saat seolah sedang memutuskan siapa yang bicara duluan, dan Tina yang melakukannya. ”Lin, apakah kau menyadari bahwa kadang-kadang ada orang-orang tedekat yang sebenarnya menyayangimu?” tanya Tina selembut mungkin.
Lin menatap mata Tina, dia duduk dengan perlahan di kursi pastik berwarna merah di dekat komputernya. ”Kalian sedang membicarakan apa?” tanya Lin curiga.
”Tidak, kami hanya ingin mengetes sifat kepekaanmu saja,” kata Tina, kata kepekaan yang diucapkan dengan terlalu menekan membuat Lin sadar bahwa dua temannya sedang mengadakan sesi penyindiran kepada dirinya.
”Baiklah, buang basa-basi kalian dan katakan apa poinnya kepadaku…” tuntut Lin tidak sabar.
Tina mendengus, ”Dengar, ini bukan masalah basa-basi atau bukan, tapi ini masalah per…” ucapan Tina terpotong saat Tuan Denissa mendadak membuka pintu kamar Lin. Semua orang menatapnya dengan pandangan menyalahkan.
”Maaf mengganggu diskusi kalian, tapi aku hanya ingin mengatakan kalau aku ada urusan di luar sebentar…” katanya salah tingkah.
”Ayah mau keluar?” tanya Lin.
Tuan Denissa cukup senang mendengar pertanyaan puterinya, dengan wajah yang berubah menjadi cerah ia menjawab. ”Iya, hanya sebentar. Baik-baiklah di rumah,” kata Tuan Denissa, sambil menutup pintu kamar dengan mundur.
”Ok, hati-hati!” teriak Lin dari balik ruangan.
Mendadak pintu kamar kembali terjeplak dan kepala Tuan Denissa muncul dengan susah payah, ”Jangan meninggalkan rumah! Ini penting!” katanya.
Lin menatapnya dengan kaget. ”Ayah!” teriaknya.
”Maaf, sampai jumpa!” katanya, lalu ia kembali menutup pintu. Ketiga orang yang berada di dalam kamar saling pandang untuk sesaat lalu mereka tertawa.
”Ayahmu memang aneh!” teriak Cindy begitu saja.
Lin dan Tina masih tertawa dengan nyaring. ”Aku tidak tahu dia itu aneh atau tidak, entahlah dia sangat penting bagiku saat ini,” ceplos Lin, tawanya surut secara perlahan begitu juga dengan kedua temannya.
Tina dan Cindy kembali saling tatap. ”Apa?” tanya Lin meminta penjelasan atas tindakan mereka.
”Kau tahu kan, Lin, kalau ayahmu sangat menyanyagimu?” tanya Tina serius.
Lin memandang keduanya dalam diam, ”Jadi, kalian ingin membicarakan ayahku?” tanya Lin penuh kecurigaan.
”Tidak,” jawab Tina dan Cindy nyaris bersamaan. Keduanya memampangkan wajah serius yang teramat serius. ”Kalian baik-baik saja, kan? Katakan sesuatu!” teriak Lin, saat tak seorangpun bicara.
”Kami cuma berpikir bahwa…” kata Cindy sambil menatap Tina dengan isyarat ragu.
”Bahwa?” dekte Lin tidak sabar.
”Bahwa kami ingin membicarakan orang kedua setelah ayahmu yang sangat menyayangimu,” kata Tina melanjutkan.
T-shirt Lin kembang kempis mengikuti napasnya yang kuat, dia masih belum bisa menangkap kemana arah pembicaraan dua temannya ini. ”Apa maksud kalian?” tanyanya.
Tina mengirup napas dalam-dalam, ”Kau tahu, kadang seseorang bisa saja berubah… dan kami senang dengan perubahanmu yang positif, misalnya masalah Lily…”
Lin tidak sabar lagi jika harus menunggu dua temannya yang terlalu bertele-tele itu, dia merengut sambil memotong ucapan Tina, ”Kalian mau bilang bahwa aku sudah agak berubah dan akan melupakan kalian karena sekarang aku dekat dengan Lily, begitu?” tuntut Lin, dalam suaranya ia mencoba tenang tapi gagal.
”Bukan! Bukan itu maksud kami, kami hanya ingin memberi contoh perubahan-perubahan yang mendasar. Dan soal Lily bukanlah hal buruk karena Lily juga baik kepada kami sekarang,” jawab Tina segera.
Napas Lin mulai teratur tapi tatapannya masih sama tajamnya dengan tadi. ”Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin kalian bicarakan? Awalnya kalian menyinggung-nyinggung ayahku, lalu Lily, lalu apa lagi?” tuntut Lin.
Cindy angkat bicara, ”Vickey!” jawab Cindy setengah tertatih.
Lin membeku sebentar, mencoba menggabung-gabungkan ucapan temannya dengan Vickey. ”Maksud kalian…?” tanya Lin.
”Ya, Lin, dia menyukaimu!” kata Tina segera.
Denyut jantung Lin berpacu seolah ia sedang berada di atas pentas dan disaksikan oleh ribuan orang dari seluruh penjuru dunia, rasa gugup memenuhi kepalanya dan keringat dingin keluar tanpa permisi. ”Tidak mungkin!” elak Lin mencoba meyakinkan dirinya bahwa dua temannya sedang teler dan bicaranya ngawur.
”Apanya yang tidak mungkin!” kata Cindy berapi-api. ”Dia sudah lama menyukaimu!” tambah Cindy.
Diam sejenak, Lin mencoba meluruskan pikirannya dan mendapatkan apa yang bisa disebutnya rasional! Lin berkancak pinggang sambil menghadapi Tina dan Cindy dengan gaya sok tegar. ”Aku rasa kalian hanya menggodaku! Ayolah dia bahkan tidak pernah ramah kepadaku, setiap hari dia cuma bisa…”
”Berteriak-teriak di depanmu! Dia tidak bisa mengontrol ucapannya saat bertemu denganmu! Kemarin dia sudah cerita semuanya kepada kami,” sahut Tina cepat. Sorot mata Lin kini tertuju kepada Tina yang berbicara tanpa beban.
”Dia cerita semuanya kepada kalian…?” tanya Lin.
”Yup! Semuanya. Lengkap dan mendetail!” jawab Cindy.
Sunyi untuk beberapa saat, masing-masing orang sedang mencari apa yang sebenarnya perlu diucapkan dan apa yang tidak, dan Lin memutuskan untuk perlu mengucapkan ini, ”Ini gila! Aku tidak percaya…” dalam nadanya yang sinis tersimpan beberapa ekspresi yang ganjil.
”Percayalah. Apa kau juga menyukainya?” tanya Tina tiba-tiba.
Lin mengelak tatapan mata Tina, tapi buru-buru Cindy membuat tatapan Lin beralih kepadanya. ”Entahlah…”
”Lin, aku serius! apa kau menyukainya juga?” tanya Tina mendesak.
Lin menggigit bibirnya sendiri karena tidak bisa menjawab pertanyaan Tina dan Cindy. ”Aku tidak begitu mengerti, hanya saja akhir-akhir ini…” Lin menadadak tak bersuara sementara dua temannya menanti-nanti jawabannya. Dia menatap mata Tina dan Cindy yang kini terlihat semakin tak percaya.
”Dia terus berada di pikiranmu…?” sahut Cindy. Lin tidak menjawab, tapi dua temannya mengerti apa maksud Lin dan mereka tersenyum.
”Saat ini dia membuatku muak!” kata Lin berapi-api. ”Aku tidak tahu darimana datangnya semua itu! Aku hanya tidak begitu memahaminya! Lagipula aku bingung jika harus memilih!”
Tina saling pandang dengan Cindy dan dengan cekatan mereka merangkul pundak Lin, ”Saat ini mungkin itu yang terjadi, kau hanya perlu memantapkan segalanya untuk memilih, si sopan Tommy atau si urakan Vickey? Kau hanya perlu menunggunya, kan?” tanya Tina.
Lin tidak menjawab, tidak ada ekspresi malu, senang atau sedih hanya ada ekspresi marah yang tersirat dengan jelas di wajah Lin. ”Entahlah ak…”
Ucapan Lin mendadak terpotong saat seseorang di bawah sana membunyikan klakson mobil dengan kasar. ”Sial!” umpat Tina.
Lin dan yang lainnya berlari ke arah jendela dan mendapati ayahnya berada dalam sebuah mobil sedan merah tua yang tidak begitu jelek tapi juga tidak begitu mewah. Tuan Denissa menekani klakson sambil melambai ke atas, ke arah Lin. ”Turunlah!” teriaknya.
”Ayahmu benar-benar punya kejutan untukmu,” kata Tina dramatis.
Lin tidak begitu mempedulikan ucapan Tina, mereka berlari keluar kamar menuju ke halaman depan.
”Bagaimana, Lin?” tanya Tuan Denissa, sambil menengadahkan lengannya menyambut sedan merah yang baru didapatnya itu.
”Ayah benar-benar membelinya?” tanya Lin tidak percaya.
Tuan Denissa tersenyum, ”Aku sudah pernah bilang bahwa terkadang seseorang punya jatah yang sengaja belum diambil, dan ayah mengambilnya dari Tuan Oktavick…” kata Tuan Denissa.
”Tuan Oktavick?” tanya Lin.
”Ayah masih menyimpan sisa gaji ayah. Nah, Lin kau harus mencobanya…” kata Tuan Denissa penuh kebanggaan. Lin menatap ayahnya ingin meminta perhatian, Tuan Lin segera ingat.
”Oh tentu saja. Ayah tahu masalahmu makanya ayah membawakan dua orang guru menyetir, kau hanya perlu memilih salah satunya saja,” kata Tuan Denissa. Tiba-tiba dua orang anak laki-laki yang sudah sangat dikenal Lin muncul dari samping rumah, Vickey dan Tommy.
Baik Lin maupun dua orang lainnya sama-sama terkejut dan bungkam.
Lin membuka mulutnya tapi tidak mengeluarkan suara. Keterkujutannya yang mendalam membuatnya gugup. Tommy yang begitu kalem melambaikan tangannya sambil tersenyum kepadanya, sementara Vickey yang urakan menatap Lin dengan sinis dan kurang bersimpati.
”Nah, tentukan sekarang…” kata Tuan Denissa.



















CHAPTER 16
Lin mengerti bahwa ayahnya tidak sedang bermain-main saat ini. Dengan gugup dia menatap ayahnya yang terlihat santai tapi pasti itu. ”Tentukan lah, Nak,” kata Tuan Denissa sabar.
”Aku…”
”Kau harus, Lin!” teriak Tina tiba-tiba ikut berlagak seperti ayahnya.
Lin menatap Vickey dan Tommy secara bergantian, keduanya juga terlihat tidak sabar. ”Aku tidak tahu…”
”Sudahlah! Apanya yang kau tidak tahu! Kau terlalu lama!” teriak Vickey tiba-tiba. Kembali tatapan-tatapan sengit di antara mereka berdua muncul.
”Apa kau bilang? Jadi menurutmu aku terlalu lambat dalam berpikir, begitu!” tanya Lin tidak percaya. Dia menatap Vickey dengan marah, ingin sekali mencekik atau apapun itu yang bisa menyakitinya. ”Baik! Aku tidak akan berlama-lama memilih! Karena aku tidak akan memilihmu! Ayo, Tom!” teriak Lin, sambil menggandeng lengan Tommy. Tommy terlihat bingung tapi toh dia menurut.
”Aku sudah menduga kau akan memilihnya!” teriak Vickey saat Tommy membukakan pintu untuk Lin.
”Yah! Dan lebih baik kau tidak lagi berada di sini! Dasar cowok bertemperamen buruk!” teriak Lin penuh kemarahan.
”Apa! Dasar cewek menyedihkan dan membosankan!” balas Vickey.
