>>>>>Welcome to AreBeat's Blog<<<<<<

..........Semoga blog ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya........

Minggu, 21 Februari 2010

M2M

Oleh :
Amanda Rehana Ayudha Tirtani
Mahasiswa Universitas Negeri Malang Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Elektro Program Studi S1 Pendidikan Teknik Informatika

Pagi ini udara kembali sejuk seperti semula. Pepohonan mau kembali menggoyangkan daunnya. Jalanan kembali ramai seperti dahulu. Awanpun kembali cerah seperti 2 tahun yang lalu. Mungkin suasana seperti inilah yang didambakan seseorang. Tapi tidak buatku, hatiku menyangkal semua itu. Walaupun awan menampakkan kecerahannya, tetapi awan dalam hatiku terasa gelap. Aku tak ingin suasana ini terulang lagi. Aku juga tak mau kejadian itu terulang kembali.
Ku tetap melangkahkan kakiku walaupun terasa berat. Ku melihat sebuah toko yang baru diresmikan satu bulan yang lalu. Toko ini dulunya hanyalah tanah yang ditumbuhi semak belukar. Awan dalam hatiku semakin mendung mengingat masa lalu. Di jalan inilah aku kehilangan orang yang paling aku sayangi. Orang yang selalu memberi aku semangat hidup.
Aku membungkukkan diri dan menyentuh tanah yang dahulu hanya bebatuan sekarang sudah beraspal. Disinilah, disinilah dia pergi meninggalkanku untuk selamanya.
“Mia………………..”
Sesaat itu aku berdiri dan membalikkan badanku untuk mengetahui wajah orang yang memanggilku tadi. Ternyata dia adalah kak Rio. Mungkin ia lebih menderita dari pada aku. Saat kejadian 2 tahun yang lalu Kak Rio mengalami kelumpuhan total, kedua kakinya tak dapat digerakkan kembali.

“Kak……………..Rio.”
“Sedang apa kau kesini Mia? Apa kau sedang mengenang…………….?”
“Iya….,hanya tempat inilah aku dapat mengenangnya untuk yang terakhir kalinya.”
Lalu aku membantu Kak Rio untuk mendorong kursi rodanya. Kami menuju taman yang pernah Kak Mico tunjukkan padaku. Di taman inilah Kak Mico selalu membawaku ketika aku merasa membutuhkannya. Hari ini tanggal 30 Desember, tepat 2 tahun kematian Kak Mico, sekaligus 2 hari menjelang ulang tahunku yang ke – 17.
“Kau hebat ya Mia. Kau bisa menjalani hidupmu tanpa Mico.”
“Aku tak sehebat yang kau kira Kak. Walaupun bibirku selalu mengulas senyuman tapi hatiku tak sanggup untuk menyertainya.”
“Hatimu bisa mengulas senyuman jika kau menginginkannya,” usul Kak Rio yang sedari tadi menatapku.
“Seandainya aku tau itu yang akan terjadi. Aku gak akan memaksa Kak Mico untuk pergi,” aku menutup wajahku dan mulai menangis lagi.
“Mia udah dong jangan nangis lagi,” pinta Kak Rio sungguh-sungguh. “Apa aku perlu nyuruh badut kesini untuk menghibur kamu?”
“Nggak! Jangan! Makasih,” sahutku dengan sedikit senyuman.
“Maaf tuan saya mengganggu. Anda harus ke rumah sakit sekarang untuk menjalankan chemotherapy,” pinta seorang yang sedari tadi melihat jam tangan warna hitamnya itu.
“Oke. Mia, sekarang kamu tenangin diri dulu,” kata Kak Rio yang masih kebingungan. “Mm…atau kamu nangis dulu deh sampai puas, kutemenin di sini,” kata Kak Rio menawarkan diri.
“Nggak usah Kak, lebih baik Kak Rio ikutan chemotherapy aja. Itu akan membuatku merasa lebih senang.”
“Ya udah aku pergi dulu, Bye.”
“Bye,” kataku begitu menutup pembicaraan.
Seperti biasa, aku sendiri lagi. Tepat sekali kalau kau kira aku akan kembali dalam kenangan masa laluku. Salah satu kebiasaan burukku mengingat kejadian-kejadian buruk tanpa berniat mengingatnya. Jangan dikira mudah melewati tahun-tahun belakangan ini. Aku masih sering teringat pada Kak Mico, dan mengingat dia biasanya membuatku sedih. Lebih baik aku mengusahakan pulang dalam keadaan secapek mungkin, agar begitu sampai rumah aku tinggal tidur. Kalau tidak begitu bisa-bisa aku ngelamun lagi, memikirkan Kak Mico lagi dan buntut-buntutnya menangis lagi. Itu sangat tidak menyenangkan.