Lin mulai merasakan kemarahan yang begitu memuncak di atas kepalanya, ”Brengsek!” umpatnya, dia nyaris turun dari mobil untuk mengadakan perhitungan tersendiri dengan Vickey, tapi buru-buru Tommy menghalanginya. Dia menatap Lin dengan tatapan yang menyejukkan, sulit untuk tidak menurut jika kau berada di posisi Lin, ”Tenangkan dirimu dulu,” kata Tommy. Saat ini Tommy yang mengendarai mobil dia tahu betul suasana hati Lin sedang tidak bagus.
Saat mobil telah bergulir perlahan Tuan Denissa melambaikan tangannya, begitu juga dua orang sahabatnya. Ekspresi Vickey tidak jauh berbeda dengan ekspresi sebelumnya yang masih mempertahankan sikap sengit dan menyebalkannya itu.
Saat perlahan mereka mulai menjauh, Lin memandang spion mobil dan menatap wajah merana Vickey yang semakin mengecil. Tanpa sepengetahuan Lin, Tommy mengawasinya. ”Kau sangat membencinya, ya?” tanya Tommy.
Lin tersentak, dia beralih menatap Tommy. ”Apa?” tanya Lin.
”Sudahlah, untuk awal pelajaran menyetir ini… aku yang bawa, mengerti muridku!” kata Tommy.
Lin tersenyum dan menyadari untuk yang beratus kalinya bahwa Tommy memang cowok keren.
”Kita akan kemana?” tanya Lin mencoba terlihat antusias dengan ajakan Tommy.
”Ke suatu tempat, kau akan menyukainya…” kata Tommy dengan mata berkilat penuh kejutan.
Dan akhirnya mereka benar-benar sampai di suatu tempat yang nyatanya cukup asing bagi Lin. Di sebuah lapangan hijau dengan sebuah pohon besar di tengahnya. Mereka turun dari mobil dan Tommy buru-buru mengandengnya, mengajaknya ke pohon besar tersebut. Mereka duduk di bawah pohon besar itu, cuaca yang panas mendadak tidak terasa lagi.
”Bagaimana?” tanya Tommy.
Lin mengamati sekelilingnya dan tak bisa menutupi kalau dia memang menyukai tempat itu. ”Aku tidak pernah tahu kalau ada tempat seperti ini di dunia ini,” kata Lin.
Tommy menatapnya, ”Ibuku yang pertama mengajakku kemari. Bisa dibilang kalau aku ingin kabur aku hanya bisa kemari…” kata Tommy.
”Kau bilang kau tidak pernah kabur, kan?” tanya Lin.
Tommy terlihat menerawang, ”Ya, memang tidak pernah… dan aku meragukan tawaranmu waktu itu,” kata Tommy. Dia menunduk saat larut dalam suara merananya.
Lin tersentak mendengar ucapan Tommy. ”Apa maksudmu?” tanya Lin mencoba membuat suaranya terdengar tidak bergetar.
Tommy menghembuskan napasnya dalam-dalam. ”Aku tahu kau tidak menyukaiku…” kata Tommy. Otak Lin serasa pecah menjadi jutaan keping, mimpi atau bukan saat ini sulit dibedakan.
Lin diam saja, hanya itu yang bisa menjelaskan semuanya saat ini. ”Kenapa kau tidak mengatakan semuanya kepadanya?” tanya Tommy.
Lin terlihat cemas dengan pertanyaan Tommy. ”Mungkin kau dulu hanya menyukaiku, tapi kau tidak menyayangiku…” Tommy menggengam tangan Lin. ”Kau tidak perlu menunggunya karena kau bisa mengatakan kepadanya terlebih dahulu,” tambah Tommy.
”Tapi, dia…”
”Itu bagian dari caranya untuk mengatakan bahwa dia menyayangimu. Aku antar kau menemuinya, kau bisa menonjoknya jika kau mau…” kata Tommy. Lin tersenyum mendengarnya.
”Dan kau...?” tanya Lin.
”Biarkan aku menyukaimu secara sembunyi-sembunyi seperti yang pernah kau lakukan waktu itu,” kata Tommy dengan tenang.
Mendadak Lin berurai airmata, dan dia mencium kening Tommy.

Lima belas menit berikutnya Lin sudah berada di depan rumah Vickey. Sebelum keluar Lin sempat melihat ceceran tempat kaset di dasbor mobil dan Lin mengambil satu. ”Kalau ingin membuat dia sakit bawa batu saja,” celoteh Tommy.
”Dia akan merasa cukup payah dengan ini saja,” kata Lin, sambil melangkah keluar.
”Aku tunggu di sini, semoga berhasil,” kata Tommy. Lin tersenyum.
Dia bergegas menutup pintu dan sebelum terlalu jauh melangkah ia menoleh lagi kepada Tommy yang tersenyum hangat dalam mobil. Maka Lin mempercepat langkahnya dan segera mengetuk pintu rumah, tanpa banyak bicara Nyonya Juin mempersilakannya langsung masuk ke taman.
Di sana Lin melihat Vickey yang sibuk dengan bunga-bunga ibunya. Saat mendengar hentakan kaki Lin yang berhenti tidak jauh darinya, Vickey mendongak menatapnya lalu berdiri.
Sebelum Vickey membuka mulut dengan segera Lin melemparkan tempat kaset ke arahnya, dan tepat mengenai dahinya. ”Itu untukmu!” cemooh Lin.
Vickey tidak juga buka mulut, dia hanya mengosok-gosok dahinya menahan rasa sakit. ”Menurutmu, aku ini harus bersikap bagaimana denganmu! Kau terlihat seperti pecundang! Kau tidak ingin mengatakan apa yang sebenarnya ingin kau katakan!” teriak Lin bertubi-tubi. Vickey tidak juga angkat bicara, tangan di dahinya telah diturunkan dan darah segar keluar dari sana.
Lin merasa bersalah, tapi ia ingin membuat rasa bersalahnya tidak terlihat. ”Aku senang melihatmu berdarah! Kau memang harus mendapatkannya…” kata Lin seenaknya.
Vickey terus melangkah mendekatinya, wajah marah dan benci yang tertanam di muka Vickey semakin ketara. Lin mundur selangkah memastikan bahwa ia tetap menjaga jarak.
”Kau mau membalasku! Aku tahu kau akan melakukannya karena kau…” suara Lin mendadak lenyap, saat Vickey menangkap tengkuknya dan mendadak menciumnya.
Lin nyaris terhuyung, tapi Vickey menangkap pinggangnya. Lin membelalakkan mata, merasakan bibir seseorang menempel dengan sempurna di bibirnya. Dan saat ia membuka mulutnya, ribuan kecupan mengalir begitu saja. Tidak ada lagi yang bisa dipikirkannya karena mendadak aliran darah ke otaknya pun berhenti dan jantungnya seperti kaku tak berdetak.
Setelah Vickey melepaskannya, barulah ia menyadari bahwa darah di dahi Vickey juga membasahi dahinya sendiri. Vickey menghapus darah itu dan menatap Lin. Lin menggeleng tidak percaya, ”Aku…” gagap Lin.
”Aku menyayangimu, Lin!” kata Vickey jelas sejelas-jelasnya.
Lin mengamati wajah Vickey, dia terlalu bingung ingin mengatakan apa. Tapi Vickey cukup tahu apa yang harus ia katakan. ”Maaf membuatmu menunggu, selama ini aku ingin mengatakan semuanya kepadamu, tapi aku tidak tahu kenapa aku selalu membuatmu marah…” kata Vickey, tatapan matanya tidak pernah beralih dari mata Lin.
”Mungkin kau benar aku pecundang…”
”Tidak!” cegah Lin cepat. ”Kau bukan pecundang. Aku harusnya tidak mengatakan itu,” Lin menatap luka sobekan di dahi Vickey.
Vickey menyambutnya dengan muka masam, ”Iya, dan ini sakit, tahu! Kau harus bertanggung jawab!” kata Vickey mendadak jadi terlihat tidak serius dan agak menyebalkan.
”Apa? Baiklah akan aku sembuhkan! Aku punya cara yang jitu untuk luka sialanmu itu!” balas Lin.
Lima menit kemudian Lin sudah memegang sebuah kapas dan plester, sementara Vickey duduk di depannya.
”Aduh, pelan-pelan! Kau tidak bisa lebih halus sedikit ya?” erang Vickey. Lin memang tidak berniat bersikap terlalu halus kepada Vickey.
”Kau sendiri juga tidak bisa bersikap halus!” balas Lin.
Keduanya diam, tapi Vickey menyimpan umpatan di otaknya. Entah apa yang dipikirkannya ia menangkap tangan Lin yang ada di dahinya dan menurunkannya ke bibirnya.
”Baiklah, rupanya aku harus melakukan ini…” katanya, lalu ia mencium tangan Lin.
Lin tersenyum penuh kemenangan. ”Nona Linda yang tersayang, bisa lebih halus sedikit?” tanya Vickey. Lin pura-pura tidak tertarik. Dengan segera ia menempelkan telapak tangannya di wajah Vickey dan mencium keningnya. ”Semoga cepat sembuh, Tuan Vickey yang menyedihkan,” kata Lin, sambil bengkit berdiri.
”Kau mau kemana?” tanya Vickey ikut bangkit.
”Pulang,” jawab Lin seperlunya.
”Aku yang antar,” kata Vickey cepat.
Lin nyaris lupa dengan satu ini, dia mendekati Vickey untuk memastikan bahwa penjelasannya tidak akan menyimpang dari proses penerimaan Vickey. ”Tommy yang akan mengantarku,” kata Lin tenang.
Tepat seperti dugaan Lin, wajah Vickey berubah menjadi gelap dan terlihat gusar, ”Apa?” tuntutnya.
Lin menjelaskan segalanya, dimulai dari semua hal yang dikatakan oleh Tommy di bawah pohon besar itu. Lin cukup senang karena Vickey kini terlihat lebih damai. ”Tommy yang menasehatiku untuk melakukan semua ini, percayalah,” kata Lin.













CHAPTER 17
Keesokan harinya berita hubungan khusus antara Lin dan Vickey menyebar sama cepatnya dengan sebuah virus di Po’s Hungger, bahkan Lily sengaja mengadakan jadwal khusus untuk menemui Lin, jauh dari pasangan telinga setiap orang.
”Aku tidak percaya kau melakukan ini!” tanya Lily dengan marah.
”Aku bisa menjelaskannya, Li…”
”Yah! Kau harus menjelaskannya setelah kau sudah membuatku bersusah payah mendekatkanmu dengan Tom!” oceh Lily. Lin terlihat bingung harus mengatakan apa. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya menggeleng dan berdecak dengan kesal.
”Kau jangan konyol seperti itu!” teriak Lily, sambil menatap Lin dengan sinis.
Lin membuka mulutnya ingin membela diri tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Lily masih menatapnya dengan sinis, dia berkancak pinggang kemudian kembali berbicara, ”Kau sudah tahu kan kalau saat ini Tommy sudah benar-benar menyukaimu!” kata Lily sedikit meledak-ledak.
Lin menelan ludahnya mencoba bicara dan berhasil, ”Aku benar-benar minta maaf Li! Ayolah Tommy baik-baik saja!” kata Lin. Lily mendapat kesan bahwa Lin sengaja berkata demikian untuk menyindirnya, yang bersangkutan saja tidak marah kenapa kau harus sewot! Begitu kira-kira.
Lily kini bungkam, mempertahankan tatapan sinisnya lalu mendadak tertawa dan memeluk Lin. ”Jangan gila! Kau tidak salah sedikitpun karena melakukan ini, selamat!” katanya, lalu ia melepaskan pelukan eratnya dari Lin.
Lin tersenyum walaupun dalam hatinya dia sangat jengkel. ”Sial! Kau nyaris membuatku putus asa harus bilang apa lagi!” kata Lin.
”Maaf, ini hanya lelucon. Aku senang kau memilih menurut kata hatimu,” katanya.
Lin mengangkat salah satu alisnya berjaga-jaga kalau Lily mendadak akan mengamuk lagi dan ngomel seperti burung beo sinting! ”Kenapa kau menatapku begitu?” tanya Lily menyadari makna tatapan Lin.
”Hmm… senang saja kau mengatakan kata hati…”
”Ya, dan ngomong-ngomong soal kata hati, mau kah kau mengomentari hasil masakan paman menurut kata hatimu?” tanya Tuan Denissa yang mendadak saja muncul.
Mereka berdua menoleh menatap Tuan Denissa dengan heran. Dua detik kemudian Lily tersenyum dengan senang. ”Wuu… aku dapat undangan,” celoteh Lily, lalu ia pergi ke arah Tuan Denissa.
Tuan Denissa tidak mengatakan apa-apa kepada Lin, dia hanya meninggalkan kedipan mata sebagai tanda kesuksesannya.

Saat pulang dari Po’s Hungger, Vickey yang mengantar Lin pulang, saat ini Tuan Denissa sedang sibuk dan pergi entah kemana. Tapi kalau mau mengingat dengan benar Lin pasti sudah tahu kalau sebentar lagi hari pemecatan Tuan Denissa akan segera tiba dan saat ini mungkin ia sedang sibuk mencari pekerjaan lain.
Vickey menggayuh sepeda gunungnya sementara Lin duduk di gawang sepeda itu. ”Baik, jadi kau sudah memutuskan siapa guru menyetirmu berikutnya?” tanya Vickey. Lin mendongak menatap wajah Vickey, hembusan napasnya terasa jelas menerpa wajah Lin.
”Aku tidak akan memilihmu…” jawab Lin asal saja.
”Ya, aku tahu kau pikir aku cuma bisa menggayuh sepeda seperti sekarang ini, kan?” tuntut Vickey. Sayangnya Lin tidak bisa melihat ekspresi muka Vickey yang entah saat itu bagaimana.
”Tepat sekali!” sahut Lin cepat.
Vickey melirik puncak kepala Lin dengan sinis. ”Makanya waktu itu kau memilih Tommy, iya kan?” tanya Vickey.
Lin berdecak dengan jengkel sambil mengerucutkan bibirnya. ”Kau mau berdebat denganku soal Tommy, ya!” tantang Lin.
Vickey mencibir, jelas sekali ia berusaha mengendalikan diri. ”Tidak!” jawabnya terpaksa. Diam-diam Lin tersenyum. Membayangkan tampang Vickey yang saat ini sedang merana.
”Kalau aku bilang aku akan memilih ayahku bagaimana? Kau juga akan sewot seperti ini!” ejek Lin.
Tiba-tiba tawa nyaring seseorang terdengar dari atas kepala Lin. Dia mencium kepala Lin agak lama, beruntung waktu itu jalanan sepi, kalau tidak pasti beberapa menit berikutnya mereka akan terbaring di rumah sakit dengan luka-luka tidak tahu diuntung menempel di sekujur tubuh mereka. Kesalahan Vickey, itu menurut Lin. ”Aku senang dengan keputusanmu, sangat bijaksana!” ujar Vickey, setengah membuat suaranya tidak terdengar sedang memuji.
Bayangan tentang luka-luka memar di tubuhnya lenyap saat ada gagasan lain yang mendesak di kepalanya. ”Aku kadang heran dengan ayahku… awalnya aku tidak menyangka dia akan begitu menyenangkan. Kenapa ya dulu aku berpikir konyol seperti itu…” kata Lin, setengah restoristik. Ini pertama kalinya dia buka mulut soal ayahnya kepada Vickey.
”Aku juga begitu,” ujar Vickey. Lin mendongak dan mendapati Vickey juga menatapnya.
Lin tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Vickey, pokoknya selama dua kali berkunjung ke rumahnya dia tidak pernah mendapati Tuan Juin.
”Akhir-akhir ini orang tuaku sering sekali bertengkar,” kenang Vickey pahit. Lin tersentak dan mendadak menyuruh Vickey menghentikan sepedanya. Dia melompat dari gawangan itu dan menatap Vickey setengah iba.
Tampang Shia LaBeouf yang jauh tertanam di wajah Vickey kembali tampak. Lin menyentuh dua sisi wajah Vickey dengan tangan gemetar. ”Vick, aku tahu bagaimana rasanya, ibu dan ayahku dulu juga begitu. Kau tahu kan akhirnya aku sangat membenci ayahku, mungkin itu normal ini hanya masalah perbedaan pendapat dimana kau menganggap orang-orang dalam film Yamakashi adalah orang-orang keren, sedangkan ayahmu menganggap mereka orang kurang kerjaan, butuh waktu memang,” kata Lin. Kata-katanya meluncur sama lancarnya dengan air yang mengalir. Lin sendiri mungkin akan terkesan jika mendengar ucapannya barusan.
Vickey tersenyum, menyentuh tangan Lin dan memandanganya dengan teduh. ”Kau wanita kedua yang membuatku bahagia berada di dunia ini…” kata Vickey.
Entah kenapa bukannya tersenyum dengan cucuran airmata karena terharu, Lin malah tertawa. ”Kau tidak pantas bicara begitu lembut!” katanya sambil memaksa tawanya untuk berhenti, dua tangan di wajah Vickey merosot tanpa diminta.
Vickey merengut. ”Kau memang tidak bisa mengerti situasi!” balas Vickey marah. Dia meninggalkan Lin yang masih setengah tertawa. Menyeret sepedanya menjauh dan kemudian mendadak memundurkan dirinya dan sepedanya lagi sambil menangkap tangan Lin untuk bisa digenggamnya.
”Ayo jalan!” katanya.
Tadinya Lin mengira mereka akan menikung ke kiri, tapi secara mendadak Vickey meyeretnya ke arah yang berlawanan. Menyadari arti tatapan Lin, Vickey bertingkah sok tidak peduli.
”Kau jangan pura-pura! kita akan kemana?” tanya Lin, tidak bisa menyembunyikan suaranya yang terdengar begitu menantang.
Vickey mengangkat bahu, tidak memberikan jawaban seperti yang diminta oleh Lin. Lin menyipitkan matanya, berpikir dan akhirnya menemukan jawaban. ”Kenapa tidak bilang kalau mau ke rumahmu?” tuntut Lin. Dalam kepalanya sedang mengumpat ketidakadilan Vickey, setidaknya kalau diberitahu, Lin pasti akan memakai pakaian yang lebih sesuai daripada yang dipakainya sekarang.
Lima menit kemudian mereka sudah berada di depan rumah besar seperti yang sudah pernah diketahui oleh Lin. ”Mau apa kau mengajakku kemari?” tanya Lin.
”Sebentar saja, aku cuma ingin memperlihatkan sesuatu,” ujar Vickey dengan salah satu tangan menyeret Lin dengan cepat.
”Sesuatu?” tanya Lin, saat Vickey memutar handle pintu dan membuat pintunya terjeplak.
”Ya, ses...”
Kata-kata Vickey lenyap saat suara terikan dari seorang wanita dan seorang pria dari dalam rumah itu saling berkumandang.
”...APA! MENURUTMU SEMUA INI KESALAHANKU!” tuntut Nyonya Juin kepada laki-laki di depannya. Wajah Nyonya Juin tampak merah padam, belum pernah Lin melihat wajah ramah Nyonya Juin menjadi seperti itu.
”YA! KAU TIDAK BISA MENGURUSI KELUARGAMU SENDIRI! KAU TIDAK MEMPERHATIKAN VICKEY...” balas laki-laki yang sudah jelas bisa ditebak siapa dia, Tuan Juin, ayah Vickey! Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiran mereka berdua, Vickey masih tercengang tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun karena namanya dibawa-bawa dalam pertengkaran hebat itu.
”SEKARANG TANYA DIRIMU SENDIRI! APA KAU JAUH LEBIH BAIK DARI PADA AKU! KAU HANYA MENGURUSI DIRIMU SENDIRI! MENINGGALKAN ANAK DAN ISTRIMU....”
”SUDAH! HENTIKAN! KAU TIDAK MENYADARI BETAPA SULITNYA AKU MENDAPATKAN UANG DI LUAR SANA...”
”OH YA?AKU TIDAK MELIHAT HASIL YANG KAU BANGGA-BANGGAKAN ITU! KARENA KAU MEMBAGIKAN SEMUA HARTAMU KEPADA WANITA SIMPANAN IDIOTMU IT....”
Teriakan Nyonya Juin mendadak berhenti saat tangan Tuan Juin melayang ke pipinya. Vickey tampak hilang kesabaran dengan cepat ia mendatangi ayahnya dan mencengkram kerah bajunya.
”Jangan pernah memukul ibuku!” ancam Vickey. Beberapa detik kemudian Vickey benar-benar kehilangan akal sehatnya, ia menonjoki wajah ayahnya yang meronta-ronta.
Lin dan Nyonya Juin tampak panik. Mereka berusaha memegangi tubuh Vickey yang terus memaksa untuk dilepaskan.
”VICKEY! HENTIKAN!” teriak Lin putus asa saat melihat darah muncrat dari pipi dan bibir Tuan Juin.
Vickey tidak menggubris! Lin dengan segera memeluk tubuh Tuan Juin yang terkapar di lantai, menghalangi pukulan Vickey yang jatuh bertubi-tubi. Vickey hampir melemparkan tinjunya lagi sebelum Lin angkat bicara, ”VICKEY CUKUP! HENTIKAN! KAU JAUH LEBIH DEWASA DARIPADA AKU SAAT MENGALAMI HAL INI!” teriak Lin putus asa. Vickey tampak menyadari arti teriakan Lin. Dengan perlahan Vickey menurunkan tinjunya, menatap Lin dengan rasa bersalah dan bangkit berdiri.
Lin ikut bangkit sambil membantu Tuan Juin duduk di sofa, Nyonya Juin membantunya. Napasnya terengah-engah tapi tatapan matanya cukup berbahaya.
Lin kembali mendapatkan tatatap Vickey. ”Aku masih berusia enam tahun saat itu. Bayangkan apa yang dipikirkan anak semuda itu saat melihat kedua orang tuanya saling teriak! Aku berpikir jika aku lebih dewasa tentu aku akan mencoba mendamaikan mereka! Menjadi penengah!” Lin bicara dengan bibir bergetar karena airmatanya juga ikut meluncur perlahan di pipinya.
Vickey masih bungkam, semua pandangan kini tertuju ke arahnya, seolah semua meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Lin berpaling dan mendapati Nyonya Juin sedang menangis terseduh-seduh.
”Sudahlah, Tante. Akan aku carikan obat,” kata Lin, sambil menepuk bahu Nyonya Juin dengan lembut. Dia berlari ke dalam rumah seolah sudah memiliki rumah ini cukup lama. Beberapa menit kemudian Lin sudah membawa baskom penuh air es dan obat untuk luka.
Vickey belum beralih dari tempatnya. Dia menatap Lin penuh penyesalan. Tuan Juin yang tepat berada di tengah-tengah Lin dan Nyonya Juin mengerang kesakitan saat Nyonya Juin membersihkan luka-lukanya.
”Tenang, Paman,” kata Lin mencoba menghibur tapi gagal karena Tuan Juin bukannya menjadi lebih baik tapi malah semakin meronta. Lin menatap mata Vickey yang jelas ingin mengatakan kalau semua ini gara-gara kecerobohannya.
Sampai akhirnya ia memutuskan pulang, Lin belum bicara apa-apa kepada Vickey, jauh lebih baik tutup mulut seolah Vickey tidak berada di sana daripada harus mengatakan pengakuan kekesalan kepadanya.