>>>>>>>>>><<<<<<<<<<

“Hallooooooooooooooo…..Mia adikku yang manis,” sebuah suara yang tidak asing cukup mengejutkanku.
“K…k…ka…Kak Mico. Aku gak salah liat kan? Ini benar-benar ada kan? Aku gak berkhayal kan?” Tanyaku pada diriku sendiri. Ya aku memastikan ini benar-benar ada dan bukan penjelmaan seorang Erg dalam cerita “Who’s that Tree” milik Dyna Meta, temanku dan juga “BUKAN” seorang Elf. Dia benar-benar kakakku, kakak terhebatku.
“Hei…kok ngelamun sih. Kalau ngelamun cari tempat yang aman dan waktu yang senggang dong. Ngelamun di taman itu bahaya, nanti kesambet lho!!! Lagian aku kan masih ada disini, kamu kira aku ini patung apa?” kata Kak Mico dengan sederet rentetannya.
“Emang ngelamun bisa diatur,” gerutuku.
“Marah…….ya!!!” sergah Kak Mico menghiburku.
“YA. Aku marah ama kakak. MARAH BANGET!!!” bentakku. “Kenapa sih kakak selalu bohongin aku terus,” mungkin kali ini bibirku terlihat lebih maju beberapa centimeter dihadapannya.
“Bohong apaan? Kak Mico kan gak pernah bohong ama kamu?” tanyanya dengan penuh keheranan.
“Kakak kan udah janji ama Mia, gak akan ninggalin Mia sendirian. Lalu kenyataannya apa?” tanyaku dengan nada kesal.
“Ya……maaf deh. Tapi itu baik kok buat nguji kesabaranmu,” ujar Kak Mico menyindirku.
“Nguji sih nguji. Hanya saja ukuran menunggu itu sangat bervariasi. Sehari, seminggu, sebulan, setahun apalagi sampai 2 tahun. Kau juga tau kan kalau menunggu itu MEM-BO-SAN-KAN!!!. Dan kuharap itu gak akan terjadi lagi,” jawabku yang tak mau kalah dengan Kak Mico.
“Mia…udah pagi nih. Nanti kesiangan lho,” terdengar suara yang sangat jelas jauh diseberang sana.
“Denger tuh, mama udah manggil kamu. Aku pergi dulu ya, nanti kita sambung lagi. Oke,” rayunya.
“Tapi kak……Kak Mico,” teriakku dengan mata yang masih mencari – cari kak Mico. Yang kulihat sekarang hanyalah kabut putih yang tebal. Kabut putih itu telah membawa Kak Mico menghilang, dan aku menggosok – gosok mataku yang pedih karena kabut itu. Aku membuka mata untuk memastikan mataku tak lagi pedih. Aku melihat sekelilingku dan aku baru tersadar bahwa aku barada di kamar tidur kesayanganku dengan tangan yang memegang bingkai berhiaskan foto Kak Mico. Ternyata semua itu hanyalah mimpi, tapi bagiku mimpi itu dapat sedikit mengobati rasa rinduku pada Kak Mico.
Aku segera merapikan bajuku dan bergegas menuju meja makan. Dan memakan makanan kesukaanku yaitu nasi goring ala mama.
“Kamu kelihatan seneng banget,” tanya mama padaku.
“Aku memang sedang senang sekali,” kataku dalam hati. Sayang aku tidak bisa bercerita pada mama bahwa semalam aku bertemu dengan Kak Mico. Dan seperti biasa, itu membuat nafsu makanku menjadi hilang. Bukannya aku penderita Bulimia atau Aneroxia, tetapi sejak kematian Kak Mico, makanku jadi gak ke jadwal.
Saat kita merasa tidak nyaman di rumah, pergi ke sekolah jadi begitu menyenangkan. Bertemu teman-teman jelas menjadi tujuan utama. Tapi tidak untuk saat ini. Tibanya di sekolah aku benar-benar kehilangan dia. Tak ada lagi perbuatan usilnya yang sering mengacak-acak rambutku. Dan tak ada lagi kata-kata sapaan “M2M” buat kami, maksudku aku dan Kak Mico. Jujur saja aku rindu dengan kata “M2M” itu, ya….walaupun dulu aku gak begitu suka ama kata itu. Bukan M2M asal Amerika itu, tapi kebetulan saja nama kami sama-sama berawal dari huruf M.
Tempat yang lebih baik untuk sekarang ini adalah duduk di bawah pohon dan menangis sejadi – jadinya. Tapi aku tak sanggup lagi untuk menangis karena sepertinya mataku mulai sembap. Cila, Rosi, Nita yang akhirnya berhasil menemukanku segera menghampiriku dan duduk disebelahku. Aku tidak berkata apa-apa, cuma diam. Mereka datang ke sini jelas karena mereka ingin bicara denganku.
“Mia, kamu nggak apa-apa?.”
Kenapa tiap kali melihat seseorang dalam keadaan buruk mereka cenderung bertanya : kamu nggak apa – apa?. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Kami tau kok nggak gampang untuk melupakan semuanya,” Rosi menghiburku.
“Yang sabar, ya………”
Nasihat nomor satu.
“Kali aja ini yang terbaik buat kamu.”
Nasihat nomor dua