Nyonya Juin tidak henti-hentinya berterimakasih kepada Lin di tengah-tengah isak tangisnya yang masih saja berlanjut. Dengan susah payah Lin menenangkannya dan merangkul Tuan Juin dengan agak merasa kasihan. Berjalan dengan berat hati menuju pintu dan membiarkan Vickey terlihat merana sekali lagi.















CHAPTER 18
Saat Lin masuk di dalam rumahnya, Tuan Denissa sudah duduk di sofa dengan kaki menjutai dan tangan tergantung dengan santai. Dengan kesal harus diakuinya bahwa saat ini dia sedang tidak begitu ingin diajak bicara oleh siapapun. Dan keberadaan Tuan Denissa di sana adalah pertanda bahwa harapannya tidak akan menjadi nyata.
”Kau kelihatan kacau sekali, Lin?” tanya Tuan Denissa tanpa memperhatikan ekspresi muka Lin yang sengaja ditampangkan agak malas diajak bicara.
”Aku... besok saja aku cerita, aku terlalu lelah saat ini,” kata Lin, sambil meninggalkan ayahnya yang duduk membatu menatapnya.
”Baiklah, tidurlah,” kata Tuan Denissa khawatir.
Beberapa menit kemudian Lin sudah naik ke atas ranjang. Pikiran soal Vickey, Tuan Juin yang berdarah-darah dan Nyonya Juin yang terseduh-seduh tanpa henti terus saja melayang-layang di kepalanya. Walaupun badannya tampak lelah tapi sulit sekali untuk bisa menutup mata dengan sempurna. Kembali bayangan keluarga Vickey mengusiknya.... lalu ia melihat Vickey yang tiba-tiba saja menggenggam bunga mawar besar di tangannya. Tidak ada yang peduli saat duri-duri dari mawar itu menusuki tangannya. Tuan Juin yang mendadak mengucurkan darah dari wajahnya muncul, dengan langkah kaki yang berat ia mendatangi Vickey, pisau siap ditangannya. Sementara Nyonya Juin yang mengumpulkan air matanya ke tiga buah gelas juga datang. Dia memberikan satu gelas kepada Vickey, satu gelas kepada Tuan Juin dan satu gelas kepada Lin.
”Minumlah selagi hangat,” katanya. Lin menyadari kalau suara Nyonya Juin berubah menjadi suara laki-laki yang dikenalnya selama ini. Lin membuka mata dan mendapati ayahnya membawakan senampan penuh sarapan dan susu hangat. Ia melepas jaket birunya dan meletakkannya di pangkuannya.
”Bagaimana?” tanyanya sembari menyentuh dahi Lin. Lin menyadari bahwa matanya terasa berair karena panas tubuhnya. ”Kau sakit mendadak,” tambah Tuan Denissa.
Lin nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. ”Kau harus makan,” kata Tuan Denissa sambil duduk di kasur tempat Lin berbaring dan mengangkat semangkuk penuh bubur sebelum bersiap menyuapkannya kepada Lin.
Lin belum ingin buka mulut tapi dengan sedikit tekanan dari Tuan Denissa, terpaksa ia buka mulut dan menelan bubur kurang manis yang benar-benar membosankan itu.
”Seseorang mencarimu kemarin,” kata Tuan Denissa tiba-tiba. Lin bungkam, tapi tidak bisa ditutup-tutupi kalau ia agak tertarik mendengar laporan ayahnya.
”Kau sudah bisa menebak, kan?” tanya Tuan Denissa cepat-cepat. Lin tidak bisa bertahan untuk diam lebih lama lagi. Setelah menelan bubur di mulutnya ia bicara walaupun dengan nada yang dibuat seolah tidak begitu peduli. ”Mau apa dia kemari?”
Tuan Denissa bertahan pada sikap ramahnya, ”Sekedar minta maaf,” dia berkata sambil menurunkan mangkuknya dan mengambilkan susu untuk Lin.
”Minumlah,” Tuan Denissa menyodorkan segelas susu kepadanya. Dengan enggan Lin menerimanya dan meneguknya.
”Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang aku tahu... dia bersungguh-sungguh,” kata Tuan Denissa. Mata hitamnya sedang mengawasi puterinya yang nampak hampir tersedak itu.
”Darimana Ayah tahu?” tanya Lin. Meletakkan susunya yang masih setengah gelas begitu saja di atas meja. Dan sedikit tercengang karena baru menyadari sepot bunga mawar putih dan kuning ada di atas meja itu juga.
”Bagaimana kalau dia memang sudah membuktikannya?” Tuan Denissa memberikan tekanan berlebih pada kata membuktikan. Dia tahu kalau Lin baru saja menyadarinya.
Lin mengerling menatapnya. Ingin bicara tapi terlalu ribet untuk melakukannya sehingga hanya mulut yang tertanga-nga yang ada diwajah Lin. Tuan Denissa mengambil bubur itu lagi dan kembali menyuapkannya kepada Lin.
”Aku anggap kau memaafkannya,” kata Tuan Denissa setelah menyuapkan sesendok bubur ke mulut Lin. Dia bangkit dan meninggalkan Lin begitu saja. Jaket biru di pangkuannya merosot tanpa diminta.
Dalam keadaan tidak percaya Lin mencoba menelan ucapan ayahnya. Apapun yang dikatakan olehnya saat ini tidak akan bisa menyangkal kebenaran yang sudah diutarakan oleh Tuan Denissa. Dan dengan enggan ia memikirkan semua penyesalannya, sebelum Tuan Denissa dan orang yang ingin ditemuinya itu muncul dari pintu.
Lin menatap dua laki-laki yang menampangkan ekspresi yang berbeda itu. Dimana Tuan Denissa tersenyum ramah sebelum ia pergi, sementara Vickey terlihat begitu menyesal dengan rona kebahagiaan tersirat secara sembunyi-sembunyi di wajahnya.
Lin tidak bisa menahan tangisnya saat melihat Vickey. Dengan segera Vickey menyambar bahunya dan memeluknya. Tercengang tidak bisa mengatakan apa-apa keduanya hanya diam.
Isak tangis Lin memudar saat Vickey melepaskan pelukannya. ”Ayah dan Ibuku yang menyuruhku kemari, aku minta maaf,” kata Vickey.
Lin tersenyum. ”Aku tahu kau pasti d-datang, orang t-tolol mana yang mem-beri pacarnya b-bunga mawar putih dan kuning?” kata Lin di tengah isak tangisnya yang kadang muncul.
Vickey tertawa, ”Bunga-bunga itu sebenarnya yang akan aku tunjukan kepadamu, sudah banyak yang mekar,” Vickey berkata sambil mengacak rambut Lin.
”Kau bilang kau tidak suka bunga?” tanya Lin mendadak jadi agak galak.
Lin bisa melihat wajah Vickey berubah menjadi merah karena malu. ”Er... ini agak lain masalahnya...aku... sudahlah kau tidak merasa ada sesuatu yang bau di sini?” tanya Vickey berlagak jijik untuk mengalihkan pembicaraan.
Lin nyengir. ”Darimana kau tahu aku belum gosok gigi?” tanya Lin main-main.
Vickey memutar bola matanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya pada udara kosong dan berlagak mau pingsan.
”Baiklah! Aku gosok gigi dulu!” kata Lin, ia bangkit dari kasurnya, menyeruak selimutnya seolah lupa dengan semua rasa sakitnya.
Saat berada di dalam kamar mandi Lin bertanya, ”Jadi kau tidak masuk kerja?” tanya Lin.
Dari balik pintu kamar mandi Vickey menjawab. ”Menurutmu saat-saat seperti ini aku akan puas hanya memandangi wajah tua Po!” di dalam kamar mandi Lin terkikik.
”Agu gan kuma bertanga!” balas Lin.
”Jangan bicara sambil menggosok gigi!” teriak Vickey seolah tahu bentul apa yang sedang dilakukan Lin.
”Hoge!” jawab Lin.
”Tidak usah dijawab!” teriak Vickey lagi-lagi.
Lin menurut tapi tetap manahan tawanya. Di dalam sana. Setelah beberapa saat dengan wajah dan rambut agak basah ia keluar. Vickey menatapnya dengan lagak puas, ”Nah begitu dong!” katanya. Lin tidak menggubrisnya karena mengingat sesuatu harus ia sampaikan.
”Kau bilang tadi Ayah dan Ibumu yang menyuruhmu ke sini? Mereka sudah baikan?” tanya Lin. Ia duduk di dekat Vickey dan berusaha mengeluarkan suaranya sekalem mungkin untuk mengantisipasi kemarahan Vickey yang bisa saja muncul saat orang tuanya dibawa-bawa dalam pembicaraan.
Vickey terlihat putus asa. Lin merasakan kesedihan menuruni darahnya saat Vickey masih bungkam. ”Kau tidak perlu mengatakan apa-apa...”
”Tidak!” sahut Vickey cepat. Dia tertawa ringan, ”Ya, mereka berbaikan. Menganggap apa yang mereka dengar darimu adalah hal yang seharusnya tidak mereka lakukan jika bisa dihindari. Mengoreksi diri mereka sendiri dan mengerti bahwa segalanya hanya perbedaan pendapat dimana ibumu menganggap gosip-gosip artis adalah acara wajib-tonton, sementara ayahmu manganggap mereka hanya sekumpulan orang kurang kerjaan yang menyibukkan diri dengan mempergunjingkan orang lain,” papar Vickey dengan keseriusan yang dibuat-buat.
Lin tersenyum, menyadari betul bahwa Vickey mungkin juga merasakan kebahagiaannya. ”Rasanya aku tidak mungkin sakit lagi deh,” kata Lin sembari bangkit dari kasur dan mengambil beberapa helai baju di dalam lemari, lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.
”Apa sih yang kalian para perempuan lakukan di kamar mandi?” tanya Vickey sebelum Lin menutup pintunya.
”Berbuat baik aku rasa,” jawab Lin asal lalu menutup pintunya. Ia tahu kalau Vickey tersenyum sambil menggelengkan kepalanya setelah mendengar jawaban Lin.
”Mungkin kalau para cowok tidak begitu,” kata Vickey.
”Tanya saja dirimu sendiri!” jawab Lin seenaknya.
”Tidak mau menjawab jujur!” balas Vickey.
”Makanya kau tidak bisa berkata dengan benar kalau kau menyukai bunga,” ejek Lin. Bisa dibayangkan kalau saat ini Vickey sedang merengut menatap pintu kamar mandi seolah pintu itulah yang bicara.
”Jangan mulai lagi!” balas Vickey dengan nada yang dipaksakan agar tidak meninggi.
”Tidak mulai ya tidak mulai,” balas Lin sesantai mungkin.
Sunyi selama beberapa saat karena rupanya keduanya sedang menyandang pekerjaan masing-masing dan terlalu sulit untuk membagi konsentrasi mereka. Begitu Lin keluar dari kamar mandi, dia sudah menukar pakaian kotornya dan merapikan rambutnya yang agak amburadul.
Vickey menunduk mencermati lembaran kertas yang sepertinya foto dan beberapa helai penjelasannya di tangannya. Tanpa mendongak ia berbicara, ”Aku tidak tahu kalau ayahmu adalah laki-laki yang sangat peduli kepada anaknya.”
Lin memandangnya, ”Apa?”
”Iya. Dia rupanya sering sekali menulis surat kepadamu meskipun mereka sudah bercerai. Bukannya dulu kau bilang ayahmu tidak pernah mengirimimu apa-apa?” tanya Vickey, akhirnya mendongak dari carikan-carikan kertas di tangannya dan menatap Lin.
Lin tampak bingung. ”Memang dia tidak pernah mengirimiku apa-apa,” jawab Lin masih menatap Vickey dengan ekspresi ganjil.
”Lalu ini apa?” tanya Vickey, menggoyangkan kertas-kertas di tangannya itu dengan heran.
Lin mendekatinya cepat-cepat dan bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya maksud Vickey. Dan saat ia telah benar-benar melihat carikan-carikan kertas dan foto-foto itu dari dekat barulah ia tahu apa sebenarnya semua itu.











CHAPTER 19
Lin membacanya selama tiga kali dan mendapati tulisan ramping dan tinggi yang sudah dikenalnya, tulisan ayahnya.
Dear Lin
Ayah tidak tahu apa yang bisa Ayah berikan kepadamu di hari ulang tahunmu yang ke 7 ini. Bisa Ayah bayangkan bahwa kau semakin bertambah tinggi dan tentu saja bertambah cantik. Ayah tidak tahu apakah semua ini bisa disebut ucapan yang sempurna tanpa aku bisa benar-benar melihatmu.
Peluk dan cium,
Ayahmu.
Jantung Lin semakin berdetak dengan cepat, ia melihat beberapa lembar foto ayahnya yang terlihat lebih muda dari sekarang dan sedang nyengir menatap kamera.
Lin membaca lembaran berikutnya, kali ini ia tahu kalau tulisan itu juga mengindikasikan hal yang sama, ucapan ulang tahun Lin yang ke delapan. Lin belum bisa bernapas dengan lega, amarah yang selama ini terpendam dalam hatinya mendadak bangkit, merobek-robek ketenangannya dan kebahagiannya secara perlahan.
Lampiran berikutnya adalah dua buah kartu ucapan ulang tahun yang bergambar kelinci putih di sudut-sudutnya. Lin membaliknya dengan takut dan mendapati tulisan yang sama dikenalnya seperti tadi, ucapan ulang tahun Lin yang ke sembilan dan sepuluh.
Begitu terus sampai Lin menatap kartu ucapan terakhir yang masih terbungkus amplop, dilihatnya tulisan di amplop itu yang di alamatkan kepadanya, dari ayahnya, tidak ada tanda-tanda stempel pos di sekitar perangkonya. Lin mendongak menghadapi Vickey yang sepertinya juga tampak mengerti apa yang sedang terjadi.
Berusaha menahan air matanya Lin berkata, ”Ini surat dan kartu ucapan ulang tahun yang tidak pernah dikirimkan kepadaku.” Lin membeku. ”Darimana kau mendapatkannya?” tanyanya segera.
Vickey nyaris tak ingin mengatakan apa-apa, seolah merasa semua ini gara-gara dia. ”Dari saku jaket itu,” katanya sambil menunjuk jaket biru yang sekarang tergeletak di atas ranjang. ”Aku tidak sengaja menemukannya saat ingin menaruh jaket itu di atas ranjang, tadinya jatuh,” tambahnya, jelas sekali ia merasa bersalah dan ingin menjelaskan segalanya.
”A-aku sungguh...”
”Tidak, Vick, kau tidak bersalah sama sekali,” kata Lin tanpa benar-benar memikirkan ucapannya.
Kemarahan yang masih menyelimuti hatinya membuatnya nyaris tidak mendengar apa yang diucapkan Vickey. Dia menanamkan pandangannya kepada foto-foto ayahnya beberapa tahun yang lalu itu.
”...Kau juga tidak bisa menganggap ayahmu salah dalam hal ini, Lin,” kata Vickey, lebih berupa nasehat dari pada pernyataan.
Lin menggeleng tidak percaya, airmatanya turun berlahan karena kemarahan dan kejengkelannya mendadak memuncak. Kejengkelan selama sebelas tahun ini, selama hari-hari yang bisa dirasakannya dalam suasana kehilangan yang nyaris tidak terasa lagi.
Lin masih mengucurkan airmata kemarahannya. Vickey memegangi dua sisi wajahnya, dan membungkukkan badannya agar bisa menatap mata Lin. Sejenak Lin sadar bahwa Vickey ada di sana untuknya.
”Dengar, aku tahu ini berat, Lin. Tapi aku juga cukup yakin ayahmu punya alasan khusus,” katanya. Lin menggeleng lagi, menatap mata Vickey dengan tidak percaya. Vickey merangkulnya dan memeluknya, sementara tangis masih mengiringinya.
Hanya suara isakan yang memenuhi ruangan itu untuk beberapa saat, sampai akhirnya Lin memantapkan sebuah keputusan, ”Aku harus bicara dengannya,” kata Lin.
Vickey tidak berani melepas pundak Lin, tapi begitu mereka saling pandang, Vickey mengerti bahwa Lin bersungguh-sungguh. Dengan enggan ia melepaskan pegangannya dan membiarkan Lin pergi.
Lin berlari secepat kilat menuruni tangga dan menyusuri ruang tamu, dimana di sisi lain ruangan itu seorang pria yang sedang dicarinya membungkuk membersihkan vas bunga. Airmata yang menggenangi matanya membuat pandangannya sedikit buram. Ada kejelasan yang tidak bisa diucapkan saat Tuan Denissa menyadari kehadirannya dan menoleh menatapnya.
Dengan tatapan kaget bercampur bingung Tuan Denissa melihat puterinya. Beberapa carikan kertas dan foto-foto di tangan Lin rupanya cukup dikenalinya.
Dia maju selangkah untuk mendapatkan cara pandang terbaik bagi puterinya, dan dengan gugup ia buka mulut, ”Lin, dengar...”
”Tidak! Kau yang dengar,” kata Lin, suaranya mengambang antara tetap tenang dan hampir meninggi.
Tuan Denissa patuh, menyadari benar arti airmata Lin. ”Kenapa Ayah melakukan semua ini?” tanya Lin, tetap mengontrol suaranya.
Tuan Denissa terlihat agak terguncang. ”Aku-aku tidak benar-benar... Ayah hanya...”
”Hanya tidak pernah tahu apa yang melanda kami berdua selama sebelas tahun ini,” kata Lin lirih dan sebelum Tuan Denissa mengatakan sesuatu, ucapan Lin sudah berubah menjadi teriakan. ”AYAH TIDAK TAHU BAGAIMANA MERASA TAKUT SAAT KAMI MEMBUTUHKAN SEBUAH PERLINDUNGAN! AYAH TIDAK TAHU BAGAIMANA MERASA ANEH SAAT ANAK-ANAK LAIN BERJALAN BERSAMA AYAH IBUNYA DAN AKU TIDAK! AYAH TIDAK CUKUP MENGERTI APA YANG DISEBUT KEHILANGAN DAN MEMBUTUHKAN! AKU BERUSAHA MELUPAKAN KALAU AKU JUGA PUNYA SEORANG AYAH!”
Tuan Denissa tidak bisa mengatakan apa-apa, airmata mulai menggenangi matanya. Menatap kemarahan yang cukup besar menguasai wajah puterinya.
”Kalau Ayah tidak benar-benar ingin kembali, Ayah boleh melakukannya. Kau sudah pernah melakukannya sebelum ini, kan! Merasakan kebebasan yang cukup menyenangkan! Dan membuatmu ragu untuk sekedar mengirimkan kartu ucapan ulang tahun kepada puterimu!” kata Lin. ”DAN MERAGUKAN SEMUA HAL TENTANG KELUARGAMU! MELUPAKAN SEMUANYA SEOLAH KAMI TIDAK BENAR-BENAR ADA! AKU MENGHARGAI KEDATANGANMU...”
Ruangan sunyi selama beberapa detik. Tatapan-tatapan tidak menggenakan menyelimuti mereka. Dan dengan acuh Lin kembali bicara, ”Dan aku akan sangat menghargai kepergianmu juga.”
Terdengar sanggahan memekakan telinga dari ujung ruangan, Vickey yang tanpa mereka sadari sudah berada di sana cukup lama mengamati keduanya dengan bingung. ”Lin, kau tidak bisa melakukan itu!”
”Aku bisa Vick! Aku bisa melakukan apapun kepadanya!” jawab Lin, mata berairnya menatap Vickey meminta pengertian. Vickey menghembuskan napasnya dengan berat, ingin bicara tapi menyadari bahwa mengatakan apapun tidak akan ada gunanya saat ini.
Lin menunduk, lalu menatap ayahnya kembali sebagai tanda bahwa ia ingin ayahnya lekas melakukan apa yang ia inginkan. Tuan Denissa tidak mengadakan pembelaan sama sekali, nyaris tidak ada. Dengan berat hati harus diakuinya kalau ia enggan pergi dari sana. Tidak ada hal yang lebih baik yang bisa dilakukannya selain menuruti kemauan puterinya.
Saat-saat ketika Tuan Denissa tidak di ruangan itu adalah saat yang paling dibenci oleh Lin. Vickey tidak bicara apa-apa, walaupun Lin tahu bahwa sebagian usaha Vickey untuk mencegah tindakan Lin masih ada. Beberapa saat kemudian Tuan Denissa sudah berdiri di bawah tangga dengan dua buah koper besar siap di dua tangannya.
Tatapannya yang merana beralih dari Vickey ke Lin. Dan dengan suara yang paling memohon Vickey kembali bicara, ”Lin, aku mohon... aku tahu kau tidak akan rela melakukan ini...”
”Aku rela,” kata Lin dengan suara sok ditegar-tegarkan.
Vickey menatapnya dengan kecewa, tersenyum simpul dan dingin kepada Lin. Tuan Denissa nampak tidak ingin berlama-lama lagi, airmata semakin merebak di sekitar mata dan bulu matanya. ”Aku akan mengurus semua surat perwalian....” Tuan Denissa berusaha bicara dengan sikap biasa tapi gagal.
”Tidak, kau tidak perlu mengurus apa-apa,” Lin berkata tanpa menatap ayahnya.
Tuan Denissa berusaha tersenyum. ”Ba-baiklah, sampai jumpa...” katanya kepada Lin dan Vickey. Lin masih tidak menatapnya.
”Bawa juga mobilmu,” kata Lin berkeras.
Tidak begitu lama Tuan Denissa berkata lagi, ”Terima kasih, kau juga Vick,” lalu suara langkah kaki yang berat mengikutinya. Vickey menatap Lin dalam kekecewaan dan kemarahan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Detik demi detik terlewat begitu saja saat suara mesin mobil menyala hingga suara itu menghilang.
Kembali suasana tenang, Vickey mendekati Lin, memandangnya dengan pandangan penuh kekecewaan yang amat sangat. ”Kau tahu Lin,” dengan pelan Vickey berkata. ”aku tidak bisa menyembunyikan semua kekecewaanku, kemarin kau melakukan segalanya kepada keluargaku seolah kau benar-benar telah menjadi penengah, mendengarmu mengatakan semua pola pikirmu di saat kau berusia enam tahun...” Vickey tersenyum dengan getir. ”aku menyayangkan segala hal, segalanya yang baru saja kau lakukan...” Vickey tidak lagi banyak bicara, sementara Lin masih tidak ingin menatapnya. Vickey mencium puncak kepala Lin, ”Aku tidak tahu, aku sangat menyayangimu tapi aku juga kecewa kepadamu,” tidak ada lagi ucapan yang di dengar Lin, Vickey pergi meninggalkan Lin dalam kesedihannya.






























CHAPTER 20
Waktu yang berlalu seolah memberikan kebencian tersendiri kepada Lin. Tetesan airmata terus meluncur di sekitar pipinya. Rasa marah, rasa kecewa, rasa sedih dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Tidak ada yang bisa membuatnya bahagia saat ini, semua terlalu rumit jika harus merujuk kepada kebahagian. Dengan rasa benci dia menatap semua kartu ucapan ulang tahun yang tidak pernah dia terima yang tercecer di lantai.