“Aku bertemu kakakku,” kataku tertahan. Mereka bertiga langsung ber-ooh sambil menutup mulut. Selanjutnya kami tidak bisa berkata apa-apa. Tiba – tiba mereka memelukku pada waktu yang hampir bersamaan. Tangisku pun meledak dan aku membalas pelukan mereka dengan erat. Mungkin kalau mereka tidak memelukku, aku tidak akan menangis. Kadang kita bisa tegar saat orang tidak peduli pada kita. Tapi begitu orang lain menunjukkan keprihatinannya, kita justru menangis, entah karena terharu atau karena menyadari betapa malang nasib kita.
Aku berbaring di tempat tidurku, menerawang langit – langit kamar yang bernuansa serba hijau daun itu. Kutarik selimut sampai menutupi kepalaku, lalu menangis. Aku tidak terisak ataupun sesenggukan. Tapi air mataku terus mengalir membasahi bantalku. Setengah jam lagi jarum jam tepat berada pada angka 12.00. aku SANGAT berharap Kak Mico berada di sampingku saat ini. Sudah 2 tahun terakhir ini aku merayakan malam tahun baru tanpa kehadirannya. Tak ada lagi nyala kembang api yang ia nyalakan buatku. Serta takkan ada lagi teriakan histerisnya yang selalu mengganggu tidur malamku. Dan aku dapat memastikan, ia akan berkata : “Ayolah ini kan Tahun Baru, jangan molor aja.”
Akhirnya alarmku berbunyi juga. Kau pasti tau itu pertanda apa. Mataku menjadi gelap, terasa olehku hawa dingin dari tangan yang begitu besar yang sekarang sedang menutup mataku.
“Ini siapa sih? Pakai tutup mata lagi! Kurang kerjaan ya ?”
“Happy Birthday, Mia,” sahut Kak Mico dengan senyuman manis yang pernah ia miliki.
“Ternyata kamu masih inget ya ama aku?” tanyaku sebal.
“Ya…..iyalah. Siapa sih yang nggak inget ama makhluk yang paling nyebelin sedunia,” belanya .
“kayaknya gak penting banget deh debat ama kakak, ujung – ujungnya pasti aku yang kalah.”
“Bagus deh kalau kamu ngerti.”
“Ngomong – ngomong mana hadiah yang pernah kakak janjikan ama aku?” tuntutku.
“Maksudmu melihat Galaksi Andromeda!!!”
“Iya….jangan bilang kalau kakak lupa ama janji itu?”
“Aku sih gak lupa. Tapi kamu tau kan kalau galaksi andromeda itu tempatnya paling jauh yang dapat dilihat oleh mata tanpa bantuan apapun,” jelasnya.
“Iya juga sih! Gimana kalau kita melihat Bintang Betelguese, mungkin aja di tengah perjalanan, aku akan ketemu ama Dewi Urania,” usulku.
“Apa kamu yakin mau ke Betelguese?” kata Kak Mico meyakinkanku
“Aku sangat, sangat, dan sangat yakin. Kalau aku tak melihatnya sekarang, aku takut Betelguese akan hilang dalam ledakan Supernova nanti,” jelasku.
“Kalau kamu benar-benar yakin. Kita bisa berangkat sekarang kan?”
“Oke kita berngkat,” kataku padanya.
Lalu Kak Mico menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Badanku mulai terasa ringan, dan badan kami pun melayang – laying di udara. Aku dapat melihat gemerlapan bintang lebih dekat sekarang. Aku mulai mencari – cari Bintang Betelguese yang konon cahayanya 17.000 kali lebih terang dari matahari.
Tiba – tiba aku merasa badanku ditarik oleh suatu benda seperti magnet. Aku menengok ke belakang tanpa melepaskan genggaman tangan Kak Mico. Ternyata itu adalah lubang hitam. Kian lama badanku mulai terhanyut dalam lubang hitam itu. Di depan kami sudah ada batu angkasa yang bersiap menghantam kami. Batu itu dekat, dekat, dan sangat dekat.
“Aduh,” teriakku. Batu itu mengenai tanganku sampai berdarah dan genggaman tangan kami mulai merenggang. Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit ditanganku. Kak Mico dengan cepat menyambar tanganku dan menggenggamnya dengan sangat erat. Akhirnya aku terlepas dari lubang hitam itu. Dan kami bisa melanjutkan perjalanan kami kembali.
Keesokan harinya, rumah Mia digemparkan oleh sebuah berita. Cila, Rosi, dan Nita dating kerumah Mia dan bergegas menuju kamar Mia.
“Aku tak pernah membayangkan kalau ini yang akan terjadi padamu Mia,” kata Nita dengan sesenggukan.
“Tante apa yang sebenarnya terjadi ama Mia,” tanya Rosi pada mama Mia.
“Tante juga nggak tau. Saat tante menuju kamar Mia. Tante masih bertanya – tanya mengapa Mia harus memotong urat nadinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Me