Kehilangan dua orang dalam satu hari adalah hal yang harus diakuinya sebagai hal yang paling tidak menyenangkan seumur hidupnya. Bayangan wajah ayahnya dan Vickey mengusik kepalanya yang sedang penuh. Memikirkan perasaan mereka yang membuatnya merasa semakin tidak nyaman dan meratap.
Deringan telepon yang memecahkan keheningan membuat Lin terlonjak. Mengumpat dalam hati dan mengutuki orang yang meneleponnya pada saat yang tidak tepat. Dengan suara dan tangan bergetar ia menjawab suara laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Selewat beberapa dialog Lin merasakan gemuruh kesedihan semakin membebani dirinya. Tanpa panjang lebar ia menutup teleponnya, berlari menuruni tangga dan mempercepat lajunya menuju ke tempat yang dikatakan orang laki-laki dari telepon tadi. Menyadari bahwa ayahnya sedang terbaring di tempat itu dengan luka-luka di seluruh tubuhnya.
Air matanya semakin tak terkendali, membuatnya semakin tidak bisa melihat dengan benar. Menabraki setiap orang yang lewat, tidak merasakan kelelahan pada kakinya saat berlari, sampai sebuah mobil mendarat di sampingnya dan membukakan pintu untuknya. Lin melongok ke dalam dengan kaget saat menyadari Vickey yang mengendarainya, ”Masuklah...” katanya.
Tanpa mengatakan apa-apa Lin menurut. Vickey juga memampangkan wajah panik, jelas sekali ia juga tahu apa yang terjadi.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah sakit kota. Lin berlari menyusuri koridor rumah sakit diikti oleh Vickey. Dalam keeadaan panik, segalanya semakin terasa membingungkan bagi Lin. Dia berbicara dengan seorang suster di meja resepsionis, ”Aku ingin mencari Tuan...”
”Aku tahu tempatnya, Lin,” kata Vickey sambil menyeret lengan Lin.
Lin mengikutinya, matanya yang bengkak cukup sulit digunakan saat ini. Mereka memasuki lift, Vickey memencet tombol lantai dua dengan kasar dan menyumpah-nyumpah saat lift itu agak bersikap bawel kepadannya, kelegaan menjalar perlahan saat lift itu akhirnya menutup. Dengan hati cemas tiba-tiba Lin merasakan genggaman tangan Vickey. Lin menoleh menatapnya dengan haru. Merasakan sedikit kesedihannya meredup secara perlahan.
Tidak ada yang bicara selama itu, dan saat pintu lift terbuka, sekelompok wanita berjalan memasuki lift, sementara Lin dan Vickey menerobos keluar.
Tangan Vickey yang mengenggam jari-jari Lin membuatnya yakin bahwa sekalipun matanya yang bengkak sulit digunakan dengan selayaknya ia tidak akan tersesat.
Mereka melewati berbagai kamar, berlari secepat yang mereka bisa, menabraki beberapa suster dan pengunjung bahkan seorang pasien. Peluh dan airmata menguar bersama di sekitar wajahnya. Tidak mempedulikan mereka dan terus berlari.
Tanpa bisa mengerem kakinya, Lin menabrak Vickey saat ia berhenti di depan sebuah ruang gawat darurat nomor tiga-tiga. Lin melongok ke pintu kaca itu dan mendapati beberapa dokter dan suster sedang di dalam, jelas mereka tidak akan mengizinkan Lin dan Vickey masuk.
Seorang laki-laki bertampang galak yang tanpa diperhatikan keduanya sedang duduk di samping ruangan itu bangkit berdiri, menatap Lin dan Vickey secara bergantian. ”Kalian berdua keluarganya?” tanyanya.
Dengan cepat Vickey menjawab, ”Ya, aku keponakannya,” akunya.
”Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya.
Vickey menoleh menatap Lin yang mengangguk menghiyakan. Vickey melepaskan jari-jari Lin dan mengikuti laki-laki tak dikenal itu dengan enggan.
Lin memperhatikan kepergian Vickey dengan hati nelangsa, mengawasi ayahnya yang dikerumuni para dokter dan para suster di dalam ruangan itu membuatnya semakin nelangsa.
Duduk di kursi tempat laki-laki tak dikenal tadi duduk. Memelintir jarinya sendiri dengan ketakutan. Bayangan kejadian yang pernah dialaminya saat ibunya mendadak kritis kembali mendatanginya. Berhenti memikirkan hal terburuk, adalah hal yang membuatnya sedikit rilek.
Tak lama kemudian Vickey kembali, wajahnya tampak pucat tapi mantap. Lin bangkit berdiri. ”Mereka bilang, ayahmu tidak begitu konsentrasi saat menyetir... mobilnya menabrak pohon,” kata Vickey dengan suara bergetar.
Lin merebakkan airmata sekali lagi, entah berapa liter sudah airmatanya terkuras pagi ini. Vickey menyambar tengkuknya lalu memeluknya. Waktu serasa berputar dengan lambat di tengah kesedihanya itu. Sambil menanti-nanti rombongan dokter keluar, Vickey terus meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, walaupun suaranya tidak memperlihatkan keyakinan yang begitu mantap.
Lin memikirkan kekonyolan yang terjadi hari ini, baru beberapa menit yang lalu ia mengamuk kepada ayahnya karena tidak pernah mengirimkan kartu ucapan ulang tahun dan surat kepadanya, dan sekarang semua itu nampak tidak begitu berarti jika dibanding dengan rasa sedih saat melihat ayahnya terbaring tak berdaya seperti ini. Rasanya dia ingin sekali bisa memutar waktu jika itu bisa dilakukannya saat ini juga.
”Lin, aku tidak tahu semua ini akan berguna atau tidak... aku minta maaf aku tidak benar-benar ingin meninggalkanmu tadi,” kata Vickey.
Lin menyedot ingusnya dan menatap Vickey dengan mata benjolnya itu. Ingin sekali ia meninju cowok itu dan menegaskan bahwa dia sama sekali tidak bersalah, tapi menatap mata Vickey yang begitu bersungguh-sungguh sulit untuk melakukan itu. ”Aku yang salah, tidak seharusnya aku berkata begitu kepadanya dan mengusirnya, jik-jika saja...” air matanya merebak lagi.
”Tidak, kau tidak pernah bermaksud melakukan ini,” Vickey memotong ucapan Lin.
Lin lega mendengarnya, dengan senyum kurang tulus ia membalas ucapan Vickey, dan membiarkan kepalanya bersandar di bahu Vickey.
Beberapa jam kemudian, saat-saat yang terasa begitu lama bagi Lin, segerombolan suster dan dua orang dokter keluar dari ruangan itu, dengan segera Vickey dan Lin bangkit berdiri, menyetop salah satu dokter dengan agak memaksa.
Dokter muda itu tampan dan berwajah menentramkan, di dadanya tersemat namanya, sehingga Lin cukup yakin jika mau menyebutkan namanya.
”Dok, bagaimana keadaan ayah saya?” tanya Lin agak tergesa-gesa.
Dokter itu diam dan menunduk dengan kaku, wajah menentramkannya itu lenyap seperti tertiup angin Sepetember. Tampak berpikir lama untuk bisa menemukan kata yang tepat.
”Dok! Katakan!” teriak Vickey tiba-tiba.
Dokter muda itu menatap Vickey dan Lin bergantian. ”Pendarahan pada otak, empat tulang rusuk dan sebelah kakinya patah... sulit mengatakan apa dia akan bisa lebih baik...”
”Apa maksudmu?” bentak Vickey.
Dokter itu sekali lagi terdiam, membasahi bibirnya dengan penuh kehati-hatian. ”Keadaanya kritis.” Dan sebelum mereka mengajukan pertanyaan lagi, Dokter tampan itu menambahkan, ”Kalian boleh masuk, hanya dua orang. Dia sedang koma.”
Tidak ada lagi yang perlu ditanyakan. Lin menghambur dipelukan Vickey, sementara si Dokter mengelus bahu Lin lalu pergi. Tangis kembali pecah dan dengan hati hancur mereka memasuki ruangan itu.
Tuan Denissa terbaring lemah, tak berdaya dan tak bertenaga. Lin menatap wajah ayahnya, dan berharap ia membuka mata lalu memarahinya. Kaki kanan, wajah dan dada ayahnya dipenuhi perban yang membelit-belit tubuhnya dengan sempurna. Ia duduk di sebelah ayahnya sambil memegang tangan ayahnya... merasa begitu konyol jika harus mengingat pertengkarannya tadi sekali lagi.
Selama dua hari berikutnya, Tuan Denissa tidak juga bangun. Lin tinggal di rumah sakit, tidak ingin melewatkan saat-saat ayahnya kembali membuka matanya dan bisa mengomel kepadanya. Vickey pun dengan setia menemaninya, walaupun Lin sudah menyuruhnya pulang jika ia mau, tapi Vickey selalu menolak. Selama dua hari itu juga, orang-orang datang silih berganti, dimulai dari Cindy, Tina dan Harry yang menatap iba kepada Lin dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Sebenarnya Tina dan Cindy tidak cuma datang sekali saja sih, hampir setiap dua belas jam sekali mereka menjenguk Tuan Denissa dan membawakan makanan-makanan dari Po’s Hungger. Datang juga Tuan Po yang anehnya benar-benar merasa sedih, orang tua Vickey yang membawakan mereka bunga dan buah-buahan. Mereka pasangan suami istri yang sangat baik, tidak terlalu banyak bicara karena memahami betul bagaimana persaan Lin saat ini. Tuan Oktavick, Lily dan Tommy juga. Ketiganya benar-benar orang-orang yang membanggakan.
Lin senang saat melihat Tommy dan Vickey ngobrol dengan baik seolah tidak pernah ada kejadian-kejadian gila di antara mereka, sementara Tuan Oktavick terlalu bersedih untuk bisa mengatakan apa-apa, baginya Tuan Denissa adalah rekan kerja yang terbaik yang pernah ditemuinya.
”Kau pasti sangat sedih, ya?” kata Lily. Mereka berjalan melewati lorong rumah sakit. Sebenarnya Lin enggan angkat kaki dari ruangan itu, tapi karena tiga orang pria dan seorang wanita yang sedang berjalan di sampingnya ini memaksanya, maka tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut. Lagipula lama-lama ia juga merasa agak jenuh berada di ruangan melulu.
Lin tidak bisa menjawab apa-apa hanya senyum getir yang bisa terlepas dari bibirnya. Lily cukup pengertian karena setelah itu ia mengelus punggung Lin. Lin menatapnya, ingin sekali menangis tapi rasanya tidak ada lagi air mata yang tersisa.
”Aku senang mendapat sedikit hiburan,” kata Lin, tanpa disadarinya ia berbicara hal yang tidak mungkin bisa dikatakan oleh orang yang sedang bersedih.
”Ya kau benar, aku bisa melihat matamu terlalu benjol untuk bisa melihat dengan benar,” Lily bicara dengan nada asal.
”Benarkah?” tanya Lin, memaksa suaranya agar terdengar terkejut.
”He-eh. Tapi dua cowok konyol yang kita tinggalkan tadi benar-benar tolol karena menyukai gadis bermata benjol sepertimu,” Lily pura-pura tidak melihat ekspresi jengkel Lin yang dibuat-buat itu.
”Karena gadis bermata benjol sepertiku rasanya akan jauh lebih berarti daripada gadis yang sukanya menghina orang sepertimu.” Lily dan Lin saling pandang dengan serius, lalu tertawa bersamaan dengan keras. Lin lega sekali saat bisa tertawa karena rasanya ia sudah tidak tertawa selama lima abad.
”Dengar, ini mungkin agak aneh sih, tapi harus aku akui bahwa Vickey memang orang yang Ok,” Lily menambahkan dengan ekspresi kesungguhan yang sangat jarang dikeluarkannya. Lin mencerna ucapan Lily dengan baik, tersenyum dengan sabar, ”Kalian juga.” Senyum merebak di bibir Lily. Ia memeluk Lin dengan erat.
”Aku tahu kau mampu menghadapi segalanya,” bisik Lily, cukup menentramkan. Lin tidak menjawab, hidungnya telah diundang untuk mencium aroma rambut Lily yang sangat menyenangkan itu.



CHAPTER 21
Rasanya hari ini kepala Lin nyaris tidak bisa diangkat dari ranjang ayahnya. Menanti-nanti dengan cemas saat-saat menggembirakan seperti ini adalah hal yang belum pernah sekalipun terbayang akan menimpanya. Badannya lelah, tapi pikirannya terus berpacu. Sementara satu tangannya memegangi tangan ayahnya, Lin memejamkan matanya, tidak bisa dibilang ia tertidur sungguhan. Satu setengah jam yang lalu Tina dan Cindy mengunjunginya dan meninggalkan buah jeruk banyak sekali. Sekarang keadaan mendadak sepi lagi. Vickey sedang keluar sebentar untuk melemaskan ototnya, sudah tiga hari Vickey nyaris tidak tidur cukup, tidur hanya jika Lin yang menyuruhnya. Lin sangat menghargai ketulusan Vickey, sehari terakhir ini ia sering melontarkan lelucon yang membuat Lin tertawa untuk beberapa saat, melupakan sedikit masalahnya dan mengurangi benjol di matanya.
Saat pintu terbuka, ia tahu Vickey sudah kembali. Matanya tetap terpejam seolah tidak ingin membuat Vickey tahu kalau ia sedang tidak tidur sengguhan. Sekalipun Lin tidak melihatnya, tapi ia tahu kalau Vickey sedang memandanginya atau mungkin tersenyum kepadanya. Tiba-tiba Lin merasakan kain yang besar menutupi tubuhnya, ia tahu bahwa Vickey baru saja menyelimutinya dengan selimut tebal milik rumah sakit.
Saat Vickey nyaris pergi, Lin membuka matanya perlahan. ”Aku tidak tidur,” kata Lin. Jangan pergi, tambahnya dalam hati.
Vickey berbalik menghadapinya. Wajahnya nampak sedikit terkejut. ”Kebetulan, ada yang ingin menemuimu,” kata Vickey, mengarahkan tangannya ke pintu yang setengah terbuka. Lin mendongak dan Tommy masuk.
”Hai,” sapanya.
Lin menatap bergantian dari Vickey ke Tommy seolah meminta penjelasan. Lin tahu ini kelihatan konyol. Sebelum ia bisa menggucapkan apa-apa, Vickey bicara, ”Aku akan menjaga ayahmu,” dia menuturkannya tanpa kesan marah. Lin menatapnya tidak yakin apa yang baru saja diucapkannya adalah benar.
”Tapi...”
”Kalau ayahmu sudah sadar aku akan langsung memberitahumu...”
”Bag-bagaimana caranya?”
Vickey melembut, memutar bola matanya dan menatap Lin seolah dia adalah anak-anak konyol yang menanyakan apakah jeruk itu termasuk buah atau binatang. ”Menurutmu apa gunanya Mr. Bell menemukan telepon yang saat ini dimodifikasi menjadi handphone, eh?”
Lin tersenyum, sunggingan senyum yang mengisyaratkan rasa terimakasih. ”Terimakasih Tuan Berkepala Pintar.” Lin tahu Vickey selalu memiliki alasan khusus.
Tommy ikut tersenyum, menatap keduanya seperti mengisyaratkan sesuatu. Ia memberi lambaian sederhana kepada Vickey lalu pergi.
Tidak bisa dibohongi Lin merasa lebih nyaman bisa jalan-jalan sebentar. Tubuhnya benar-benar membutuhkan pelemasan sedikit. Awan yang begitu cerah kurang begitu mendukung situasi yang sedang dihadapinya, tapi ia senang menatapnya berlama-lama, dia rupanya lupa kalau Tommy ada di sana.
”Er... Lin...”
Lin menatap Tommy. ”Ya?”
Tommy membuka mulutnya ingin bicara tapi tidak keluar apa-apa. Matanya yang hitam mengkilat itu tidak bisa pergi dari mata Lin. Tommy kembali membuka mulut dan nampaknya berhasil memaksa kata-katanya keluar.
”Aku tahu mungkin rasanya kurang tepat jika aku mengatakannya sekarang... tapi...”
”Apa maksudmu?”
Tommy menggelengkan kepala penuh penyesalan, menatap Lin dengan tajam sebelum kembali bicara. ”Kami akan pindah.”
Lin membeku, kemarahan yang tidak wajar menyelimuti seluruh tubuhnya. Lin menggeleng, ”Tidak kau bohong,” elak Lin, airmatanya nyaris kembali merebak.
”Tidak, maafkan aku, harusnya aku tidak mengatakannya saat ini, tapi aku sudah tidak punya waktu, tiga hari lagi kami berangkat. Orang tuaku dimutasikan bekerja di Australia, aku harus ikut...”
”Kenapa kau membuatku begini?” tanya Lin, nada suaranya sarat dengan kemarahan. Air mata yang lama mengering di pelupuk matanya tak sanggup lagi bergulir.
”Lin, dengar...”
”Ya! Aku sudah mendengar! Dan kau tahu saat ini aku nyaris terpuruk jika harus kehilangan seseorang! Aku sudah cukup kesal dengan semua ini! Aku...” kemarahan Lin berhenti saat akhirnya airmatanya benar-benar telah berhasil mengalir.
Tommy merengkuhnya, dan memeluknya. ”Aku tahu ini semua membuatmu semakin tidak bisa bergerak... tapi kau punya Vickey... kau punya ayahmu... kau punya segalanya yang kau inginkan, Lin,” Tommy memeluknya dengan erat, apapun yang terpikir di kepala Lin hanya berkisar pada kejengkelannya.
Lin terdiam memikirkan semua ucapan Tommy. Dia mendongak menatapnya. ”Kapan k-kau akan kem-kembali?”
Tommy tidak menjawab apa-apa. Lama tidak mengeluarkan suara apa-apa. Dia menatap Lin. Lin mundur selangkah. ”Kau tidak akan kembali?”
Tommy tetap diam, membisu seperti patung. Lin menatapnya, lagaknya menjadi sok tegar. ”Katakan kau bohong, kan!”
”Maafkan aku, Lin...”
Lin menangis untuk ke sekian kalinya, dia mendekap mulutnya karena nyaris tidak percaya dengan semua ucapan Tommy, dia berharap akan ada yang berteriak, Kau tertipu, tapi tidak ada yang melakukannya. Hatinya memanas dan kepalanya pening.
”Aku tidak tahu, Tom! Aku...”
Lin menatap pemuda tampan itu dengan getir, ia tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Tommy mendekat, ”Percayalah, Lin, aku akan sering mengirimkan kabar kepadamu...”
”Tidak! Kau tidak usah melakukan apapun untukku!” teriak Lin tanpa disadarinya. ”Kau mengecewakanku, Tom! Kau teman terburuk yang pernah kutemui! Pergilah! Pergilah sejauh mungkin! Aku tidak berharap kau ada! Tidak pernah!” Lin berbalik dan pergi dengan air mata penuh di matanya.
”Lin, dengarkan aku...”
Lin tidak menggubrisnya. Dia berlari menyusuri koridor rumah sakit. Tommy mengejarnya. Dia memasuki lift dan pintunya menutup sebelum Tommy masuk.
”Aku pergi tiga hari lagi!” teriakan Tommy membentur pintu lift. Lin tidak peduli. Pikirannya sedang penuh saat ini, ingin rasanya ia meninggalkan tubuhnya dan kabur kesuatu tempat yang tak seorangpun mengenalnya.
Pintu lift terbuka dan Lin keluar. Dilihatnya Vickey tengah diluar ruangan dan memencet-mencet tombol di handphone-nya.
”Vickey...”
”Aku baru mau menelepon Tommy, ayahmu sudah sadar... dokter sedang di dalam saat ini.”
Rasa lega membanjiri seluruh darahnya. Air mata yang baru saja keluar seolah kembali masuk dan memaksanya untuk menyunggingkan senyum kelegaan. Vickey menatap mata Lin yang tanpak jelas habis menangis.
Vickey mengajak Lin duduk dan ia menurut. Senyum Lin yang terus menerus keluar membuatnya luar biasa berbeda dari beberapa menit yang lalu, seolah melupakan semua ucapak Tommy yang akan meninggalkannya lusa ini. ”Apa dia mencariku?” suara Lin yang terdengar penuh harap itu terlontar tanpa bisa dicegahnya.
Vickey membuka mulutnya, ”Ya, dia menyebut namamu beberapa kali.” Vickey yakin ucapannya itu akan semakin membuat Lin bertambah senang.
”Menurutmu, dia akan baik-baik saja?” Lin bertanya seolah ia anak SMP yang kelewat dungunya sampai tidak bisa membedakan huruf B kecil dengan huruf D kecil.
Vickey merangkul pundak Lin. ”Aku harap begitu,” Vickey bicara dengan suara tidak yakin, tapi dia senang karena Lin tidak menyadarinya.
Senyum Lin mendadak agak memudar, ia menggigit bagian dalam pipinya. ”Aku tidak menyangka Tommy akan pergi,” katanya. Vickey tidak menyangka kalau pikiran Lin akan bisa berubah begitu cepat.
”Jadi, dia sudah bilang segalanya padamu?” Vickey memandang mata Lin dengan sungguh-sungguh. Lin menunduk tidak ada yang bisa membuatnya senang selain mendengar berita bahwa ayahnya sudah sadar.
”Aku agak kecewa kepadanya,” suara Lin pelan nyaris seperti bisikan. Dekapan Vickey terasa semakin kencang di pundaknya.
”Dia juga tidak ingin berbuat begitu,” kata Vickey. Lin mendengar suara bijaksana Vickey menyentuh hati kecilnya. ”Dia juga sangat menyayangimu, tapi dia harus pergi... tapi percayalah tidak ada yang benar-benar pergi sekalipun dia... dia... ditinggalkan jiwanya.”
Lin kaget mendengar ucapan Vickey. ”Apa maksudmu?”
Vickey menunduk, air matanya bergulir sama lambatnya dengan air mata yang sering dikeluarkan Lin. Dekapan Vickey yang semakin erat membuat Lin merasakan kehilangan yang paling dalam.
”Ayahmu sudah pergi...”
Tidak ada ucapan lain yang paling dibenci Lin selain ini. Lin melepaskan rangkulan Vickey, bangkit berdiri dan menudingnya dengan kesal. ”Kau bohong! Aku tahu kau hanya bercanda!” teriak Lin.
Vickey bangkit dengan air mata menggenangi pelupuk matanya. Lin memandang mata Vickey dengan matanya sendiri yang nayris kabur karena air mata. Dengan hati tersiksa ia masuk, seorang dokter dan suster yang ada di sana menutupkan kain putih menyelimuti seluruh tubuh ayahnya. Dokter muda yang dikenalnya itu tampak terperanjat dengan kehadiarn Lin, ia menepuk pundak Lin lalu pergi.
Lin melemas, menangis dengan sisa-sisa air matanya, berlutut di sebelah ranjang ayahnya, marah pada dirinya sendiri. Didengarnya pintu kembali terbuka dan Vickey masuk, dia berlutut di sebelah Lin dan kembali memeluk. ”Dia meninggal dalam tidurnya...” bisiknya.
Lin terisak kencang sekali, memarahi dirinya sendiri kenapa tidak ada di samping ayahnya pada saat-saat akhir. ”Polisi menemukan ini di kantong ayahmu saat kecelakaan terjadi,” kata Vickey, ia merogoh kantong jaketnya dan mendapatkan sebuah kaset rekaman video. Lin menerimanya dengan isak tangis terus saja mengepuli wajahnya.















CHAPTER 22

Seharian penuh setelah pemakan ayahnya dihabiskan oleh Lin hanya untuk menyaksikan video rekaman ayahnya. Gambarnya agak berkuncang sebelum akhirnya bisa benar-benar terfokus. Wajah Tuan Denissa yang ter-close-up benar-benar membuat Lin merana. Ayahnya sedang menyetir saat merekam video itu. Pakaian yang dipakai ayahnya adalah pakaian yang sama persis saat ayahnya pergi meninggalkan rumah.
Dengan membagi konsentrasinya ia bicara pada kamera, ”Lin, Ayah tahu kau marah kepadaku, ini mungkin alasan yang tidak akan bagus sama sekali, aku ingin mengirimkan surat dan kartu-kartu itu, Lin...” Tuan Denissa memandang jalanan, gambar berkuncang lagi lalu kamera itu menabrak sesuatu yang hitam sebelum akhirnya kembali terfokus. ”Ayah hanya tidak ingin melihat kau bertanya-tanya siapa pria yang mengirimimu kartu ucapan ulang tahun tanpa pernah sekalipun bertemu setelah usiamu eman tahun, melupakanku akan jauh lebih baik, itu yang terpikir di kepalaku saat itu... aku tahu aku salah.” Lin menatap mata merah ayahnya, dia ikut menangis, meratapi kepergiannya dengan penuh kesedihan.
Gambar bergoyang lagi-lagi, kali ini sepertinya karena Tuan Denissa mengerem mobilnya secara mendadak. Ia menatap kamera dan kembali bicara, ”Aku tidak bisa lagi memberimu apa-apa, Lin, percayalah perceraian antara aku dan ibumu memang kesalahanku, aku terlalu terobsesi dengan pekerjaanku. Ibumu wanita yang mirip denganmu, kau ingat dia, kan?” Tuan Denissa menggulirkan sebutir air mata yang besar dari matanya yang merah.
Lin menangis. Tuan Denissa melanjutkan bicara, ”Ibumu adalah satu-satunya wanita yang ayah cintai, tidak ada yang lain.” Air mata lain kembali bergulir di mata ayahnya.
”Lagi, ayah yakin Vickey adalah laki-laki yang baik, berbahagialah kau mendapatkan pemuda itu, Nak.” Lin tersenyum, teringat wajah bahagia Vickey saat bersamanya. ”Orang-orang disekitarmu itu memang baik-baik, Lin. Ayah sudah meminta pemecatan kepada Tuan Po, dia baik sekali mau menerimaku, lalu Tuan Shaddik, aku sudah membicarakan segalanya jauh-jauh hari dengannya.”
”Nah, Ayah ingin membuatkanmu rekaman menyetir agar kau bisa belajar menyetir tanpa ayah, lain waktu akan aku belikan mobil yang baru...” Tuan Denissa menyalakan mesin mobil.
”Ok, perhatikan, nyalakan mobilnya, tidak perlu tergesa-gesa,” kata Tuan Denissa seolah Lin memang sedang ada di sampingnya. ”Masukkan persnelengnya, perlahan saja.” Tuan Denissa memindahkan kamera videonya ke bangku di sebelahnya.
”Bagus.” kamera kembali berguncang dan kali ini ia memindahkan kamera videonya di dekat kakinya. ”Injak kopling dan gasnya perlahan, lalu lepaskan koplingnya perlahan juga.”
Terlihat sebuah tangan menutupi lensa kamera sehingga untuk beberapa saat hanya ada sebuah tangan besar yang memenuhi layar televisi. Tampak Tuan Denissa sedang menyetir dengan gagah. ”Mudahkan...”
”Kalau kau sudah mahir, kau bisa agak kencang sedikit...” katanya seiring dengan bergulirnya pemandangan di luar dengan seklebatan yang agak cepat.
”Aku tahu kita saling memaafkan, kan, Lin. Ayah sangat menyayangimu, kau tahu kan segalanya berjalan dengan normal,” kata ayahnya, Tuan Denissa tersenyum. Dia menatap kamera dengan agak lama seolah itu benar-benar mata Lin. Lin mengingat ucapan ayahnya, segalanya berjalan normal, ya normal memang, sangat normal. Tiba-tiba mobil kamera berguncang dan Tuan Denissa memalingkan wajah dari kamera, tampak gelap selama beberapa saat dan hanya terdengar erangan ayahnya yang panik, lalu guncangan hebat kembali terjadi dan tidak ada lagi suara yang terdengar ataupun gambar ayahnya.
Rekamannya sudah habis, dan Lin menyadari kalau ia masih menangis. Mengeluarkan kasetnya dari player lalu memasukkannya ke dalam tasnya dengan berat. Ini hari terakhirnya tinggal di sana. Ayahnya sudah mengatur agar hak perwalian berikunya diberikan kepada Tuan Oktavick, dan sekarang setelah puas memandang rumah penuh kenangan itu, ia harus pergi.
”Lin,” Vickey memanggilnya. Lin mengangguk, menatap ruangan itu sekali lagi. Lin mengangkat ranselnya, sementara Vickey membawakan koper beratnya.
Saat melewati dapur, ia ingat betul pertengkaran yang sering terjadi di sana. Ia bisa melihat bayngannya sendiri dan ayahnya sedang adu mulut dan saling maki. Orang Tua Tinggi dan Menyebalkan, kata-kata itu terlintas di pikirannya. Air matanya menetes, berusaha menahannya agar tidak semakin jatuh. Vickey menengadahkan tangan dan Lin menerimanya.
Meninggalkan rumah itu dan mengenang saat-saat indah bersama ayahnya adalah hal yang paling menyesakkan yang bisa dirasakan oleh Lin saat ini. Saat mobil bergulir perlahan meninggalkan rumah itu, tahulah Lin bahwa ini lah akhir kisahnya.





























CHAPTER 23
Dua bulan kemudian... suasana sudah agak berbeda, Lin merasa senang dengan sambutan keluarga barunya itu. Lily adalah saudara perempuan terbaik yang pernah dimilikinya.
Mereka juga sering menerima surat dari Tommy. Pagi itu surat Tommy yang untuk kesekian kalinya datang. Ayahnya yang baru, Tuan Oktavick, mengetuk pintu kamarnya dan Lily.
”Ada yang mau keluar dan menerima surat?” tanyanya.
Lin dan Lily saling pandang, terlihat senang dan langsung berlonjak dari tempat tidurnya menuju pintu. Tuan Oktavick memegang sebuah amplop putih yang sangat mereka nantikan.
”Dari Tommy, kan?” Lily terlihat antusias saat menerima surat dari sepupunya itu. Sebelum Lin bisa mencondongkan diri untuk ikut membaca surat dari Tommy, Tuan Oktavick berkata, ”Ada yang ingin bertemu denganmu, Nak.” Senyum yang merekah di sekitar bibirnya seolah mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Tampak agak terkejut tapi ia tahu Tuan Oktavick sedang serius. Ia bergegas turun dan mendapati laki-laki keturunan arab yang sudah dikenalnya, Tuan Shaddik duduk di kursi ruang tamu. Pria itu mengenakan setelan jas gelap dan dasi merah yang sangat pantas dikenakannya.
”Halo, Lin,” sapanya saat melihat Lin muncul di ruangan itu.
Lin membalasnya dengan senyuman kecil. Lin duduk dan Tuan Shaddik menatapnya, ia membawa sebuah map, membukanya dengan lagak profesional, lalu mulai bicara.
”Aku datang kemari untuk menyampaikan sesuatu.” Suara pria itu datar tapi juga terdengar serius.
”Ya,” Lin menjawab asal saja.
”Ok, jadi, ini masalah rumah orang tuamu.” Dia diam sebentar, menatap Lin dengan hati-hati takut jika Lin meledak secara mendadak. Saat dilihatnya tanda-tanda kemaan mengepul di sekitarnya, laki-laki itu kembali bicara, ”kau sudah tahu, kan, ayahmu pernah mengatakan kepadaku bahwa dia ingin menjual rumah itu. Nah, rumah itu akan segera terjual. Sepasang suami istri dari luar kota baru saja mengadakan penawaran, bagaimana menurutmu?”
Lin mencerna setiap ucapan Tuan Shaddik dengan tenang. ”Jual saja, ayahku akan senang, aku bisa menerimanya,” jawabnya, dia tidak ingin terdengar begitu tidak peduli, dia hanya ingin mengakui bahwa ia menerima segala keputusan ayahnya. Lagipula semakin lama ia di sana semakin banyak hari-hari yang akan dihabiskannya untuk menangis karena mengingat segala hal tentang keluarganya sungguh pukulan berat.
Tuan Shaddik meski terlihat senang tapi ia juga terlihat agak heran. ”Ok, dan ini satu lagi,” katanya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya sebuah kunci mobil. ”Ini dari ayahmu.” Dia menyerahkannya kepada Lin, Lin dengan kaget menerimanya. Selama dua bulan terakhir ini ia giat belajar menyetir dan hasilnya bisa dirasakannya saat ini. Rupanya Tuan Denissa telah menjadi guru menyetir yang terbaik baginya selama ini.
”Aku ingin kau berhati-hati saat mengemudi, aku yakin ayahmu juga menginginkan itu,” kata Tuan Shaddik, menatap Lin dengan pandangan waspada. Ia bangkit, meluruskan jasnya lalu pergi. ”Sampai jumpa,” katanya sebelum lenyap dari balik pintu.
Dua hari berikutnya Lin pergi jalan-jalan bersama Vickey dengan mobilnya. Lin memarkir mobilnya agak jauh dari depan bekas rumahnya yang sekarang sudah ada penghuninya itu.
Dia turun dari mobil dan menatap keluarga baru itu dengan terkesima, sepasang suami istri dengan anak perempuan mereka yang masih kecil yang mungkin berusia lima tahunan sedang bermain di halaman hijau rumah itu.
Lin menatap surat-surat dan kartu ucapan ulang tahun dari ayahnya yang ada di tangannya itu dengan letih. Mencermati keluarga kecil itu sambil tersenyum.
Vickey berdiri di sebelahnya, ikut mengamati keluarga kecil itu. ”Kenapa? Teringat masa kecilmu?” Vickey menyuarakan ucapannya dengan tenang.
Lin belajar untuk tidak gampang menangis sekalipun hatinya terasa berduka. Dia menganggkat bahunya, ”Mungkin. Dulu aku sering berharap ayahku sudah mati dan sekarang semuanya menjadi kenyataan. Agak menejutkan itu saja,” ia menjawab, lalu tersenyum menatap Vickey. Vickey ikut tersenyum.
”Terlihat begitu normal kan kehidupan mereka?” Lin mendengar Vickey berkata.
Ia menghirup udara banyak-banyak sebelum kembali bicara, ”Ya, semua berjalan dengan normal.” Lin kembali menatap Vickey yang wajahnya semakin dekat dan akhirnya ia mencium Lin untuk kedua kalinya sejak pertama kalinya mereka agak berbaikan. Shia LaBeouf sedang menciumku, pikir Lin.
Ya, segalanya memang berjalan dengan normal, berjalan sesuai dengan jalan hidupnya. Seberapapun ia merasa kehilangan, tapi rasa kehilangannya itu terobati saat mendapati dirinya dikelilingi oleh orang-orang baik seperti Vickey, Lily, Tommy, Tuan Oktavick, Tina, Cindy, Harry dan bahkan Tuan Po dan Tuan Shaddik sekalipun. Ini mungkin akhir dari kisahnya, tapi bukan akhir hidupnya... hidupnya akan berlanjut sampai tiba waktunya. Semetara mungkin ayah dan ibunya mengamati kelanjutan hidupnya di tempat lain.

Follow Me